Chereads / Entah Kenapa Hidupku Tak Secerah Matahari / Chapter 6 - BAB 4-B (Kalau Punya Sesuatu Yang Patut Dibanggakan, Banggakanlah Hari Liburmu)

Chapter 6 - BAB 4-B (Kalau Punya Sesuatu Yang Patut Dibanggakan, Banggakanlah Hari Liburmu)

Agar tidak membuat bingung, tolong baca terlebih dahulu (jika berkenan) struktur penulisan di bawah ini :

"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.

["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.

[Kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.

'Kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu (makna ganda) / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.

Selamat Membaca ^-^

@ @ @ @ @

LONTARAN selamat tinggal itu pun berseraya dengan langkah kaki paman nakhoda itu menuju pintu masuk.

Sebagaimana kepergiannya, ia hanya meninggalkan keberadaan kami berdua di depan toko.

"Jadi, kau sudah dengar nasehat paman itu baik-baik, 'kan?" gerutuku pada gadis di sampingku ini.

"Hmph," ia menyeringai jahat. "Dasar cowok mesum!"

[Huh?]

Kenapa dengannya?

Kemana gadis dengan tingkah manisnya barusan pergi?

Jari-jari manisnya pun melepas erat sweterku dengan penuh rasa jijik bersamaan.

Ternyata…. ia memang penyihir berwajah dua.

"Jangan berpikir aku ini layaknya adikmu, teman masa kecilmu atau pacarmu yang kau idam-idamkan, ya!"

[Enggak. Kalau soal itu aku minta maaf.]

"Kau itu juga laki-laki yang kejam. Bisa-bisanya kau membuat seorang gadis meringkuk malu dan ketakutan di belakangmu seolah-olah aku ini membutuhkanmu. Jangan sok jadi pahlawan, ya!"

[Aku 'kan tidak meminta.]

"Dan bukan berarti saat aku bilang kau adalah teman masa kecilku kau akan menjadi teman sejatiku, ya!"

"Iya-iya. Itu cuma caramu untuk melarikan diri, bukan?"

Jika dibiarkan, mulut gadis ini akan terasah semakin tajam.

"Kau bilang kau malu, 'kan? Jadi kau sudah menyesali perbuatan burukmu itu toh."

"Hmph," Gadis ini membuang mukanya ke samping seraya menutup matanya. Rambutnya yang terurai pun ikut mengibaskan ekspresi juteknya ini.

Sebenarnya seberapa hebat sih kemampuan gadis ini untuk menyinggung seseorang?

"Dasar cowok tak berperasaan. Bukan cuma mesum dan jahat, kau itu juga tidak punya perasaan."

[Bukan. Sebelumnya kau bilang kejam bukan jahat.]

"Lagi pula, cowok seperti mu tidak mungkin mengerti perasaan seorang gadis. Malahan kau membiarkanku memegang swetermu yang lengket itu."

[Oh. Jadi alasanmu tetapi menarik erat sweterku karena kau tidak bisa melepasnya, ya.] "Oh. Kalau soal sweter ini, aku baru memakainya 2 hari yang lalu."

"Hmph. Aku enggak tanya soal itu!"

"..."

"Asal kau tahu saja, ya, paman itu menasehati kita berdua. Jadi jangan menyalahkan semuanya padaku, tahu." amarahnya semakin melonjak. Jari telunjuknya pun ikut memperjelas siapa yang menjadi biang masalah di sini.

"Kau masih tidak mengerti juga, ya?" mata gadis ini mulai memperhatikan. Baguslah. Aku harus tetap membuatnya terbangun. "Paman itu jelas-jelas menceramahimu. Walaupun pandangannya tertuju pada kita berdua, dan biarpun kau menganggapnya begitu, aku menolak. Ibuku pernah mengingatkanku untuk tidak menutup-nutupi sebuah kebohongan."

Itu terjadi dulu sekali. Saat ayahku mengajak ku makan di sebuah restoran dan sepulangnya kami berdua di marahi habis-habisan oleh ibuku. Ayahku membuat alasan bahwa kami menghabiskan uangnya untuk memperbaiki kendaraan, karena di perjalanan terjadi masalah. Tapi ibuku tidak percaya begitu saja dan mulai menginterogasiku yang masih polos. Beliau menatap tajam mataku dan mengatakan perkataan dengan nada yang tegas. ["Jangan takut pada ayah. Mikki harus jadi anak yang jujur."]

Begitulah balada cerita ayah dan anak itu berakhir.

"Kau itu tidak bisa bicara baik-baik dengan seorang gadis, ya!?"

Jujur, memang benar.

Seingatku sudah cukup lama aku tidak berbicara pada perempuan seusia ku. Kurasa kemampuanku berbicara normal atau berkata-kata manis pada perempuan sudah mulai berkurang. Atau mungkin pada dasarnya aku memang tidak punya kemampuan seperti itu.

Tapi kalau soal bersilat lidah, kurasa aku bisa menang. Karena aku hobi membual.

"Lebih baik jujur walau menyakitkan, dari pada berkata manis untuk menutupi sebuah kebohongan."

Aku lebih menyukai pembicaraan yang kontennya 'Persengkongkolan', 'Perpecahan', 'Idealisme', dan 'Sabotase'. Setelah sekian lama memupuk, akhirnya aku memanen sesuatu yang salah. Tapi itu lebih baik untukku dari pada mendengar pembicaraan yang isinya 'Rayuan', 'Manis Manja', 'Majas Tak Berdasar' dan sesuatu yang berwarna 'Merah Jambu'. Melihat dan mendengarnya saja membuat mataku perih dan telingaku pekak.

Gumpalan aura hitam memang selalu menyelubungi keberadaanku.

"Hmph. Aku yakin dirimu itu tidak punya pacar atau semacamnya."

[Strike.] "Kau benar. Buku yang ada di tanganku juga memberikan informasi kalau kau juga tidak punya," matanya membelalak. "Tapi setidaknya hari ini kau punya pangeran tak berkuda untuk menolongmu." dan matanya semakin melebar lagi.

Aku hanya ingin berlagak keren di depannya saja.

"Jangan pikir dunia kita itu sama, ya! Bahkan kalau kau itu perempuan sekalipun, kau tidak mungkin bisa menyaingiku, tahu."

Jangan-jangan! Aku tidak ingin mempercayai ada perempuan yang seperti ku. Dunia ini bisa jadi apa nantinya?

"Dan jangan terlalu percaya diri. Aku tidak terpikir sama sekali menganggapmu pangeran tak berkuda ku, tahu. Kau juga terlihat nakal."

[Kau tak perlu menggaris-bawahinya.] Ia pun memicingkan mata untuk mempertegas ketulusannya.

Jangan begitu dong. Memangnya aku ini sekotor apa? Setidaknya izinkan aku menjadi kudanya.

"Benarkah? Bukannya kalau soal itu kau juga sama!?"

"Hah?"

"Bagaimana kau menanggapi soal 'Kenakalan Gadis Remaja'??"

"Bicaramu semakin nggak jelas, deh." kedua tangannya yang melipat ke perut serta raut wajahnya yang enggan, menggambarkan seberapa menjengkelkannya gadis ini.

Bagaimana sosok 'Medusa' ada di dunia nyata?

"Oh. Baiklah. Bagaimana dengan 'Menaklukkan hati seorang pria'?"

"Ugh." ah, dia sedikit terpekik.

Hmph. Sehebat apapun ular menari, elang yang mencari mangsa takkan tinggal diam. Kerjapannya membuat situasinya mulai seimbang.

"Ternyata percuma saja berbicara pada orang yang tidak bisa memperlakukan seorang gadis dengan baik."

"Jadi kau sudah mengerti?"

"Ck," ia mencebik bibirnya. Sepertinya ia menyudahi tingkah laku pura-pura ketidaktahuannya itu."Aku mau pulang."

[Kenapa malah pamitan?]

Ia memberikan tatapan mata enggan terakhirnya sebelum membalikkan badannya dan berjalan lurus. Dengan langkah kecilnya, aku hanya bisa memandangi punggungnya yang membelakangiku.

Kenapa situasi ini memberi kesan aku sedang dicampakkan?

"Oi, penyihir,"

Dengan bahu kecilnya yang terhentak, ajianku barusan sontak membuat langkah kakinya berhenti.

"Kau lupa sesuatu."

Ia pun menengok.

Raut wajahnya menggambarkan sesuatu yang tidak aku mengerti. Apa itu ekspresi malu? Marah? Terserahlah.

"Hmph. Ambil saja," uwaah, ekspresi judesnya kembali. "Aku tidak butuh."

[Serius? Kau pikir aku juga membutuhkannya!?] "Tak apa. Kau memang perlu, bukan? Silahkan." siapa pula yang membutuhkan buku-buku abnormal ini!!?

"U-Ugh," sepertinya tidak, ya?

Ia malah terlihat kesal.

"JANGAN SOK AKRAB DENGANKU, YA! DASAR MESUM!"

[Oi, jangan mengatakan sesuatu yang membuat salah paham!]

Sial. Penyihir ini mengatakan kata terakhirnya dengan begitu lantang. Dia juga pergi begitu saja setelah mengatakannya. Ia menyisakanku sendirian dan membuat orang-orang di sekitarku yang lalu-lalang menatapku heran tingkat tinggi.

Bahkan ada yang sampai memberhentikan langkahnya dan menatap tajam.

Sepertinya aku akan menulis buku harianku hari ini dengan tinta merah.

Tidak. Itu terlalu berlebihan. Toh, aku juga tidak suka menulis kisah hidupku.

Bagaikan sebuah cerita komedi romantis, tentu aku bukanlah karakter yang pantas memerankan protagonis yang ideal dalam cerita itu. Cerita yang disusun dengan begitu manis dan apik, laksana impian yang menjadi kenyataan tidaklah cocok untukku. Lagi pula itu hanya cerita fiksi belaka.

Setidaknya aku mempercayainya sebagai sebuah kebohongan.

Jadi jika ditanya apa yang aku lakukan setelah gadis kurang ajar itu pergi? Yang ku lakukan hanyalah berdiam diri mematung melihatnya pergi sambil mengatakan 'Oh. Cerita ini sudah selesai, toh'.

Lagi pula rasanya juga percuma kalau mengejar gadis itu. Bukan, sebenarnya aku juga tidak ingin melakukannya.

Hidupku tidak akan berakhir sempurna seperti cerita komedi romantis. Jadi untuk apa melakukannya!

Tapi tentu skenario kecil ini akan berubah jika protagonisnya adalah seorang laki-laki 'Mapan'. Dengan semua anugerah yang telah diberikan kepadanya, ia pasti mampu mengubah skenario kecil ini menjadi sebuah takdir yang besar.

Bahkan untuk karakter seukuran gadis menjengkelkan itu, laki-laki 'Mapan' sudah pasti mampu menyihir seorang penyihir sepertinya. Bahkan untuk kisah nyata sekalipun, skenario kecil itu bisa benar-benar terjadi.

Dan dari banyak karakter perempuan yang ku tahu—yang 2D, begitu banyak sifat-sifat yang menetap di suatu tokoh dalam sebuah cerita. Pemalu, ramah, bersahabat, pemarah, ceria, pintar, galak, sarkas, dan lain-lain. Kurasa tidak begitu jauh dengan perempuan 3D kebanyakan—mungkin. Intinya, mereka itu seperti bumbu dapur. Bukan hanya satu, tapi bumbu itu memiliki begitu banyak jenis dan rasa. Kurang lebih ini seperti halnya perempuan.

Dan dari sekian banyak bumbu, aku baru tahu kalau ada jenis bumbu yang seperti ini. 'Medusa' dunia nyata.

Ini spesies yang baru ku lihat. Dan tak ku sangka ternyata ada sesuatu yang seperti ini di dunia nyata. Gadis kurang ajar barusan. Si penyihir pedas manis.

Kuakui gadis itu memang cukup manis. Baik penampilannya bahkan suara judesnya itu. Tapi tetap saja, semanis apapun dia.... pedas tetaplah pedas.

"Mikki? Sedang apa di sini?"

Suara langkah kaki yang bercampur aduk dengan suara lainnya ikut mengiringi pertanyaan barusan padaku. Suara itu datang dari belakangku.

Kalau dari suaranya, harusnya aku sudah tahu siapa orangnya.

"Oh. Bu Echa."

Bukan hanya suaranya yang familiar, bahkan penampilannya sekarang yang seperti anak muda ini tidak mengubah sedikitpun sosok familiarnya itu.

"Jawabanmu kok kayak menyesal begitu, sih?"

Aku benar-benar tidak bisa menghadapi makhluk ciptaan tuhan yang satu ini.

"Aku bersikap seperti biasanya, kok."

"Hmmm~?"

???

"Tadi itu siapa? Pacarmu?"

[Pacar? Apa itu?]

"Kau sedang bertengkar? Ku kira kau tidak punya pacar."

[Jadi kau pikir aku punya, ya.] "Jangan langsung menyimpulkan begitu."

"Yah~ jadi bukan, ya?"

[Kenapa malah menyesal?] "Aku juga tidak tahu tadi itu apa."

"Hhhh. Membosankan. Ku kira itu pacarmu."

[Tolong hentikan. ]"Walaupun kau memaksa, aku tetaplah aku. Mau tidak mau kau harus menerimanya, Bu Echa."

Entah apa motivasinya. Yang ku tahu beliau memanglah seorang yang selalu ingin tahu.

"Aku sudah bilang jangan menambahkan gelar 'Ibu', kan!!?"

"Tapi ibu sendiri yang minta dipanggil begitu 'kan?" tukasku langsung.

Tangannya datang menghampiri kepalaku dengan cepat seperti Pembalap Moto GP bernomor 46. "Jangan panggil aku 'Ibu'! Dengar gak, sih!!?" tukasnya setelah menjitak kepalaku.

Perempuan ini.... pasti habis pakai minyak wangi sebotol penuh.

"Tapi waktu dulu 'kan Ib— kau sendiri yang suruh begitu!"

"Aku bilangnya kan itu kalau di depan guru-guru lain. Kalau berdua kayak gini atau di tempat umum selain sekolah, kau harus memanggilku, 'Kak'!"

"Tapi dandananmu seperti ibu-ibu, kok."

Kenyataan memang jahat. Tanpa kau sadari semua hal yang kau inginkan tak selalu seperti yang kau harapkan. Itu berlaku untuk siapa pun, lho.

"KOK? IBU-IBU?"

Tidak, sebenarnya aku hanya bercanda. Tapi entah kenapa rasanya saat ini candaan menjadi hal yang buruk.

"KAU INGIN MATI MUDA, YA!!!?"

Aku bisa melihat dengan jelas wajah judesnya muncul layaknya seperti gelombang Tsunami. Mungkin perkataanku barusan menyebabkan gempa bumi dahsyat lagi.

"Yaaa...." aku ingin mencari kata-kata yang pas. Tim Evakuasi tolonglah aku lagi.

Sebelum aku selesai bicara, ia mendengus pelan. "Aku baru berumur 23." Sepertinya hanya itu yang ingin ia katakan. Syukurlah.

"Ummm...daripada kau mengutarakannya padaku, lebih baik kau mengatakannya pada penjual tiket bioskop 21. Karena umurmu mirip, siapa tahu kau mendapat diskon, hehe"

"Jangan menganggap umur 23 tahun itu tua! Di umur segitulah kau baru hidup-hidupnya!" ia langsung menikam perkataanku. Kukira itu lucu.

"Kau ingin aku mengalah, kan? Baiklah, aku diam." aku tidak bisa menimpal lebih jauh perempuan jomblo ini. Bisa-bisa nilai Kimia ku jeblok.

Tidak! Itu terdengar sangat parah! Terutama bagian 'Jomblo'-nya, itu terlalu!

"Mmm~ ini lebih baik daripada kau memanggilku 'Ibu'. 'Kau' terdengar bobrok, tapi wajar kalau kau yang mengatakannya."

Dia mengabaikan pertanyaanku. Terserahlah.

"Jadi kenapa kau ada di sini?" tanyaku pada beliau.

Tidak menggubris pertanyaanku, beliau malah menyorot tajam hal yang ada di belakangku dan sekitarnya. Double Kill.

"Mikki, ke Food Court itu, yuk?" telunjuk tangan kanannya mengarah ke sebuah tempat makan bagaikan kompas.

Tempat makan yang beliau tunjuk menggambarkan sebuah tempat makan yang menyajikan hidangan serta pelayan yang di idam-idamkan pelanggan. Tempat itu terlihat ramai. Meskipun ada beberapa meja kosong yang tersisa. Dan jaraknya pun tidak terlalu jauh.

"Aku tidak bisa. Aku tidak membawa uang."

"Kau meremehkanku, ya?"

Aku suka perempuan yang seperti ini. Dia seperti ibuku.

@ @ @ @ @

"Perempuan yang sebelumnya mencampakkanmu, kenapa dia terlihat kesal?"

[Tidakkah ada kalimat yang lebih kejam dari itu?]

Meja nomor 15. Dari 3 meja kosong yang tersisa, kami menempati meja kosong yang satu ini.

Tidak cukup lama memesan dan menunggu, seorang wanita muda membawakan hidangan yang kami berdua pesan—Bu Echa pesan.

Bagaikan sebuah pesta kecil, hidangan-hidangan yang disajikan di depanku ini ikut menemani bincang-bincang kami berdua.

"Tidak—ah, mungkin memang begitu, sih."

Bukan hanya untuk orang lain yang cuma sekedar melihatnya, malahan diriku sendiri memang terasa dicampakkan dalam adegan itu. Jadi mau bagaimana lagi!?

"Kau habis kencan buta, ya, Mikki?"

[Hentikan.] Pertanyaannya mulai ngawur.

"Memang kau percaya aku akan melakukan hal semacam itu!?"

"Tidak juga, sih. Hahaha."

Walaupun aku memesan makanan ini dengan gratis, tapi kelihatannya aku harus membayarnya dengan cara yang lain. Mengenaskan.

Meja yang kami tempati sudah bertabur banyak barang-barang. Makanan, minuman, tas kecil, ponsel dan termasuk barang bawaanku. Saat menikmati santapan hidangannya, Bu Echa terhenti sejenak. Ia menaruh sendok dan garpu yang di pegangnya dan mulai mengorek-ngorek sejinjing kantung plastik bawaanku yang ku taruh di atas meja.

"Mikki,"

Sial. Harusnya aku menaruhnya di kolong meja saja tadi.

"'Cara Menaklukkan Hati Seorang Pria'— '1001 Tips Meluluhkan Hati Laki-laki'. Kenapa kau membeli buku seperti ini? Padahal kau tidak punya adik perempuan. Jangan-jangan..."

"Jangan salah paham dulu."

Kenapa makhluk yang satu ini sering menyimpulkan semaunya—oh, kayaknya enggak juga. Paman nakhoda tadi juga menyimpulkan seenak jidatnya.

"Hmm!!?"

"Hentikan wajah curigamu itu, Bu Echa!"

Harusnya ketika dia mengajakku makan tadi, biarpun gratis, lebih baik aku menolaknya. Seharusnya aku sudah tahu kalau aku akan diinterogasi kalau menyetujuinya. Apalagi sekarang dia sudah menjadi seorang guru.

"Di toko buku tadi... banyak hal yang terjadi. Bagaimana, ya, bilangnya..."

Jika berhadapan dengannya, aku sudah tidak bisa lagi yang namanya menyembunyikan sesuatu. Bahkan hal ini sudah berlaku dari dulu sampai sekarang. Di hadapannya aku sudah pasti hanya bisa menjadi kucing penurut. Entah bagaimana, dia selalu berhasil membongkarnya dengan karakter memaksanya itu. Jadi aku tidak punya pilihan lain.

"Hmm~ jadi aku sudah salah paham, ya?"

[Kau 'kan memang begitu orangnya.]

"Maaf, Mikki. Aku tadi sempat sedih kalau ternyata kau itu..."

"Jangan di teruskan. Mungkin benar aku terlihat menyedihkan, tapi aku tidak semenyedihkan itu. Mungkin memang aku terlihat tidak tertarik pada perempuan, tapi aku juga membenci laki-laki."

"Hahaha,"

Tapi walaupun menyebalkan, beliau memang perempuan yang baik. Ku rasa orang sepertinya hanya ada 1 berbanding 1 juta—atau 10 juta.

"Aku yakin suatu saat nanti kau akan bertemu seseorang yang mengerti dirimu. Bukan hanya sekedar dirimu, tapi semua dan segala sesuatu tentang dirimu."

Mendengar kata-kata manis dari seseorang yang merepotkan memang agak menjengkelkan. Meski begitu, aku tetap terharu. Dia bisa merubah suasana yang tumpang tindih sebelumnya menjadi haru biru seperti ini. Aku terkesan.

"Tapi kalau untuk waktu dekat, sih... rasanya mustahil."

Kembalikan pujianku barusan. Kembalikan. Kau merusak suasananya.

"Tidak masalah. Aku juga tidak yakin akan punya hal semacam itu."

Lagi pula aku juga tidak terlalu menginginkannya.

"Kau ini! Tidak bisa bersikap sedikit manis apa!?"

Tidak berubah sedikitpun. Seperti karakternya yang biasa, ia selalu melakukan ritual mencubit atau menjitak. Aku sudah terbiasa disiksa olehnya.

"Manis itu tidak baik untuk kesehatan." balasku tak lama setelah ia menjitak.

Drrrt Drrrt.

Ponselnya bergetar. Layar ponsel beliau pun menyala yang menandakan ada notifikasi masuk di sana. Tangannya langsung menggapai benda itu yang berada di depannya. Dia terlihat seperti tipe orang yang gerak cepat kalau soal yang begini.

Posisi duduk kami yang berseberangan memperlihatkan padaku sebuah pemandangan seorang gadis muda—pemudi yang sedang jatuh cinta. Sebagai seorang pengamat, gadis yang bernama Echa itu terlihat begitu bahagia dengan dunianya sendiri. Aku tidak tahu apa itu, tapi senyumnya seakan-akan ia telah menemukan hal yang begitu ia cari-cari.

Padahal itu cuma pesan singkat. Kenapa ia begitu bersemangat?

Sambil meneguk es teh, ku lihat beliau menyudahi senda-guraunya di dalam dunia mayanya. Ia menaruh kembali ponselnya ke atas meja dengan menyisakan senyum di wajah. "Dari, Nikki." untainya sambil menatapku ringan.

"Kau terlihat bahagia."

"Ugh."

"Kenapa?"

"A-a-ah, tidak apa-apa."

[Jangan gugup begitu.]

"Lebih baik kita membicarakan soal dirimu."

[Oi.] Jangan melampiaskan gugupmu itu padaku.

"Kau tahu, Mikki? Harusnya kau itu sudah masuk ke dalam kriteria sosok laki-laki yang bisa dibanggakan." Timun yang sedang ia makan membarengi keluhannya tersebut padaku.

"Tidak. Aku tidak tahu soal itu."

"Tapi ada beberapa poin penting yang tetap harus kau ubah."

Dia memang sangat pantas menjadi seorang guru.

"Satu. Kau harus sedikit merapikan rambutmu yang agak berantakan itu. Dua. Berhentilah begadang semalaman supaya kantung matamu itu hilang. Mata panda itu tidak terlalu enak di lihat. Tiga. Berhentilah menatap lawan bicaramu atau orang-orang di sekitarmu dengan tatapan yang mengancam. Empat. Berhentilah berbicara datar seperti sedang mengejek. Mungkin kau berpikir tatapanmu dan nada bicaramu biasa saja. Tapi untuk orang yang tidak mengenalmu dan mudah tersinggung, mungkin mereka akan merasa kau sedang mengancam sekaligus meremehkan mereka. Terakhir. Berhentilah berjalan lesu seperti zombie."

Aku tidak sadar sebegitu banyak kekuranganku. Mungkin bukan begitu. Aku memang tidak peduli, sih.

"Lagi pula sejak kapan kau jadi begini, Mikki? Kau sedang dalam debut SMA mu, tahu. Harusnya kau lebih peduli dengan sekitarmu. Jangan cuma berdiam diri, lakukanlah sesuatu!"

"Meskipun kau bilang begitu... aku sudah mencintai diriku sendiri, sih. Hehe."

Ada yang disebut krisis kepribadian. Maknanya tidak terlalu jauh dengan mencari jati diri. Orang yang mengalami ini selalu mengganti-ganti karakter mereka seakan-akan mereka di tuntut menjadi orang yang bisa diharapkan lingkungannya. Mungkin ini terdengar keren dan sedikit kejam, tapi aku tidak mau melarikan diri seperti itu.

"Hmm! Apa-apaan itu? Jangan monoton begitu. Lakukan sesuatu yang seharusnya bisa kau lakukan, Mikki."

"Bukannya tren anak muda zaman sekarang memang begini? Maksudku, perkembangan zaman telah berhasil membuat dunia ini melahirkan generasi-generasi bobrok sepertiku."

"Jangan menyamaratakannya begitu. Duniamu saja yang terlalu kecil!" meski terdengar santai, nada bicaranya barusan tetap terdengar serius—raut wajahnya juga berlaku hal yang sama.

Ini agak sulit dijelaskan. Pemahaman tentang masa muda dan perjuangan memang memiliki banyak penafsiran. Keberagamannya kurang lebih seperti saat membicarakan dunia. Sangat luas bahkan tak terhingga. Takkan mungkin ada orang yang bisa menggenggamnya dengan satu tangan. Kurang lebih seperti itulah cara kerja dunia ini.

Ada yang berkoar-koar karena kehidupannya sangat menawan dan berwarna. Ada juga yang menganggap hidupnya biasa saja dan tak lebih. Bahkan ada yang menganggap hidupnya menjijikkan. Meski begitu ia tetap mencintai kehidupannya dan menjalani kehidupannya dengan senang hati—kalau untuk yang satu ini, aku tidak perlu menjelaskan siapa orangnya.

Saat pelajaran olahraga atau tugas kelompok diadakan, atau semisal setelah kegiatan sekolah berakhir, orang yang melihat masa mudanya adalah sesuatu yang 'Indah' tentu akan dipenuhi dengan banyak warna dan kejadian yang menarik. Bahkan orang-orang yang hanya sekedar melihatnya saja akan menilai beruntungnya terlahir menjadi orang itu. Tidak perlu melakukan banyak hal, kehadirannya saja sudah membuat banyak kecemburuan. Dan tentu orang itu akan memuji dirinya sendiri dengan berkata, "Kau iri, ya?" atau "Jangan dekat-dekat denganku". Tapi pada akhirnya nanti, dunia tidak akan selalu memihak padanya. Memang ini surga apa? Suatu saat, entah kapan, ia akan mengalami krisis dalam kehidupannya. Pada saat itu tiba, ia akan membenci dirinya sendiri dan iri dengan kehidupan orang lain. Dan pada akhirnya, ia tak jauh berbeda dengan orang-orang yang selalu mengaguminya.

Kurasa ini juga salah satu dari hukum alam.

Meski begitu, di luar sana masih tetap ada orang yang memiliki dunia yang tak menyempit sedikitpun. Tapi untuk orang sepertiku, memiliki dunia yang luas justru akan terasa merepotkan. Bahkan untuk memiliki teman pun aku sudah kehilangan motivasi.

"Kurasa bukan duniaku yang sempit. Tapi dunia mereka saja yang terlalu luas."

Sebelum melahap suapan terakhirnya, "Aku memang tidak tahu kenapa kau jadi begini. Tapi kurasa kau memang perlu dibenahi, Mikki!" beliau menggerutu dengan ekspresi yang jengkel. Semoga ia tidak sedang mengutukku.

Lalu di lahapnya-lah suapan terakhirnya itu dengan menatap tajam wajahku.

'Dimana ada gula, di situ ada semut'. Di setiap ada rahasia, di situ ada Bu Echa. Sifatnya memang terlihat seperti perempuan kebanyakan yang suka penasaran. Tapi kalau di tambah dengan sifat pemaksanya, bisa-bisa dia malah menjadi semut Pony yang berbahaya bagi manusia—maksudku diriku sendiri.

Akhir-akhir ini dia memang terlihat menyeramkan.

"Jadi nanti bagaimana kau pulangnya, Mikki?"

"A-ah. Kalau itu sih...."

Sudah sekitar 1 jam lebih kami berada di tempat makan ini. Semua hidangan yang sebelumnya memenuhi meja ini pun sudah hilang entah ke mana. Meja kosong yang sebelumnya hampir sulit di dapat pun, kini pengunjung yang baru masuk sekalipun dapat memilih meja mana yang mereka ingin tempati. Sudah terlihat banyak meja kosong. Tapi ada beberapa yang masih berserakan piring dan kawanannya di atasnya.

"Kalau boleh... aku ingin pinjam uang untuk ongkos pulang, Kak Echa."

Di ujung mataku, "Sejak kapan kau memanggilku 'Kak', hah?" tergambar rapi sorot mata kecurigaan. Padahal aku baru saja menuruti permintaannya untuk dipanggil 'Kak'... tapi ia malah terlihat curiga begitu. Ya, meski aku melakukannya dengan sedikit kecurangan, sih.

"Ya.... kurasa tidak ada salahnya memanggi—"

"Ini!" lengan kanannya yang diselimuti bahan rajutan—menyodorkan selembar kertas berwarna keunguan bergambar pahlawan padaku. Ia menyodorkan uang 10 ribu dengan tambahan senyum simpul di wajahnya. "Ambil ini. Tidak perlu meminjamnya, pakai ini untuk ongkos pulang."

Benar 'kan? Beliau itu memang orang yang baik.

"Sungguh?"

"Uh-huh. Kau yakin ingin jalan kaki sampai rumah memangnya?"

Meski terkadang menyeramkan, mungkin beginilah yang disebut dengan 'Kakak'. "Kau memang sosok yang baik, Kak Echa." seringaiku menambahkan.

"Hhhh. Jangan memuji begitu. Ucapanmu malah terdengar mengerikan, Mikki. Aku tidak terbiasa."

Sepehamanku, perempuan itu suka sekali yang namanya dipuji. Baik di televisi ataupun di dunia nyata, mereka tidak ada bedanya. Sering ku melihat tontonan tidak senonoh dimana seorang pria berkata-kata manis untuk membuat sang pemeran wanita terbang ke atas langit. Aku menyebutnya tidak senonoh bukan karena film yang ku tonton adalah film jahat. Tapi karena adegan-adegan kebohongan dan mengerikan di dalamnya-lah yang membuatku merinding jijik. Sang pria berkata, "Kau cantik sekali" atau "Aku tidak tahu bagaimana hidupku jika tanpa ada dirimu". Lalu dengan wajah tersipu malu sang wanita menjawab, "Jangan membuatku malu begitu sayang" atau "Terima kasih telah mencintaiku". Mengerikan.

Kurasa itu semacam penyakit.

Meski begitu, sebagai seorang pria, jikalau aku yang melakukannya... itu memang malah terdengar seperti hinaan.

"Habis ini langsung pulang, ya. Jangan ke mana-mana lagi!" beliau malah mirip seperti ibuku saat ini.

Setelah ini, kami berdua memiliki urusan yang berbeda. Beliau ada keperluan di suatu tempat dengan temannya. Sepertinya ia bangga akan hal itu. Saat kami berbincang-bincang, ia sesekali bergumam memuji dirinya sendiri dengan mengatakan, ["Ini kan hari libur. Sebagai gadis yang cantik dan muda, tentu aku memiliki kehidupan."] Ini bukan mengada-ada, beliau sendiri yang mengatakannya beberapa menit yang lalu. Jadi bisa disimpulkan bahwa waktu liburnya hari ini masih terus berlanjut. Dan untukku sendiri, meski sebelumnya aku khawatir dengan bagaimana caraku pulang nanti, beliau tiba-tiba datang bak malaikat tanpa sayap. Kedatangannya bukan hanya sekedar menyelesaikan masalahku semata,

"Uh."

Tapi ia juga menyelesaikan masalah perutku pula.

@ @ @ @ @

"Hhhh." Desahku setelah melemparkan diri ke atas kasur.

Pemandangan yang kulihat hanyalah atap-atap langit ruang kamar yang berwarna putih susu. Kedua tangan ini pun ku bentangkan seperti ingin terbang. Mungkin gambaran ini terlihat seperti aku sedang lelah. Tapi nyatanya aku tidak mengkhawatirkan apapun. Atau itu juga bisa berarti aku tidak memiliki pikiran untuk memikirkan apapun. Ya, aku hanya suka dengan posisi tidur seperti ini. Posisi ini seakan-akan aku bisa memampatkan seluruh dunia ketika secara perlahan kedua tangan ini ku dekatkan di udara.

"Mikki," aku mendengar suara teriakan dari luar kamar memanggilku.

*Clak—Kriiiiet*

...

...

"Kau lagi ngapain!?"

[Orang ini!!!] Kebiasaannya membuka pintu langsung memang benar-benar. Bukan hanya itu, mimik herannya juga seperti menggambarkan dia telah berhasil mencidukku melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Dasar pengintai.

"Mikki, kalau banyak nyamuk mending semprot pakai obat nyamuk." seperti tanpa dosa, ia langsung bicara sesuai dengan apa yang dilihatnya tanpa memikirkan kecerobohannya sedikit pun.

Lagi pula ini bukan gaya menangkap nyamuk, tahu. Tapi inilah yang disebut gaya menggenggam dunia.

"Bisakah jangan langsung masuk begitu!?"

"Ah—maaf. Aku sudah terbiasa."

[Tidak perlu bangga begitu.] Dia memang menambahkan senyumannya. "Ada apa?"

Posturnya yang cukup tinggi semampai itu berdiri tegap di depan pintu sembari memasang wajah penuh Semangat seperti biasanya.

Ya, dibandingkan denganku... dia memang laki-laki yang 'Mapan'.

"Kau lupa membeli sabun cuci muka yang ku pesan, ya?"

"Huh? Memangnya tidak ada di dalam belanjaan?"

"Aku sudah merapikan barang belanjaannya. Tapi tidak ada."

Mendengar penjelasannya barusan membuatku berhenti bicara sejenak. Aku mencoba mengingat-ngingat lagi apa saja barang yang ku beli waktu tadi. "Ah—aku tidak terlalu ingat. Mungkin memang kelupaan." pelarian yang begitu mudah.

Pantas saja kembalian tadi terasa banyak. Kupikir ia memberikanku uang tambahan lebih. Tapi ternyata barang belanjaannya kelupaan satu 'toh.

"Hhhhh." ia mendengus pelan. Setelahnya ia terlihat merogoh sakunya. "Baiklah, Mikki," dengan begini, harusnya aku tahu apa yang akan terjadi. "Boleh aku minta tolong belikan lagi?" ia pun melambaikan selembar kertas.

[Hhhhh.] Meski rasa malasku sudah dalam mode on, "Uh," mau bagaimanapun tanggung jawab tetaplah tanggung jawab. "Baiklah." Aku pun langsung membangunkan diri dan duduk. Lalu merangkah mengambil uang yang ia sodorkan. "Hanya itu 'kan?"

"Uh."

Setelah mengatakan apa yang ia ingin katakan—dan memberikan selembar uang berwarna biru itu, sosok itu pun mulai berderap keluar perlahan. Selain meninggalkan uang dan mandat, ia juga meninggalkan semerbak wewangian parfum yang sesak.

Kenapa dia selalu memakai parfum kelewat batas, sih?

"Oh, iya. Kata Righa, kau bisa memulainya tiga Minggu dari sekarang. Aku sudah kenal dengannya cukup lama, dia orang yang hangat. Jadi tidak perlu khawatir, dia juga terlihat menantikannya, kok."

"Uh."

Kemudian ia pun menutup pintu dan pergi.

Baiklah. Kedatangannya bukan hanya meninggalkan uang, mandat dan wewangian. Kedatangannya juga meninggalkan waktu ekstra untukku.

Sepertinya... hari liburku masih terus berlanjut.

End.

*****

Terima kasih yang sudah menyempatkan diri untuk membaca.

Terus pantengin untuk kelanjutan bab-bab berikutnya, yaw.

Berikan komentar dan vote kalian sebagai bentuk dukungan untuk novel ini.

Salam.