Chereads / Entah Kenapa Hidupku Tak Secerah Matahari / Chapter 12 - BAB 7-B (Petualangannya Mampu Mengalahkan Rekor Pendakian 7 Summits)

Chapter 12 - BAB 7-B (Petualangannya Mampu Mengalahkan Rekor Pendakian 7 Summits)

"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.

["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.

[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.

'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.

Selama Membaca ^-^

@ @ @ @ @

Setibanya kami di stage utama acara, banyak gradasi warna yang menyilaukan mata menyambut kedatangan kami berenam.

Banyak orang yang memakai kostum 'aneh'—atau mungkin saja aku yang tak terbiasa melihat pemandangan yang begini. Di tambah banyaknya tebaran banner atau brosur bergambarkan karakter-karakter Anime juga tulisan yang bukan berasal dari negara ini. Aku mulai mencurigai sesuatu.

Woy, inikan acara je-jepangan!!!

Ketika aku mulai lebih memperhatikan sekitar, aku semakin dapat banyak bukti. Dan semakin aku yakin acara apakah ini sebenarnya.

Aku tak menyangka orang se-populer dirinya akan membawa ku kemari. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya saat memutuskan masuk ke dalam tempat ini. Laki-laki idaman sepertinya memasuki acara seperti ini semacam sebuah klise. Aku tahu memang tidak ada salahnya, tapi kebanyakan fakta berdasarkan gambaran-gambaran yang ku ketahui, pria-pria 'cool' terbiasa menjadwalkan waktu libur mereka untuk pergi menonton musik Jazz atau menonton gala premier sebuah film atau menonton konser internasional di stadion besar atau semisal yang terlihat 'super' lainnya—setidaknya terlihat 'super' untukku. Jadi kedatangannya ke sini memang bukan hal yang biasa—justru itu malah membuatnya menjadi suatu hal yang luar biasa.

Atau jangan-jangan ia datang ke sini pun karena tidak tahu ini acara apa!!?

"Ini pertama kalinya aku ke acara seperti ini."

Huh? Dia mengatakannya barusan. Si ketua ini dengan entengnya mengakui kenyataannya pada kami semua, dengan posisinya yang dalam keadaan berjalan di depanku.

Oke. Aku akan berpikir begini : Sebenarnya mendatangi acara ini bukanlah idenya, melainkan ajakan temannya yang entah siapa dari ke-4 orang itu, lalu ia menyetujuinya kemudian melanjutkan ajakan itu kepadaku. Itu cukup masuk akal. Atau sebenarnya yang terjadi adalah, ini semua memang sudah menjadi rencananya sejak awal—terlepas ia belum pernah sekalipun datang ke acara seperti ini. Anggap saja begini, memang jadwal liburan pria 'cool' adalah ke tempat yang sudah ku sebutkan tadi. Tapi karena ia memiliki tujuan lain, yaitu untuk membangun sebuah gagasan yang apik, terlebih ia menjabat sebagai ketua OSIS dan sekaligus panitia untuk acara akbar di sekolah kami nanti, maka ia dengan sengaja datang ke acara yang serupa untuk mencari inspirasi, agar dapat diterapkan nantinya—sesuai seperti apa yang ia katakan padaku. Itu juga masuk akal. Lagi pula mana mungkin ia akan mendapatkan inspriasi acara budaya jika mendatangi konser Metal atau Jazz?

Datang ke sini untuk tujuan mulia itu jauh lebih tepat.

Acara ini pada dasarnya sudah menjadi obrolan umum. Terlebih di kalangan anak muda, pecinta Anime atau pecinta budaya Jepang. Tapi aku sendiri justru belum pernah sama sekali ke acara beginian, meski aku gemar membaca komik jepang atau menonton animasinya. Tentu akan sedikit mengganggu jika datang ke sebuah acara dan kau hanya datang sendirian tanpa ditemani siapapun—walau aku sendiri juga tidak pernah berniat untuk mendatanginya juga, sih.

Aku hanya mendengar beberapa kabar kilasan dari situs internet yang cukup gamblang membicarakan event ini—bahkan beberapa dari narasumber melampirkan foto sebagai bukti. Berita yang dimuat di situs itu mengatakan bahwa acara ini memang lebih banyak mempertontonkan sesuatu yang berbau dari Jepang. Akan tetapi akan ada juga beberapa tontonan karya yang memang langsung berasal dari negeri sendiri. Semisal komik-komik ciptaan komikus lokal, beberapa animasi lokal, merchandise karakter komik lokal atau lokalan lainnya. Itu cukup adil. Aku tidak tahu semua itu benar atau tidak—tapi akan aku buktikan sekarang.

Sepanjang langkah kami dari awal pintu masuk sampai titik ini, kami selalu dihadiahi visual mbak-mbak cantik berkulit putih dengan pakaian karakter Anime—ya, banyak juga laki-laki yang berpenampilan demikian. Hmph. Kalau soal yang pria aku tidak peduli.

Banyak dari mereka yang sedang ber-cosplay dimintai swafoto oleh pengunjung. Sambil mengatakan 'Cis', pengunjung berpose kemudian pergi setelah foto mereka tersimpan baik di memori ponsel—dan begitu seterusnya. Acara seperti ini memang jelas akan membuat ruang memori ponsel menjadi kembung.

Dan aku melihat suatu gerakan tiba-tiba salah satu dari kami.

"Eh, fotoin sama cewek itu, dong." dengan semangatnya si bandana langsung memberikan poselnya kepada si sweter hoodie Barcelona. Aku tahu apa yang ada di pikirannya.

"Ikutlah." aku juga tahu apa ada di pikiran si hoodie ini.

"Udah ganti-gantian aja."

Pada akhirnya, kami berempat pun dibuat menunggu atas prosesi foto mereka berdua. Hingga masing-masing dari mereka menyimpan foto kenang-kenangan diri mereka sendiri bersama cewek cosplayer cantik itu. Tinggi juga selera mereka.

Dan itu menjadi awal petualangan kami di sini. Untuk kemudian meneruskan penelusuran perlahan demi perlahan. Selangkah demi selangkah. Seperti merajut sebuah syal untuk menghadapi musim dingin.

Aku tidak cukup awam dengan semua ini. Kurasa mereka berlima juga tidak cukup awam sepertiku. Tapi pernak-pernik hiburan yang ada di sini setidaknya mampu membuat mata kami menjadi sedikit lebih antusias—mata mereka lebih tepatnya.

Terlihat dari gestur mereka berlima yang cukup menggebu saat ditawari bermain panahan oleh seseorang—dan berbagai permainan lainnya yang sudah mereka mainkan. Mereka akan mendapatkan barang tertentu secara gratis jika berhasil menyelesaikan tantangan yang diberikan. Dan mereka akan mendapatkan hasil yang nihil jika gagal. Setidaknya beberapa dari kami berhasil mendapatkan hadiah.

Tidak cuma sampai di sana, beberapa dari kami rela mengeluarkan kocek untuk sesuatu yang mengalihkan perhatian—lebih tepatnya mengalihkan mata kedua orang ini. Si bandana dan si hoodie terus-terusan mencari target cewek cantik untuk mau di foto bersama mereka—walau kadang harus terlebih dahulu membeli barang tertentu sebelum mereka bisa foto bersama cosplayers cantik. Mereka benar-benar menggunakan kartu AS mereka di sini sebagai seorang pengunjung. Mereka benar-benar antusias hanya untuk itu.

Dan tidak ada satupun dari kami berempat yang memprotes kelakuan mereka—mungkin hanya sedikit sindiran saja dari si cewek penagih es kacang merah.

Sudah ada 2 jinjingan yang setidaknya dipegang oleh si bandana dan si hoodie. Tapi tidak semua bingkisan itu mereka beli hanya demi bisa berfoto bersama para cosplayer, beberapa bingkisan mereka beli justru dari hati nurani mereka yang paling dalam. Dan tidak mau kalah, si kacang merah juga banyak membeli barang, yang kebanyakan terlihat imut atau lucu—perempuan pasti begini. Dan dialah yang membuat ku sedikit tersentak. Si wakil ketua. Dia cukup pendiam, tapi dia benar-benar seperti orang kesurupan di tempat ini. Sudah 3 jinjingan yang ia bawa—dan entah sudah berapa rupiah yang ia habiskan. Begitu banyak barang yang ia beli. Dia benar-benar penikmat sejati.

Mungkin harus ku ralat perkataan ku sebelumnya mengenai kami yang tidak cukup awam. Setelah berkeliling santai sembari memperhatikan sekitar, aku baru tahu…. bahwa 4 orang dari kami benar-benar sudah menjadi gila.

Mereka berempat benar-benar menikmati waktu mereka di sini.

Sementara tingkah laku mereka berempat yang begitu antusias, yang aku dan si ketua bisa lakukan hanyalah memandangi dari balik layar. Yang kami berdua lakukan sekedar menanggapi apa yang mereka tanyakan atau melakukan hal-hal kecil untuk mereka—tunggu, kami berdua? Maksudku hanya si ketua saja yang melakukan itu. Tidak sepertinya yang masih punya beberapa hal yang bisa ia lakukan untuk temannya, keberadaanku di sini seperti debu yang tergiring ke mana pun angin berhembus. Walau akhirnya aku tahu bagaimana suasana acara ini, suasana hatiku tetaplah tidak berubah.

"Bisakah aku minta tolong?" si perempuan penagih es kacang merah ini menyodorkan ponselnya padaku. Tentu aku sudah tahu apa yang ada dipikirannya. "Tolong fotoin kami berdua, ya." kemudian ia pun berlari kecil menuju poster seorang karakter komik sambil menarik paksa tangan seseorang. Ini hanya masalah apakah aku bersedia memfotonya. Itu saja. Tentu aku akan dengan senang hati membantunya.

Membantunya untuk mengambil gambar mereka berdua di sana—memfoto perempuan itu bersama si ketua di sana.

Sudah banyak waktu yang kami berdua habiskan di sini untuk berkeliling serta memandangi antusiasme ke-4 orang itu—namun tak ada obrolan yang cukup berarti di antara aku dengan si ketua. Hanya ada 1 atau 2 pertanyaan darinya yang tidak begitu penting yang ku jawab seadanya. Ya, yang aku lakukan di sini hanyalah mengikuti mereka, menjawab beberapa obrolan atau pertanyaan dari sang ketua sembari memperhatikan apa yang sebenarnya terjadi di sini—dan yang terbaru adalah menjadi tukang foto.

Mungkin memang hanya itu yang bisa aku lakukan.

Apalagi setelah mengelilingi hampir semua stan, tidak ku temui komikus dengan nama pena B.B, dimana komiknya adalah karya favoritku—tentu aku ingin menemuinya untuk meminta tanda tangan atau semacamnya. Namun entah kenapa ia tidak datang. Ya, mungkin aku menjadi antusias awalnya hanya untuk itu.

Tapi berakhir sudah.

Sesekali ku lihat si ketua menuliskan sesuatu di ponselnya setelah merenungi objek sekitar. Pasti dia sedang terinspirasi, pikirku. Tapi tidak tahu juga apa yang sebenarnya yang ia tulis di sana.

"Kau sudah menemukan inspirasi di sini?" aku bertanya padanya yang sedang berdiri mematung dalam lamunan.

"Huh?" mungkin ia tidak sedang melamun—mungkin hanya berpikir. "Aku menemukan beberapa hal bagus. Nanti kita akan bicarakan ini bersama." ia melebarkan garis bibirnya setelah akhir kalimat. Dan aku pun kembali mengalihkan pandanganku ke-4 orang itu yang tengah sibuk dengan ke antusiasannya tanpa bertanya apa-apa lagi.

Stan-stan di sini secara sekilas membentuk konfigurasi huruf O melingkari isi ruangan, sedangkan panggung berukuran tanggung mengisi titik tengah paling ujungnya—atau, konfigurasinya berbentuk kotak, ya?

Kebanyakan stan menjual karya orisinil mereka yang berupa komik, novel ringan atau beberapa cindera mata bagi pengunjung yang berminat—mungkin ada beberapa hal juga yang ku lewatkan. Panggung di sana sendiri menjadi sumber suara gaduh atas nyanyian-nyanyian pengisi acara atau ocehan dari si host acara.

Pertama kali masuk stage ini kami mengambil sisi kiri sebagai rute awal. Terus melakukan penelusuran serta riset kecil-kecilan secara kasar. Jadi sudah sepatutnya perjalanan kami akan berakhir di rute kanan. Saat aku memandang sampai ujung pintu keluar sana, sekiranya ada 5 atau 7 stan lagi yang harus kami lewati untuk mengakhiri petualangan ini.

Sampai di titik ini, akhirnya aku pun pecah telur juga.

Aku membeli sesuatu yang mampu mengalihkan perhatian ku. Ada satu jinjingan yang berisi 3 komik di dalamnya yang sedang ku bawa—meski itu bukan komik dari komikus favoritku. Tapi setidaknya aku mencoba menikmati acara ini sebagiamana mestinya. Mungkin lebih seperti aku ingin membuat sebuah kenang-kenangan berarti atas pengalaman pertamaku datang ke acara seperti ini—atau, mungkin aku memang menikmatinya.

Sungguh, aku tidak tahu mana yang benar.

Pintu keluar semakin terasa begitu dekat jaraknya. Semakin kami mencoba melangkah maju, semakin dan semakin begitu dekat jaraknya.

Dan…

Tidak seperti ketika kami mencoba memasuki stage yang disambut oleh beberapa panitia, kepulangan kami tidak berlaku hal yang demikian—meski hal seperti ini memang bukan hal yang sepatutnya, menurutku, untuk dipusingkan.

Akhirnya kami pun keluar dari tempat itu.

Mungkin sekitar sejam kami berada di dalam sana—memasang pandangan kepada cosplayer cantik yang menohok, menghabiskan uang jajan kami untuk membeli oleh-oleh untuk diri kami sendiri sesampainya di rumah nanti.

Dan kurasa review situs itu mengenai event ini cukup benar.

Memang ada beberapa hal yang tidak ku temukan di sini berdasarkan pengamalan blogger tersebut. Tapi mendatangi acara ini secara langsung mampu membuat gambaran yang di deskripsikan oleh blogger itu berubah menjadi imajinasi nyata—meski aku sendiri tidak tahu mana pengalaman yang lebih memuaskan antara pengalaman ku dengan pengalamannya.

Tapi siapa yang peduli!

Aku sudah merasa cukup atas pencapaian ku hari ini.

Jika aku datang ke sini hanya berdua saja dengan si ketua, seharusnya waktu main-main kami sudah sepatutnya selesai, setelah keluar dari stage itu barusan. Ajakannya waktu itu hanya menggaris-bawahi kalau ia ingin aku ikut dengannya ke sini hanya untuk mencari inspirasi, lalu bertanya padaku inspirasi apa yang aku dapatkan dari acaranya sendiri. Semacam bertukar pikiran. Tapi mengingat kali ini aku dibohongi olehnya, di mana ia malah membawa teman-temannya yang lain—keluarga besarnya, untuk ikut dalam pertemuan kami, aku rasa petualangan ini tidak akan berakhir dalam waktu sekejap mata. Malahan saat ini, tanpa memprotes apapun, aku tetap mengekor di belakang mereka yang terus berjalan entah ingin ke mana.

Aku hanya bisa melihat bahu mereka terhentak setiap kali melangkahkan kaki. Di tambah dengan adegan obrolan sederhana yang dibumbui ketawa tipis di antara mereka semua yang terjadi secara langsung di depan mataku.

Aku semakin tidak tahu fungsi ku berada di sini untuk apa.

Seseorang di depanku dengan sengaja memelankan jalannya. Aku melihat ketus kepada orang ini. Aku tahu dia berniat untuk mencoba berjalan beriringan denganku.

"Kita akan melipir sebentar ke Toserba. Ada beberapa barang yang ingin aku cek harga dan kualitasnya. Mumpung kita sudah berada di sini." dengan memasang wajah bersahabat serta senyum simpul, ia membarenginya dengan ajakan bujuk rayu yang lugas. Dan berhentilah memasang wajah begitu! Apa si ketua ini ingin aku jatuh cinta padanya!!?

"Ya. Tak masalah."

Aku akan mengikutinya ke mana pun.

Aku akan menunggu sesi traktiran darinya.

@ @ @ @ @

Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 17.03

Itu artinya aku sudah lebih dari 3 jam terjebak bersama mereka di pusat perbelanjaan ini. Terjebak dengan agenda acara mereka yang sama sekali tidak ku ketahui—aku tidak begitu paham apakah mereka sudah merencanakan agenda ini secara keseluruhan atau memang semua kesenangan yang mereka lakukan di sini hanya bersifat dadakan.

Kesenangan seperti ini memang masih menjadi misteri bagiku.

Terhitung kami sudah melipir ke 3 destinasi yang berbeda pada petualangan kami di pusat perbelanjaan ini. Setelah puas melihat-lihat event je-jepangan plus membeli oleh-oleh yang dirasa cukup untuk diri kami sendiri, 2 agenda tur selanjutnya adalah toserba dan game center.

Tur kami saat di toserba sama sekali tidak menarik. Di sana hanya berisi rak besar yang dipenuhi oleh peralatan multifungsi, yang bahkan terkadang aku sendiri tidak tahu untuk apa fungsi dari beberapa alat yang dijual itu.

Tur kami di toserba itu juga menjadi sebuah indikator yang cukup untuk memperlihatkan siapa yang menjadi paling sibuk dan siapa yang menjadi paling tidak berguna. Dari kami berenam, hanya 3 orang saja yang terlihat paling sibuk, melihat barang-barang yang sudah di list, lalu mencarinya di deretan rak-rak besar— atau menanyakannya pada pegawai toserba-nya langsung jika barang yang dicari tak kunjung ditemukan. Atau, jika mereka bertiga sudah menemukan barang yang mereka cari, mereka akan sibuk memperhatikan kualitas atau informasi apapun yang tertulis di kemasan luar barangnya. Mereka hanya mencoba mencocokan barang yang mereka temui dengan barang yang mereka cari sesuai kebutuhan, baik bentuk model, warna, atau apapun kualitas yang sudah mereka tetapkan dari awal sebagai standar mereka. Jika benar, mereka bertiga akan memfoto fisik barang dan harga barang itu sendiri di ponsel masing-masing.

Karena 3 orang itu sudah memposisikan dirinya untuk berperan sebagai orang yang sibuk, tentu 3 orang sisanya akan berperan sebagai orang yang tidak berguna. Lebih tepatnya, aku, si hoodie dan si bandana-lah yang mengambil peran itu dengan senang hati.

Yang kami bertiga lakukan saat perjalanan tur di toserba itu malah terlihat seperti tingkah seorang pengutil yang melototi apapun yang ada di depan mata kami, lalu memegangnya, kemudian menaruhnya kembali ke tempatnya semula. Dan melakukan hal yang sama berulang-ulang. Dan hebatnya, tidak ada dari kami yang mencoba menawarkan bantuan untuk ikut mencari barang yang dibutuhkan kepada 3 orang sibuk itu. Mungkin lebih seperti ini : Lakukanlah apa yang sudah menjadi pekerjaan kalian—dan jangan menyuruh kami—kami sendiri akan bersantai-santai karena tidak ada hal yang perlu kami kerjakan.

Kehadiran mereka berdua ternyata bisa menjadi teman pengobat lara ku.

Mungkin sekitar 1 jam kami berpetualang di toserba itu. Di mana ketika masuk pertama kali, kami berenam terus mengintil bersama-sama—itu hanya 15 menit awal saja—setelahnya kami berenam terpecah menjadi beberapa bagian—si 3 orang sibuk—dan si 3 orang yang tidak tahu harus melakukan apa. Si 'sibuk' yang selalu sibuk dengan pekerjaan yang tak kunjung usai, dan si 'gabut�� yang hanya petantang-petenteng saja. Dari sini aku cukup mengerti, bahwa si hoodie dan si bandana mungkin bukanlah orang yang diberikan tugas tertentu oleh ketua untuk melakukan sesuatu—melainkan mereka berdua hadir di sini, mungkin hanya untuk menikmati hari libur mereka sebagai seorang teman bersama-sama—tapi bukan untuk suatu pekerjaan. Itu pasti hal yang sudah biasa terjadi. Atau bisa saja, mereka berdua akan ambil bagian untuk tugas yang akan mendatang.

Mengingat aku tidak mengenal siapa mereka semua, masih banyak hal yang bisa saja terjadi.

Tapi pada akhirnya, kami keluar dari toserba itu hanya menjinjing satu kantung plastik berukuran kecil dengan barang belanjaan yang tidak seberapa—hanya barang pernak-pernik yang aku sendiri tidak tahu untuk apa itu nantinya. Menghabiskan waktu sekitar sejam hanya untuk barang segitu saja? Sangat kontras bukan? Ketimbang banyaknya barang yang mereka bertiga cek satu per satu selama sejam. Tapi jika kembali pada apa yang dikatakan si ketua, justru ini sesuai dengan perkataannya, bahwa kami ke sini memang hanya untuk itu, hanya untuk mencek harga serta kualitas barang saja, yang kemungkinan besar semua itu diperuntukkan untuk acara festival nanti.

Dan pundi-pundi oleh-oleh ku pun sama sekali tidak bertambah sebiji pun setelah keluar dari sana.

Menjadi hal yang lumrah jika setelah melakukan pekerjaan yang berat harus dibarengi penyegaran sesudahnya. Selesainya tur kami di toserba itu, si kacang merah langsung berteriak begitu semangat sambil mengatakan, ["Gimana kalau sekarang kita main Game?"] alhasil, perjalanan tur kami secara mendadak bertambah satu.

Kami pun sempat terdampar di Game Center yang bernama Zona Waktu.

Persis seperti nama tempatnya, orang-orang yang masuk ke sini dibuat layaknya masuk ke dalam tempat yang penuh ilusi sampai-sampai mereka tidak sadarkan diri akan waktu. Mungkin mereka terjebak oleh paradoks waktu yang begitu memusingkan, bagaikan labirin yang tak ada ujungnya—atau malah seperti masuk ke gudang pabrik squishy lalu bermain dengan jutaan squishy berbagai model yang akhirnya membuat stress mu hilang dan tak sadarkan diri.

Ngomong-ngomong, bukankah spons pencuci piring juga adalah sebuah squishy?

Pada awalnya aku cukup sumringah ketika mendengar kata 'Game' di teriakkan oleh si kacang merah. Tapi kesumringahan ku tidak berlangsung lama. Sesaat kami sampai di tujuan, harusnya aku sudah menyadarkan diri dari awal, kalau 'Game' yang mereka maksud pastilah 'Game Center' yang bernama Zona Waktu—aku sekilas sempat terpikir kalau itu adalah rental PS 4.

Lagipula seberapa naifnya-kah diriku ini!!!?

Kemudian rasa menggebu-gebu ku pun hilang setelah melihat kenyataan.

Aku memang seorang pecinta game. Tapi aku adalah jenis pecinta game konsol. Permainan yang ku sukai adalah sepak bola, balapan dan arcade yang memang menantang dan membuat rasa kesal bersamaan—ah, tema simulasi kencan buta juga mampu membuat darahku memanas—walau jenis permainan ini pada akhirnya sama sekali tidak menambah kemampuan ku dalam menangani masalah percintaan—malah terasa menggaris-bawahi kalau aku benar-benar laki-laki yang kesepian.

Cih.

Karena aku adalah pecinta gim konsol, jelas permainan dari mesin gim 'ding-dong' di game center itu tidak membuat hatiku tergerak untuk memainkannya—meski aku sebenarnya sempat memainkan 2 permainan, yakni memasukkan bola basket ke dalam ring dan bowling—aku memainkan itu karena aku mulai kebingungan harus berbuat apa di sana dan kebetulan si ketua mengajak ku duel dalam sebuah permainan. Aku menurutinya dan kemudian aku kalah telak dalam duel tumpang tindih antara pro player vs amatiran itu.

Setelah kekalahan ku dalam 2 game berturut-turut, kembali, si kacang merah menarik paksa si ketua untuk mendatangi mesin gim yang ingin dimainkannya bersama laki-laki itu, hingga mereka melangkah menjauh dari pandanganku. Dan meninggalkan ku di tempat bersama rekor kekalahan ku saja.

Aku yang sudah tidak tahu mau melakukan apa, mulai mencari kursi untuk ku duduki, lalu memperhatikan sekitar. Aku melihat mereka berlima mulai tertelan oleh kesenangan mereka masing-masing di sana, dan aku yang tidak begitu terkesan memilih untuk tetap duduk. 10 menit. Kurang lebih dalam rentang waktu 10 menit aku diam terduduk melihat orang-orang di sana terjebak dalam ilusi yang mereka ciptakan sendiri.

10 menit yang sungguh membosankan. Aku yang mulai merasa tidak nyaman dengan semua kebodohan itu ingin mencoba merubah suasana. Ada sekelebatan yang melintas di benakku. Aku menghampiri si ketua yang sedang bermain dengan teman perempuannya itu, lalu mengatakan padanya kalau aku ingin pergi ke toko buku yang berada di lantai 3. Ia setuju. Kami pun membuat kesepakatan, bahwa ia nanti akan mengabariku jika geng-nya sudah merasa puas dengan hasrat mereka di game center tersebut.

Dan aku pun memulai debut petualanganku sendirian.

Dengan tarif tiket yang cukup mahal hanya untuk sekali permainan, ku pikir mereka akan menyudahi kesenangan mereka dalam waktu yang cepat—tapi hampir sejam aku menunggu di toko buku demi menunggu pesan bahwa mereka sudah selesai. Dari sini aku cukup percaya bahwa isi dompet anak-anak itu benar-benar gila.

Aku tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak waras akan tindakan mereka yang menghabiskan banyak uang hanya untuk kesenangan dalam bermain gim. Pada dasarnya setiap manusia memiliki hasratnya tersendiri. Seperti halnya aku yang begitu menyukai membaca komik atau novel dan rela merogoh kocek demi untuk sebuah buku yang sebenarnya tidak akan membuat ku menjadi kaya—hanya saja melakukan itu membuatku merasa puas, meski aku sendiri tidak begitu mengerti apakah sebenarnya itu adalah hal baik atau malah hal buruk. Ini sama saja seperti yang mereka lakukan. Pada kesimpulannya, setiap manusia memiliki esensi hasrat yang sama. Hanya saja cara kami dalam membuang uang dan membunuh waktunya sajalah yang berbeda-beda.

Dan aku cukup beruntung karena hari ini aku tidak bertemu dengan si penyihir itu di toko buku.

Selepas petualangan tur kami di game center, secara resmi kami sudah selesai menjelajahi 3 destinasi ajaib, dan aku sangat berharap destinasi ke-4 yang sedang kami tuju sekarang menjadi tempat terakhir petualangan tur kami—dan mendapatkan rekor Muri atas semua pencapaian hari ini sesudahnya.

"Hei, bagaimana hari ini? Menyenangkan?" seseorang datang dari arah belakang dan seenaknya saja langsung merangkul ku. Seingat ku namanya Bisma, tapi aku menyebutnya si bandana. Sebelumnya ia tertinggal paling belakang karena sibuk sendiri dengan ponselnya—itu panggilan telepon—saat aku mengintipnya sekilas dari kejauhan.

"Ya. Lumayan."

"Aku sendiri sangat bersenang-senang hari ini." tanpa perlu ia mengatakannya sekalipun aku sangat tahu itu. Mimik wajah kebahagiaannya tentu takkan bisa membohongi. "Syukurlah kalau kau juga menikmatinya." itu sebenarnya tidak terlalu penting—yang terpenting bisakah ia berhenti merangkul ku? Badan bongsornya ternyata sangat berat dari hanya tindihan tangannya saja.

"Aku senang karena kalian menikmati hari ini." tiba-tiba sahutan yang diiringi senyuman menyapa kami dari depan. Tentu si ketua yang menguping pembicaraan kami-lah yang melakukannya.

"Aku juga menikmatinya. Apalagi kalau kau tidak lupa mentraktir ku." apa-apaan kedipan matanya barusan? Aku tahu si kacang merah ini sebenarnya sedang memaksa, tapi hanya dibalut dengan tingkah lucu.

"Iya-iya. Aku akan mentraktir kalian sebagai permintaan maaf." oh, ayolah. Kenapa laki-laki ini mudah sekali menyerah!!!?

"Kalau begitu nanti aku akan pesan Iga Bakar." uwaah~. Baru kali ini aku mendengarnya berbicara, tapi si wakil ketua langsung mengatakan sesuatu yang tidak-tidak dengan datarnya—meminta traktiran Iga Bakar bukanlah mentraktir namanya—itu namanya memeras.

"Kalau aku akan pesan Ikan Gurame." si hoodie ini juga apa-apaan coba yang ia katakan!!?

"Aku sendiri akan memesan menu yang paling spesial." si bandana juga ikut-ikutan—oh, pertemanan macam apa ini? Bukannya ini disebut pemerasan?

Tapi apakah aku juga boleh memerasnya seperti yang mereka lakukan?

Sebagai sandera, si ketua hanya sedikit terpekik tertawa. "Tergantung situasinya nanti. Tapi aku dan dompetku akan berusaha."

Orang-orang ini pun hanya menanggapinya dengan tawaan setelah kalimat memelas terakhir dari bibirnya itu keluar.

Bahkan aku sendiri pun sedikit menyunggingkan senyuman.

Jika ia nantinya benar-benar mentraktir hanya sebagai permintaan maaf atas keterlambatannya saja, aku tak bisa mengira harus berapa banyak barang yang ia punya untuk dijual demi mentraktir teman-temannya selama ini. Walau aku mengerti kalau sebenarnya percakapan di antara mereka justru lebih ke sebuah percakapan lelucon antar teman semata.

3 jam lebih yang kami habiskan di Mall ini sepertinya memang menghabiskan banyak energi. Karena landasan dasarnya sudah jelas, destinasi tur kami berikutnya—dan aku harap ini memang yang terakhir—merupakan sebuah tempat makan yang mampu mengembalikan XP stamina. Seperti yang sudah-sudah, pergi ke sana bukanlah ideku apalagi ajakanku—tapi ide dari dari orang-orang ini yang kemudian disetujui oleh sang ketua sebagai hakim sahnya.

Dan aku sangat antusias menantikan tur kali ini.

Aku juga ingin ikut memeras isi dompet laki-laki itu.

Kami berenam pun tanpa gentar terus melangkah maju untuk menemukan 'One Piece' di sana.

Langkah kami terus berjalan beriringan. Masih dalam posisi yang sama, aku berjalan mengikuti mereka di barisan paling belakang. Sebenarnya ini bukan hobi, tapi aku merasa lebih nyaman ketika berjalan paling belakang di antara yang lain.

LANJUT KE BAB 7-C.