Hari-hari penuh kesedihan yang menyayat sunyi, ganas, bisu serta penuh sayap-sayap nyala api yang membakar, seperti itulah sekiranya sekelebat perasaan yang dirasakan Luca. Pagi itu dia sudah sampai di kediaman Herman Bach. Kedatangannya disambut hangat. Bercengkrama dengan keluarga Herman Bach, detik dan menit dirasakannya begitu tak terasa cepat lajunya.
Udara penuh damai begitu kentara, mereka berempat saat itu sedang mengobrol pada meja lesehan yang berada disalah satu ruangan di rumah itu. Lyliana dan Neta juga ikut nimrung untuk meramaikan suasana.
Obrolan yang mengalir lebih banyak membahas kesepian yang dialami Luca, bahwa dirinya kini telah hidup menduda sendirian memikul rindu pada kecintaannya. Neta agaknya terbawa haru pada penyampaian kisah itu, matanya berkaca-kaca membendung air mata yang tak kunjung tumpah, tetapi sebaliknya, setelah banyak bertemu dengan orang-orang yang ternyata perduli terhadapnya, masa lalu itu tak lagi mempunyai nyala kesedihan yang mendalam bagi Luca, setidaknya untuk saat itu saja, sebab ancaman sepi dan rindu sendu datang tak bisa diatur, bisa saja merampok tanpa permisi dan tanpa tahu waktu.
Hati Luca yang sepi kini diselimuti dengan keakraban keluarga, sebuah efek kebersamaan hangat yang terjalin pada pagi itu memberikannya rasa aman, kelegaan itu nampak jelas dari caranya bercerita dengan begitu luwes, lidahnya tak kelu, kata-katanya juga sangat lepas.
Tak lama setelah ngobrol, perhatian Luca teralih pada satu rangkaian puisi yang dibingkai menjadi sebuah pajangan dinding.
"Yang dipajang itu puisi ya, Mas?" tanya Luca penasaran.
"Ya … itu puisi buatanku, sudah menjadi literatur penting bagi keluarga kami, soalnya sebelum aku menikah dengan Lyliana, ya awalnya aku mengutarakan perasaanku lewat selembar puisi itu," jawab Herman.
Rumput yang selalu merindukan hujan.
Akan terobati dengan basahnya embun.
Namun bagaimana dengan hatiku yang tak kunjung kau cinta.
Percayalah cinta ku murni sedang hatiku suci.
Jika daun bergoyang oleh hembusan angin.
Seperti itulah hatiku bergetar oleh hembusan cinta.
Mungkin ragamu asing terhadapku.
Namun intuisiku mengatakan kau tulang rusukku.
Seperti burung merpati yang dilepas dari dua sisi.
Bagai seutas tali kaleng yang menyampaikan.
Dirimu selalu menjelma dipikiran dan mimpiku.
Percayalah akan sulit menemukan cinta seputih ini.
Hatiku memiliki lautan cinta untukmu.
Harapanku besar untuk hidup dan menua bersamamu.
Menjadikanmu istri dan kawan hidupku.
Cita yang terpatri dalam do'a.
Jika tak mungkin hati tersatukan.
Satu saja, menunggu sampai ajal menjemput.
Sampai tubuhku terbalut kafan.
Sebab cintaku tak keluh dirundung pilu.
Tak goyah diterjang badai.
"Puisinya bagus, Mas," ujar Luca.
"Hahaha. Puisinya bukan yang terpenting Ka, tapi hasil dari puisi itu yang lebih penting, istriku yang cantik inilah hasilnya," jawab Herman cengengesan sambil merangkul Lyliana.