Jauh sebelum istrinya meninggal akibat sakit, Luca sudah lebih dulu tahu dan bersiap diri menghadapi malapetaka itu. Memiliki kemampuan bisa melihat masa depan secara random membuatnya kalut sendiri.
Tapi tetap saja, meskipun mental sudah disiapkan jauh-jauh hari perihal kematian istrinya, ditinggal pergi selamanya oleh orang yang tercinta mampu memudarkan kewarasannya. Kematian Anastasya membawa Luca kepada krisis jiwa yang berat. Berhari-hari Luca mengurung diri dengan hanya menulis syair-syair yang malang.
Tulisannya sudah tentu tentang ratapan yang sedih, dibaliknya adalah bentuk protes kepada takdir yang dialaminya. Beruntung di kondisi emergensi Luca mendapat uluran tangan dari filsuf Cokro, orang terdekatnya, dia adalah ayah dari Anastasya. Dukungan psikologis terus diberikan filsuf Cokro terhadap Luca sampai masalah kesehatan jiwanya mulai stabil.
Bermula dari hobbynya akan sastra mengantarkan Luca bertemu dengan penyair Areale, seorang seniman besar di kota itu. Puisi adalah pemecut energinya yang belakangan terkuras habis, perlahan Luca kembali bergirah ketika kata-kata dari puisi mampu mengisi gersang pada hatinya dan merubah itu menjadi harapan yang baru.
Meskipun hati perlahan telah terisi, namun tetap saja kesepian mampu membalikkan keadaan di waktu-waktu tertentu, misalnya saja dirumah yang sudah tak ada siapa-siapa lagi, dengan segenap kenangan masa lalu. Atau barang-barang bersejarah yang mengingatkan akan satu momen.
Sampai pada akhirnya Luca berkunjung kerumah Harman Bach, si pedagang mie. Keluarga Herman menyambut dan menjadi pendengar yang baik. Luca menceritakan kesedihannya tanpa spasi dan jeda, bahkan sudah seperti air yang mengalir, sama seperti sifat air yang senantiasa harus mengalir untuk mempertahankan kejernihannya. Sebab air yang mengendap akan keruh dan berbau.
Pemulihan kejiwaan Luca terbilang relatif cepat, sesuatu yang begitu cepat biasanya tak menjaminkan apapun selain kemungkinan. Namun, saat kesedihan kembali menyerangnya, Luca selalu biaa mengatasinya dengan cara menaikkan level cinta ketingkat yang lebih tinggi, yaitu mencintai sang pecinta, dengan begitu kini Luca mampu membawa kesentosaan ke dalam hidupnya.
Dari beberapa pertemuaanya dengan beberapa tokoh dan mahasiswa, Luca berpendapat, jika orang yang tidak dikenal saja bisa begitu peduli, apalagi tuhan. Dia membenarkan sendiri kesalahpahamannya itu.
Meski begitu, hati manusia tetap memiliki kekurangan disana-sini, hati tak selamanya bisa berdiri kokoh, bahkan mentari yang angkuh adakalanya juga harus tenggelam. Seperti halnya Luca, selama dia tetap hidup, selama itu pula cintanya untuk Anastasya juga tetap hidup. Dan masalah pun akan senantiasa mengguncangnya.
Keadaan akan benar-benar menjadi haru ketika rindu yang menuntut temu tak memberi izin untuk saling menyentuh kulit atau berpelukan.
Satu hal yang mampu melegakan Luca dari candunya yang membiru itu, adalah mengeluarkan semua hasrat dari hati yang terdalam, dengan menulis surat pada secarik kertas, dan tak ada yang lebih nikmat bagi Luca selain membaca ulang surat yang di tulisnya itu, saat dia telah selesai menuliskannya.
Perjuangannya untuk melepaskan kesedihan akhirnya menjadi modal untuk menerima tugas hidup sesudahnya, kemampuannya melihat masa depan itu dia alih fungsikan untuk melakukan kebaikan. Luca tidak ragu-ragu lagi untuk menatap kedepan.
Keputusannya sudah final, dia ingin menjadi pahlawan bagi kemalangan disekitarnya. Luca melepaskan diri dari kungkungan dunia, meskipun kemalangan, kegagalan, kemiskinan tetap satu paket dengannya, Luca percaya akan satu hal yang dijadikannya sebagai pegangan hidup, lantara kemujuran dunia tidak pernah dia dapatkan, maka berlimpahlah kepadanya nikmat akhirat yang lebih kekal.