Malam itu Luca bertandang ke kediamannya filsuf Cokro. Luca selalu senang berbincang-bincang bersama filsuf Cokro, apalagi kalau mengingat dialog pada setiap pertemuannya pasti selalu serat akan makna. Sebelum mereka ngobrol Luca diajak bersantap nasi kari yang lezat. Fillsuf Cokro terbiasa makan dengan katupan tangan, bukan menggunakan sendok maupun garpu, meskipun yang dimakan adalah nasi yang basah oleh kuah kari sekalipun.
Untuk makanan penutupnya sebagai teman ngobrol, mereka mencelupkan biscuit kering kedalam cangkir berisi teh hijau herbal.
"Kalau boleh tau hobbymu apa Ka?" tanya filsuf Cokro. Tak ada yang lebih baik dalam menjelaskan seseorang kecuali dari apa yang dia suka.
"Aku suka puisi Pak, apalagi puisi yang dibaca oleh anak-anak, bukan politisi, sebab anak- anak selalu bisa jujur terhadap perasaannya," jawab Luca, sambil menyeruput teh hangat itu.
"Bagiku puisi yang dibacakan oleh anak-anak terdengar seperti nyanyian malaikat yg merdu ditelingaku," sambungnya serius.
Ini masa-masa yang sulit bagi Luca, bahkan dia sangat membutuhkan dialog positif untuk bisa bangkit dari hidupnya yang kian pelik. Belum lagi baru-baru ini dia memiliki pengelihatan batin, sebuah kemampuan untuk melihat masa depan secara random.
Serangkaian pertemuan yang intens bersama filsuf Cokro merupakan langkah yang realistis untuk memperkukuh mental. Kemampuannya yang datang tiba-tiba ini tetap membuatnya ngeri jika tidak disikapi dengan bijak. Meski begitu ini adalah sebuah rahasia baginya, bahkan kepada filsuf Cokro sekalipun.
"Jadi kau suka puisi ... saranku besok kau temui penyair Areale, dia teman lamaku, beliau mestinya bisa membantu," ujar filsuf Cokro.
"Kebetulan besok malam Rabu, biasanya selalu ada malam puisi yang diselenggarakan oleh komunitasnya, untuk saat ini penting bagimu menghabiskan waktu pada apa yang kau suka, agar hidupmu kembali bergairah," sambung filsuf Cokro.
Keesokan harinya pada jam yang telah dijanjikan yaitu pukul 19.00 malam, ketika itu Luca menghadiri pageralan puisi, dia sendiri sudah duduk diantara beberapa kursi yang telah disediakan pada acara malam puisi tersebut. Sebuah pentas mingguan yang sakral, merapalkan sastra dengan bermandikan cahaya rembulan.
Luca bertanya pada beberapa orang di sekitarnya untuk mencari tahu yang mana penyair Areale itu. Setelah mendapati, Luca tak membuang waktu barang sejenak untuk segera menghampiri sekaligus memperkenalkan diri.
Luca menegur sapa sambil memberitahukan maksud tujuannya, penyair Areale sedikit tertarik ketika tahu bahwa Luca adalah temannya filsuf Cokro, dia menyambut hangat kedatangan Luca yang terlihat ragu-ragu itu. Mereka duduk bersebelahan dalam menikmati acara malam puisi tersebut.
Naskah puisi yang dibacakan pada pementasan malam itu sebagian besar adalah merupakan karya-karyanya penyair Areale. Saat itu dipanggung, sebuah puisi sedang dibacakan oleh pementas.
Bintang semakin jauh dari tempatku memandang.
Sedang jiwaku terhimpit lasak.
Semua kesedihan ingin cincang pada akarnya.
Lihatlah kini aku sendiri dalam gamang.
Aku selami asma-Mu ya Allah, satu persatu hingga rebas.
Seluruh namamu kualirkan disetiap darahku.
Tarikan nafas kini punya arti baru.
Jiwaku seakan ingin terbang seperti burung.
Arahnya pasti sudahi kesepian hati.
"Puisi ini mengekspresikan seluruh wujud batiniahku." Menatap kearah panggung.
Melihat ekspresi yang menggebu dari Luca, spontan penyair Areale yang fasih dalam membaca bahasa tubuh berinisiatif memberikan semacam wejangan.
"Satu hal yang perlu kau perjuangkan dalam hidup … adalah bahagia, jika hidup tak memberimu bahagia, maka memang sepatutnya begitu, karena bahagia itu metode hidup, ciptakan metode bahagiamu sendiri," ucapnya.
Luca menyimak wejangan itu dengan penghayatan tinggi. Di tengah keseriusan yang telah tercipta, tiba-tiba saja tuan Areale kembali menepuk pundaknya seraya berkata.
"Hidup jangan terlalu banyak berpikir, Ka. apa-apa dipikrin, belum apa-apa sudah pening sendiri, ada tuhan yang mengurus hidup kita. Dalam beberapa kasus akal tidak akan mampu menyelesaikan masalah, dan saat itu cukup tanyakan pada hatimu. Hati seharusnya punyak hak juga untuk bersuara."
"Coba kau datang ke rumah Herman Bach, dia anakku. Herman telah menemukan metode bahagianya, serap yang bisa diambil, contoh yang bisa ditiru, disana kau akan melihat sesuatu yang baru dari caranya menghadapi kehidupan," sambung penyair Areale.
Kemudian penyair Areale menuliskan alamatnya pada secarik kertas yang diambil dari saku celananya, kemudian memberikan kertas yang berisi tulisan alamat itu kepada Luca.
"Ini alamatnya," sambung penyair Areale.
"Baiklah terimakasi, ngomong-ngomong aku pulang dulu Mas, sudah tengah malam," ujar Luca.
Seketika itu juga Luca berjalan menjauh dari kerumunan yang semakin malam semakin antusias itu, dia pulang mengendarai motor butut dengan helm yang sudah tak ada kacanya lagi, mengendara menembus malam yang syahdu.
Sesampainya Luca di rumah, dia menyempatkan diri sejenak untuk menulis sepucuk surat, di mejanya itu, Luca mengolah kata-kata penuh kerinduan yang saat itu mengalir deras sederas air terjun Angel di Venezuela.
Anastasya sayang, tadi aku bertemu dengan tuan Areale, puisinya begitu murni, penuh arti pada setiap bait katanya, aku banyak menemukan hal baik dari puisinya itu, bahasanya sedikit sombong dan sarkastik. Oh. Betapa aku ingin mendengar puisi-puisi itu denganmu, bersamamu. Apakah di surga puisi-puisi dibacakan wahai sayangku? jika ada, aku ingin pada waktunya nanti kau mengajakku. Aku begitu kesepian berdiri sendiri dalam hidup ini, tapi seperti yang dikatakan filsuf Cokro, jangan takut untuk hidup. Tahukah kau betapa sulitnya untuk sekedar bertahan hidup. Bahkan di surga seseorang juga harus memiliki pasangan yang tercinta agar dapat menikmati secara penuh.
Luca mencium sepucuk surat yang telah ditulisnya itu, melipatnya, kemudian menyimpan di laci meja. Kegiatan ini rutin dia kerjakan, menulis surat ketika rindu tak menghadirkan temu.