Chereads / Manusia Alternatif / Chapter 11 - Tunai Hujan

Chapter 11 - Tunai Hujan

Saat ujian berlangsung Paran tidak kesulitan dalam ujian itu, dia benar-benar menyelesaikannya dengan cepat, tapi keberhasilan itu tidak cukup untuk membuatnya kembali ceria, dia masih nampak murung, bahkan Paran sama sekali tidak mengobrol dengan Neta yang ada di sebelahnya, Paran masih belum mampu menerima kenyataan, sedangkan Neta tidak peka terhadap tindakan Paran saat itu, mereka adalah dua orang yang sibuk dengan cintanya masing-masing.

Untuk menggapai Neta, Paran hanya dapat memandangnya meski Neta sesekali mengalihkan pandangannya kearah jendela. Setelah kelas dibubarkan Paran langsung pulang, dia ingin cepat-cepat sampai di kostnya, Paran tidak ingin bertemu siapapun hari ini, dia merasa agak aneh dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang yang telah dia kenal. Ketika hati seseorang sedang berhasrat untuk memasuki sebuah dunia yang kecil, dia hanya ingin sendiri.

Kini Paran terbaring lemah di kostnya, dia tertidur hingga larut, kemudian terbangun pada pukul delapan malam, suasananya riuh sekali, ada percekcokan di kost sebelah, Piku dan Mada sedang berkumpul, Paran menghampiri kost Mada, penasaran, keduanya sedang minum teh  dengan sepiring biscuit.

Mereka memang berisik tapi sebenarnya  teman yang akrab dan hangat. Paran mencoba menenangkan percekcokan mereka yang sebetulnya hanya masalah sepele, semula mereka baik-baik saja sambil menikmati teh, susananya juga tentram dan hening, sampai ketika Piku  menghina rasa teh yang dibuatkan oleh Mada, akhirnya Mada terpancing  emosi dan mereka saling memaki satu sama lain.

Mada adalah penikmat teh yang legendaris, saat itu Mada membuatkan Piku teh dengan proporsisi yang pas, dia membuka tutup kotak kecil daun teh kering yang terbuat dari tembikar, dikeluarkannya sendok di dalamnya, dengan cekatan diciduknya sejumlah bubuk teh hijau dan satu sendok gula lalu dimasukkannya kedalam cangkir porselin tak bertangan.

Sebuah cerek besi tuang kuno terdengar sedang bernyanyi di atas nyala kompor gas. Dengan luwes Mada menyiramkan air panas itu ke dalam cangkir lalu mengembalikan cerek itu di atas kompor seperti semula.

Kemudian diaduknya ramuan itu agar sempurna, Mada mengharapkan Piku dapan menyambut sodoran teh itu dengan keanggunan yang sama pula, mengagumi cairan hijau itu lalu menghirupnya dengan perlahan. Sedangkan Piku malah menghina minuman itu tanpa perasaan.

Suasan malam itu mulai membaik ketika Paran mampu melerai cekcok antara kedua seniornya itu, dengan sangat hati-hati Paran mencicipi teh hijau itu, Paran meneguk satu tegukan lalu mengembalikan cangkir teh itu di atas meja seperti semula.

"Teh ini nikmat sebuah citarasa yang tradisional dan mengagumkan," ujar Paran.

Mendengar ucapan Paran itu Mada langsung terdiam sambil mengangguk-anggukan dagunya.

"Jadi wajar saja kalu kak Piku tidak suka dengan teh hijau ini, kak Piku suka minum kopi, dan penikmat teh haruslah orang yang paham tentang teh." Paran memperjelas kesalahpahaman yang terjadi di kost Mada malam itu.

Kemudian Piku menepuk-nepuk pundak Paran, sedangkan Paran sendiri menyeringai sambil berpikir betapa konyolnya percekcokan antara mereka.

Akhirnya mereka berdua kembali menginap dan tidur di kost Mada malam itu, menghabiskan malam dengan obrolan yang ringan sampai diantara ketiganya merasa kantuk dan tak terjaga.

Ketika hari menjelang pagi, Mada dan Paran terbangun oleh suara toxic Piku yang keras, Piku saat itu sedang memukul-mukul dinding dengan tinjunya.

"Betapa cerobohnya aku, kenapa aku bisa tertidur diantara para pria jomblo seperti mereka." Dengan nada yang sangat menyesal.

Mendengar itu alis Mada berkerut sambil menunjuk-nunjuk kearah Piku.

"Harusnya aku yang berkata seperti itu, kau sendiri yang numpang tidur dikamarku dasar  asu," Mada nampaknya terpancing emosi.

"Apa jangan-jangan kau menaruh obat tidur di dalam teh semalam," Piku membalas mencurigai Mada.

Amarah Mada benar-benar tidak tahan dengan kelakuan Piku, emosinya naik pitam, dia menarik nafas sangat dalam. Melihat ketegangan itu Paran langsung memotong.

"Kak kamu tidak bekerja hari ini?" ucap Paran.

"Sialllllllllllllllll! Aku sudah terlambat," Piku langsung berlari dengan cepat layaknya super hero flash untuk kembali ke kamar kostnya.

"Pergi saja kau ke Antartika," ucap Mada yang masih sangat kesal.

Setelah selesai dengan persiapan yang sangat terburu-buru asal tidak lupa saja dengan jaket levis favoritnya itu, kemudian Piku pergi menggunakan motor vespanya menuju kantor.

Sesampainya dikantor tepatnya di tempat parkir Piku melihat Pak Wijaya turun dengan sebuah mobil bersama seorang wanita, kemudian mereka berpapasan.

"Selamat pagi Pak," ucap Piku.

"Iya selamat pagi juga, oh iya, perkenalkan ini Buk Rana pemilik perusahaan kita yang sebenarnya," jawab Pak Wijaya.

"Dan buk Rana perkenalkan ini Piku karyawan baru kita."

Piku dan Rana bersalaman, tangan Rana sangat lembut dirasakan oleh Piku, tetapi mata Rana sangat sayu, dia sama sekali tidak tersenyum, raut wajah cantik yang kehilangan cahayanya, Rana masih jauh dari kondisi kuat seperti yang dia harapkan, dia membutuhkan aktivitas untuk bebas dari penderitaan batinnya, sementara dia pergi untuk mengurus masalah kantor sedang hatinya masih terasa sakit.

Piku pergi ke meja kerjanya di tim desainer  hunian, dia nampak serius dengan leptopnya saat itu dengan beberapa proyek yang akan berjalan, di meja kerja Piko adalah seorang yang sangat cekatan dan trampil, pekerjaannya menuntut Piku harus selalu bereksperimen dengan kreatif, tingkat kerumitan pekerjaan yang sangat tinggi karena ada banyak klayen yang ingin agar bangunannya nampak estetis dan unik.

Namun berbeda ketika menghadapi masyarakan di kehidupan sosial, Piku adalah seorang yang introvert, dia tidak suka beramah-tamah dan ngobrol masalah yang ringan, itu membuatnya malas, tidak expresif, cenderung lebih suka dengan sedikit orang atau malah sendirian malah lebih nyaman, seseorang yang lebih suka mengawasi sekitaran daripada berbicara, tetapi kalau sudah bicara biasanya masalah serius dan kalau marah juga tidak bisa ditutupi, akan nampak sangat jelas dengan diamnya.

Di tengah pekerjaannya yang begitu menyita daya kerja otak, Piku menaruhkan kedua tangannya di belakang kepala sambil menyender di kursi kerjanya, Piku melirik sekilas pada ruang kerja yang hening itu, tiba-tiba Piku teringat pristiwa pertemuan dengan Bu Rana sejenak yang lalu, Piku masih bingung, apakah ekspresi yang Bu Rana ciptakan dalam raut wajahnya yang murung itu merepakan bentuk kesedihan hatinya, karena gaya dan subjek tidak dapat dipisahkan, sama halnya dengan apa yang dimaksudkan seseorang dalam perkataannya, sangat ditentukan dengan bagaimana cara dia menyampaikan, dengan nada keras atau lembut dan dengan intonasi kasar atau halus, sebab gaya dan ide adalah satu.

Cuaca ketika itu sedang buruk, hujan dengan lebatnya mengguyur permukaan bumi, hujan juga sedang menari-nari di antara gedung-gedung di kota itu, kedinginan dan lembab merupakan puncak dari kesunyian yang menyakitkan, Piku beranjak dari meja kerjanya menuju dapur kantor untuk membuat secangkir kopi hangat, setibanya di dapur Piku berpapasan dengan Bu Rana yang sedang mencari bubuk kopi juga.

Wajah Bu Rana masih saja murung persis sama seperti yang dia perlihatkan sewaktu pagi saat mereka bertemu.

"Biar aku buatkan, secangkir kopi kan!" ujar Piku.

"Silahkan, eh anda yang pagi tadi di tempat parkir ya?" sahut Rana.

"Ia saya Piku," sambil membuat dua cangkir  kopi.

"Sudah berapa lama kerja disini?" tanya Rana.

"Sudah tiga bulan ini, dan saya baru tahu kalau pemilik perusahaan ini adalah anda, bukan Pak Wijaya."

Rana tersenyum lalu berkata. "Bagaimana pengalaman kerja disini, apakah sulit atau mungkin menyenangkan?"

Piku mulai kikuk, dia menyeka keringat pada dahinya kemudian menjawab  "Menyenangkan juga, rekan-rekan kerja disini juga sangat membatu diawal masuk kerja, suasana kantor juga tidak membosankan." ceritanya sudah barang tentu dipoles sana-sini dan sudah lebih baik karena pengalaman Piku dalam merangkai cerita, tapi nampaknya Rana tidak keberatan, ada senyum kecil keluar dibibirnya untuk yang kedua kali, kemudian Piku menyodorkan kopi yang selesai dia racik dan meraka minum bersama ketika itu namun curah hujan kian deras.

Setelah selesai dengan kopinya tiba-tiba Pak Wijaya datang untuk memanggil Piku keruangannya "Pak Piku ayo keruangan saya ya, kita akan membicarakan proyek dua hari lalu." Piku melihat arlojinya dan menemukan bahwa hari sudah siang.

"Mari pak," jawab Piku.

Kemudian Piku pergi meninggalkan Rana yang masih ngopi, Rana menyukai obrolan itu, dengan kejenakaan Piku dan kekuatan kata-katanya yang kekanak-kanakan terdengar sangat menyegarkan. Ini mungkin akan jadi awal cinta yang sederhana.

Setelah selesai bekerja sore itu Piku pulang menembus hujan dengan motor Vespanya, untungnya dia selalu menggunakan jaket. Semangat Piku masih berkobar untuk sampai di Mr.haouse, nama dari tempat kost-kosannya.

Secepatnya dengan medan tempuh yang sangat beresiko dikarenakan hujan yang kian lebatnya, namun Piku masih bisa sampai dengan selamat di kostnya, tetapi kelelahan telah menghinggapi tubuhnya. Hujan telah menyeretnya dalam suatu masalah, malam itu Piku merasa kurang sehat, tubuhnya agak panas, Piku hanya berbaring di kamarnya sendirian malam itu.

"Engaku tidak boleh terlalu lelah," Piku berbicara pada dirinya sendiri."

"Tidak! Engkau tidak pernah lelah, tidak pernah sakit, tubuhmu lakasana jiwa dan semangatmu selalu siap bersemangat dan selalu memiliki harapan" ujar Piku lagi dengan keras hingga terdengar oleh Mada yang berada di kamar kost sebelahnya. Karena Mada saat itu sedang berkonsentrasi merevisi skripsinya, dia terkejut dan kesa dengan suara keres itu yang seketika memecah konsentrasinya.

"Woy brisik! Sekalian pakai toa masjid biar satu komplek dengar" Mada dongkol.

Mada yang tidak ingin diganggu sudah mendengar suara motor sedari tadi, dia menyadari bahwa Piku sudah pulang, dan kemungkinannya pasti akan ke kamarnya lalu mengacau, Mada langsung mengunci pintu kostnya agar tidak dimasuki oleh Piku.

Hujan mulai mereda, tetasannya yang berat mencerai-beraikan daun pada pohon dan kini kucuran airnya masih memerciki kota dengan rintik.

"Cuaca kini lebih baik untuk merevisi beberapa lembar lagi skripsiku,"pikir Mada. Tapi anehnya, selain suara keras sebelumnya, malam itu tidak ada gangguan lagi sama sekali, tidak ada kebisingan lagi yang diciptakan Piku, kostnya pun nampak sepi, tidak seperti biasanya.