Sudah pukul 17.00 waktunya Ranti untuk masuk bekerja di Curet Calfa, saat itu dia sudah terlambat dua jam dari jadwal masuk biasanya, tetapi dia sudah meminta izin kepada bos, karena bagi Ranti bekerja dengan beban di kepala hanya akan membuat kinerjanya menurun, dia berniat mengganti dua jam keterlambatannya dengan jadwal shift yang akan diambil pada hari berikutnya.
Curet Calfa bukan hanya cafe shop yang hanya menyediakan makanan dan minuman sebagai produk yang dijual, lebih daripada itu, produknya adalah gengsi sosial dan gaya hidup, tidak heran jika banyak anak-anak muda maupun rombongan pekerja datang untuk dinner ataupun meeting kantor.
Dekorasi ruang pada Curet Calfa sedikit memiliki cita rasa klasik, dengan konstruksi kayu sebagai bahan bangunannya, juga terdapat ruang outdor di bagian halaman sekitaran cafe yang hijau.
Malam itu Curet Calfa didatangi oleh tiga orang teman Ranti, yaitu Piku, Paran dan Mada, untunglah mereka datang, beberapa orang berdasi dengan pembicaraan serius membuat Ranti tambah suntuk saja, dirinya sering mengeluh kapan matanya bisa beristirahat dari konspirasi dunia tentang hedonisme ataupun tentang paradoks cara menikmati hidup dengan brand-brand yang mahal, hingga gaya dan jati mulai terkikis habis.
Paran masih semester enam pada kuliahnya, dia yang paling muda di antara mereka bertiga, berbeda Piku yang sudah lulus dari kuliahnya, karena memang Piku sendiri adalah cumloade, dia bahkan sudah bekerja di salah satu perusahaan konstruksi yang besar di kota itu, Piku sendiri sebenarnya merupakan teman satu angkatan dengan Mada dan Ranti, hanya saja berbeda jurusan, namun meski satu angkatan Piku lebih dahulu selesai dibanding mereka berdua.
Piku merupakan mahasiswa yang cerdas dan unggul di kelasnya, nampak juga dari kacamata tebal yang dikenakan, dia juga memiliki hobi membaca buku fiksi maupun non fiksi, Piku bekerja keras lebih dari siapapun dalam pelajarannya untuk selesai lebih awal agar cepat mendapat pekerjaan. Kemudian yang terakhir Mada, dia satu kelas dengan Ranti bahkan mereka bersahabat.
Mereka bertiga masih saja asik dengan diskusi di salah satu meja Curet Calfa, ada tawa-tawa kecil yang keluar dari lelucon sederhana, sedangkan malam yang larut menjadi semakin dingin, Ranti juga ikut di antara mereka, sesekali bercanda dan berbicara tentang hal-hal yang biasa, namun dirinya juga tetap sigap untuk melayani pesanan dari pengunjung yang baru datang.
Sudah jam sepuluh malam yang artinya cafe akan segera di tutup, jam kerja Ranti akhirnya selesai. Malam itu adalah malam yang cukup menyenangkan sebagai pengantar tidur dari seluruh aktivitas yang melelahkan, setelah pulang kerja membaringkan tubuh diatas kasur adalah opsi terbaik untuk meregangkan saraf dari tekanan rasa cemas gelisah dan takut.
Ranti tersenyum di atas kasurnya, dia merasa cukup beruntung, ada rasa syukur juga, dirinya masih memiliki kakek yang tetap peduli dan teman-teman yang sangat baik terhadapnya yaitu Mada Piku dan Paran yang telah memberikan kekuatan yang berarti,harapan serta dukungan kepadanya agar hidup lebih bersemangat lagi dan berani untuk bahagia.
Malam yang singkat itu akhirnya membuat Piku harus bangun kesiangan karena terlambat dari jam tidur biasanya, dirinya yang cenderung tidur lebih awal dan tidak terbiasa bergadang membuat pagi menjadi terburu-buru, hingga akhirnya dengan vespa antiknya itu dia melaju kencang melintasi jalan kota yang mulai padat pada lalu lintasnya. Matahari tidak begitu panas hari itu karena ini bulan Desember, dia memaksimalkan akselerasi kecepatan vespanya itu untuk sampai di kantor meski sedikit terlambat.