"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.
["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.
[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.
'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.
Selama Membaca ^-^
@ @ @ @ @
Tentu aku berharap ini menjadi langkah awal untuk membuatku menjadi seorang profesional.
Dan kalau ku pikir lagi, kesempatan ini memang seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata. Ini perasaan yang sangat bahagia dan menenangkan. Aku tidak percaya hal mewah itu dapat ku miliki. Aku merasa sangat beruntung. Bagaimana tidak? Tidak ada satupun hal lain lagi yang bisa ku banggakan pada diriku sendiri selain menggambar—meski aku melakukannya jika sudah benar-benar ingin mati bosan. Di mana semua hal yang biasa ku lakukan seperti, membaca komik, membaca novel, tidur, main gim dan hal tidak berguna lain sama sekali tidak membuat ku bersemangat. Di saat itulah aku mulai termotivasi untuk mulai menggambar. Tapi karena pada akhirnya semua draft itu tidak ada nilanya sama sekali, walau setidaknya mampu mengurangi tingkat kebosanan ku, tetap saja aku terjebak di situasi menjengkelkan yang sama.
Tidak tahu harus melakukan apa. Tidak tahu harus bagaimana mengubahnya.
Aku sering bermimpi menjadi seorang komikus profesional. Bahkan terkadang secara berlebihan aku berhalusinasi mampu menjual jutaan eksemplar karya-karya yang ku ciptakan dengan sepenuh hati. Menjadi orang terkenal dan memiliki banyak uang atas royalti yang ku dapatkan. Menghabiskan banyak waktu untuk bertemu dengan para penggemar atau pergi ke tempat yang belum pernah ku singgahi untuk liburan. Dan lebih hebatnya, aku mampu terlepas dari beban finansial di masa depanku nanti dengan bekerja menjadi komikus yang aku sendiri sangat menyukai pekerjaan itu—tanpa paksaan, tanpa bos, tanpa tekanan batin—bekerja dan menghasilkan banyak uang dari pekerjaan yang dicintai merupakan salah satu harta paling mahal di dunia, menurutku.
Namun kembali ke dasar, bahwa semua itu hanyalah buah pikiran yang berjenis omong kosong belaka. Hal yang menjadi dasarnya yang pertama adalah, aku memang memiliki kemampuan itu, tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Kedua, bahwa dunia akan selalu bersandiwara untuk membuat mu merasa aman, tapi di sisi lain, sudah begitu banyak hadangan yang telah disiapkan untuk membuat mu tersungkur di ujung cerita nanti—lebih mudah mengatakannya, terbuai lalu hancur berkeping-keping. Ketiga, meski aku sering membuat halusinasi yang indah, nyatanya secara bersamaan aku selalu menyadarkan diri dari itu—lebih tepatnya, aku sudah sembuh dari penyakit yang bernama 'Bahagiakan Aku'.
Tapi, mau bagaimanapun, mendapatkan kesempatan untuk menjadi asisten komikus seperti sebuah mimpi saja. Makanya ku bilang, aku tidak tahu keberuntungan apa yang sedang menyelimuti ku. Karena dari itu, meski aku mencoba untuk tidak terlalu antusias, entah apa yang salah, aku sangat tahu kalau aku menantikannya.
Sial. Lingkaran setan ini lagi.
Sebelum aku terperanjat semakin lebih dalam, aku langsung memaksa tubuhku untuk langsung berdiri dan mulai membentangkan selembar kertas putih kosong di atas meja belajarku yang cukup lumayan lebar ini. Kemudian mengambil beberapa perlengkapan menggambar.
Aku mulai berpikir keras di depan kertas ini. Memilah dengan hati-hati apa yang ingin aku gambar di sana. Karena terlebih dahulu aku harus memahami rentetan skenario cerita dari A sampai Z. Kemudian membayangkan latar belakang apa yang cocok untuk di aplikasikan. Lalu menyortir segala kemungkinan terbaik dari yang terbaik. Ini cukup sulit, jika salah langkah, semuanya akan terasa hambar. Padahal hanya membuat draft sederhana, aku sudah kewalahan. Tapi aku mencoba maklum karena aku masih benar-benar amatir. Bukannya ingin mencari alasan untuk melarikan diri, hanya saja aku memang harus lebih banyak belajar agar lebih fleksibel.
Jadi, inikah jalan penuh duri yang harus ku tempuh untuk menjadi seorang profesional?
Sebenarnya aku tidak perlu sampai repot-repot membuat alur cerita—dan aku memang tidak sedang melakukan itu. Saat ini aku hanya sedang menerjemahkan alur cerita yang sudah komikus itu jelaskan padaku via telepon tadi. Aku sudah mengerti cerita itu akan dibawa kemana. Apalagi aku sudah membaca chapter terakhir dari komiknya. Meski begitu tetap saja, aku masih merasa kesulitan membuat imajinasi nyata di kepalaku.
Yang membuatnya menjadi sulit adalah ketika aku harus membangun suasana cerita agar benar-benar mengena dan membuatnya menjadi lebih hidup, dari pembuatan latar belakangnya, dari bagaimana posisi para karakter berinteraksi, dari pembuatan adegan demi adegan yang menegangkannya, lalu menyelaraskan panel dengan adegannya. Apalagi ini adalah komik dengan banyak aksi dan momen emosional.
Dan terlebih lagi, ini adalah chapter yang krusial.
Berbeda dengan draft yang ku berikan padanya waktu lalu, itu memang ide cerita yang benar-benar tercipta dari imajinasi ku peribadi, sesuatu yang sudah lama ingin ku buat. Jadi mudah saja bagiku untuk menerjemahkannya. Tapi kali ini kasusnya berbeda. Aku harus terlebih dahulu menyamaratakan frekuensi imajinasinya dengan imajinasiku—karena itu adalah karyanya bukan karyaku. Aku harus terlebih dahulu masuk ke dalam pikiran fantasinya untuk dapat menerjemahkan imajinasi miliknya. Aku harus observasi lebih dan lebih. Ditambah, aku harus membiasakan menggambar desain karakter miliknya. Ini semua ku lakukan agar hasil draft-nya nanti benar-benar memuaskan. Bukan hanya untukku, tapi juga untuknya.
Tanpa ku sadari, aku memang merasa senang. Tanpa ku sadari juga aku merasa tegang secara bersamaan. Aku tidak bisa menyalahkan perasaan ini. Aku juga tidak bisa menanganinya dengan baik. Tapi dengan semua yang kurasakan, aku yakin aku bisa menyelesaikannya. Karena aku sudah sedikit paham dari 54 chapter yang ia terbitkan. Aku telah mempelajari banyak hal dari sana.
Dan sekarang, waktunya bagiku untuk melangkah.
*Clak—krieet*
Pintu kamarku terdorong dengan pelan.
"Maaf kalau aku lama." kemudian masuklah seorang laki-laki dengan membawa sejinjing kantung plastik berwarna putih. Ia adalah laki-laki tadi. Ia sepertinya dari minimarket dekat sini.
Kepala ku hanya menengok sejenak ke arahnya tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Kau sudah mulai menggambar?" ia bertanya padaku yang sedang terduduk dan fokus pada lembaran kertas di atas meja belajarku.
"Baru masuk panel pertama."
"Memangnya kau sudah bisa menggambar karakter miliknya?"
"Sudah mulai terbiasa." karena aku tahu akan bekerja dengan komikus itu, jadi aku sudah berlatih menggambar karakter miliknya dari jauh-jauh hari dari chapter yang sudah terbit. Aku memang merasa sudah lebih siap sekarang.
"Bersemangat sekali."
Tanpa perlu memastikan, aku tahu dia berjalan masuk kemudian duduk di atas kasur persis di belakangku.
"Kau mau kopi?" tawaran itu datang bersamaan dengan suara gemerisik kantung plastik.
"Uh. Taruh saja di situ."
"Kalau kau mau camilan juga ada."
"Uh."
"Aku juga sudah membelikan mu rautan. Nih!"
"Uh."
"Cih. Kebaikanku diabaikan ceritanya, nih!?"
"Aku sedang fokus!"
"Hhh."
Apa masalahnya sampai mendengus begitu? Aku memang sedang fokus pada lembar kerja di depan ku. Tapi tetap saja dengusannya barusan terdengar jelas di telinga.
Aku tidak akan mengacaukan ritme yang sudah ku dapatkan.
Tidak ada ocehan apa-apa lagi setelah dengusan terakhirnya. Saat ku lirik sebentar, ternyata orang itu sedang senyum-senyum sendiri di depan ponselnya sambil tiduran di atas kasurku—dengan senang hati ia menggeser seluruh harta karunku ke sisi kasur.
Awas saja kalau harta karunku sampai jatuh.
*Srek*
Perhatian ku kembali teralihkan sejenak. Aku melirik orang itu yang sedang kedapatan menyobek plastik makanan ringan dengan memasang wajah gembiranya yang sedang menatap layar ponsel.
Jangan-jangan mereka berdua sedang kencan online!!!
"Mikki,"
"Huh?" aku menjawabnya masih dengan fokus menggambar.
"Kau perlu bantuan?" karena sambil mengunyah makanan, tawarannya barusan terasa seperti basa-basi semata.
"Memangnya kau bisa menggambar?"
Meski aku sendiri diberkati kemampuan menggambar, aku sama sekali tidak yakin ia diberkati hal yang sama.
Karena aku tahu dia sama sekali tidak bisa menggambar.
"Apa-apaan pertanyaanmu barusan, huh? Kau menyindirku, ya?" padahal perkataan ku tadi bukanlah sindiran—ya, itu hanya sebuah kejujuran. "Jangan meremehkan ku. Aku sudah banyak belajar!"
"Menggambar gunung tidak bisa disebut peningkatan!"
"Hah???" terdengar sedikit pekikan tawa. "Kau memang adik yang mengesalkan."
"Oi," sialan. Dengan cekatan ia melemparnya tepat sasaran di kepala. "Jangan melempar bantal. Jadi kecoret kan!!" aku menggerutu padanya setelah tanpa sengaja pensil di tanganku melesat tanpa kendali.
Bukannya merasa bersalah, ia justru tertawa mendengar omelanku.
"Kalau kau ingin membantuku, hapus ini!" dengan sedikit masam aku menunjuk coretan yang menjadi masalah utamanya.
"Oh. Ada yang bisa ku bantu ternyata, ya? Sini-sini biar aku bantu."
[Apa-apaan orang ini!!?]
Ia merangsak dari posisinya yang sedang duduk di atas kasur ke arahku. Apa jangan-jangan ia dengan sengaja membuat masalah agar ia sendiri bisa dapat bagian untuk membantu?
Cara pendekatan yang mengerikan.
"Sini biar aku yang hapus."
"Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri."
"Hmm. Aku ingin ikut andil dalam debut pertama mu padahal."
Hhh. Alasan yang tidak relevan. Aku tahu dia memang orang yang hanya suka mengerecoki. Jadi perkataannya barusan tidak terkesan apa-apa. Lagi pula itu cuma menghapus. Orang suram seperti ku pun mampu untuk melakukannya.
"Lain kali saja. Duduk manis saja lagi di sana."
"Baiklah. Kau menyia-nyiakan kesempatan bekerja sama dengan orang hebat seperti ku. Hmph."
[Apa-apaan tingkah pura-pura sombongannya itu?]
Orang itu beranjak kembali ke tempat asalnya. Ia mulai terduduk kembali di tepi kasur. "Kau sudah mengerti secara detail tugasnya? Kalau belum aku akan menanyakannya lagi pada, Righa."
"Dia sudah mengirimkan secara detail alur ceritanya lewat surel. Dia juga sudah menggaris-bawahi poin-poin pentingnya."
"Oh. Jadi ponselmu menyala terus karena itu?"
"Uh."
Aku tidak mungkin bisa membuat draft-nya secara menyeluruh jika tidak ada alurnya sama sekali. Tapi karena aku bekerja di bawah seorang komikus profesional, tentu komikus itu sudah mempersiapkan segala macam hal yang pasti akan ku tanyakan, termasuk mengirimkan secara detail hal-hal yang perlu disampaikan padaku lewat surel, yang secara berkala ku cek via ponsel yang ada di depan ku ini. Kurasa komikus ini adalah orang penuh pertimbangan.
"Kau tidak apa-apa dengan permintaan yang mendadak begini?" aku tahu apa yang dia maksud.
"Tidak. Aku melakukan ini juga karena aku menyukainya."
Aku mendengar ia terkekeh pelan. "Syukurlah kalau memang begitu."
Pada waktu itu, aku diberitahu kalau nanti aku akan bekerja sambilan menjadi asisten komikus tanpa ada surat perjanjian kontrak kerja. Aku tidak tahu dunia kerja yang sebenarnya bagaimana—karena aku sendiri belum pernah bekerja—tapi sepengetahuanku, harusnya ada yang namanya kontrak untuk sebuah pekerjaan, agar kedua belah pihak bisa saling mengunci dan tidak bisa bertindak seenaknya. Tapi aku tidak menemukan hal seperti itu sejauh ini. Kecuali hanya berupa omongan tentang uang saku dan etika yang harus ku patuhi nanti.
Aku yakin antara komikus itu dengan pihak penerbit pasti ada teken kontrak kerjanya. Tapi untuk ilustrator pembantu sepertiku, mungkin memang tidak ada kontrak tertentu, melainkan hanya perekrutan berdasarkan sistem kepercayaan belaka. Laki-laki di belakang ku ini pasti sudah berhasil membuat percaya komikus itu untuk mempercayaiku sepenuhnya.
Aku sudah mengatakan terima kasih untuk hal ini padanya.
"Righa baru saja meminta maaf jika ia mendadak merepotkan mu, Mikki."
"Huh?" aku sedikit mengerjap ketika ia tiba-tiba memberitahu hal itu. "Tidak masalah."
"Ya… aku sudah membalasnya."
Sampai-sampai meminta maaf, itu sesuatu yang berlebihan menurutku. Jika ada yang merasa sungkan, harusnya aku yang begitu. Karena ia mau memberi kesempatan padaku yang seorang amatiran.
"Adiknya masuk ke rumah sakit lagi pagi ini,"
[Huh?]
"Mungkin adiknya akan dirawat lagi di rumah sakit. Asistennya yang biasa membantunya juga dalam keadaan sakit. Dia sendiri juga tidak mungkin tetap menggambar di rumah sakit, bukan? Makanya dengan terpaksa ia menghubungi mu untuk membantu pekerjaannya lebih awal."
Komikus itu tak mengatakan hal ini sama sekali tadi.
Aku diberitahu untuk mulai bekerja sama dengannya akhir pekan depan. Dan secara tiba-tiba ia menelepon ku hari ini untuk meminta bantuan. Jadi ternyata inilah sebab ia tak enak hati.
"Kalau begitu tolong beritahu padanya aku akan menyelesaikan ini sesegera mungkin."
Dan permintaannya ini bukan masalah besar bagiku.
"Akan aku sampaikan."
Sekarang aku mengerti bahwa saat ini posisi komikus itu sedang sulit. Jadi sudah ku putuskan untuk lebih fokus pada pekerjaanku. Aku berharap dapat lebih teliti dan lebih cepat mengerjakannya.
"Mikki," orang di belakangku pasti ingin mengatakan sesuatu lagi. "Memang butuh waktu berapa lama untuk menyelesaikan itu semua?" ternyata hanya pertanyaan biasa.
"Mungkin butuh waktu 3 sampai 5 hari."
"Memang butuh waktu selama itu?" pertanyaan berikutnya ini sangat pantas dikeluarkan darinya yang memang orang awam.
"Awalnya aku hanya ingin membuat draft sederhana. Tapi aku akan mencoba merapikannya dengan membuat outline-nya juga." aku berhenti menggambar ketika kalimat terkahir terucap. Mataku mencoba menyoroti panel pertama yang baru saja ku selesaikan.
"Outline?"
"Anggap saja itu adalah teknik untuk membuat gambarnya menjadi lebih jelas dan hidup." mataku masih menyoroti panel ini. Aku sudah yakin panel pertama ini sudah sangat proporsional.
"Jadi teknik itu yang membuatnya pengerjaannya lama?"
"Anggap saja begitu."
Secara sekilas, menggambar seperti sebuah pekerjaan ringan yang mampu untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat. Setidaknya itulah hal yang pasti akan dibayangkan oleh orang awam seperti orang di belakang ku ini. Tapi pada prakteknya malah terjadi sebaliknya.
Yang menjadi sulit adalah ketika harus mengobservasi semua kemungkinan dari skenario terbaik dari yang terbaik untuk menggambar adegan demi adegannya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan adegan yang mengena agar terlihat apik—apalagi komik ini adalah komik petualangan penuh aksi—dan tak ku kira aku kedapatan adegan yang begitu krusial dan kompleks. Faktor ini secara langsung akan membuat tantangannya semakin berat. Padahal aku sangat yakin skenario yang diberikan komikus itu padaku hanyalah segelintir kecilnya saja. Aku sangat yakin dia sendiri-lah yang mendapatkan bagian terberat daripada semua ini.
Melakukan observasi saja sudah membuang waktu, ditambah seorang komikus juga harus mengaplikasikan disiplin teknik lain dalam menggambar ketika memulai proses pengerjaannya. Jelas hal-hal yang tumpang tindih ini akan memakan banyak waktu karena harus memetakannya secara satu persatu—seperti ketika membenarkan benang kusut. Jadi, meski hanya akan membuat komik dengan 5 halaman sekalipun, itu akan membutuhkan waktu yang lama—meski pada aktualnya tergantung bagaimana orang yang mengerjakannya itu sendiri.
Saat di telepon tadi, aku hanya diberi tugas oleh sang komikus untuk menerjemahkan setiap rinci kata adegan yang dikirimnya menjadi adegan dalam bentuk gambar. Bahkan dengan baik hati, ia pun hanya meminta ku untuk membuat sebuah draft sederhana saja. Di mana ia sendiri yang akan mengeksekusinya lebih jauh jika memang sudah memuaskan. Tapi kali ini aku akan menggunakan kesempatan pertama ku sebaik mungkin, dengan membuat outline-nya juga agar terlihat lebih rapih. Meski ada kemungkinan kalau hasilnya nanti tidak memuaskan dan malah membuang banyak waktu.
Tapi sebelum hal itu terjadi, aku akan mencoba sebaik mungkin agar benar-benar memuaskan.
Lagi pula mudah saja agar tidak ada salah persepsi antara aku dan si komikus itu. Aku akan berkomunikasi dengannya secara berkala untuk menunjukkan padanya sudah seberapa jauh progres kualitas pekerjaanku. Perkara yang mudah. Sosial media akan menjadi pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah ini.
"Oh, iya." apalagi yang ingin dibicarakan orang ini. "Kata Echa, kau akan menjadi relawan di sekolah mu?" sekarang pertanyaan aktifitas pribadiku.
Tidak heran kalau guruku yang satu itu mengatakan kasus ini padanya. "Dia tanpa ampun memaksa ku untuk ikut. Aku akan memulai debutku Rabu besok." karena memang secara sadar beliau sendiri yang menggiring ku tanpa ampun.
"Dan kau benar-benar bersedia?"
"Aku sudah kalah telak. Jadi mau bagaimana lagi!" dengan masih fokus menggambar aku terus menyahuti obrolannya dengan ketus.
"Tindakannya selalu mengejutkan, bukan?" orang ini sudah terbiasa dengan tingkah laku guruku itu. Bahkan ia mengatakan kalimat barusan dengan tertawa.
"Dia memang perempuan yang berbahaya."
Racun—Nuklir—Bu Echa. Mereka semua sama berbahanya bagiku.
"Dan ada satu hal lagi,"
[Terus saja bertanya padaku, terus saja mengganggu. Sampai nanti aku akan mengusir mu dengan paksa, tuan.]
"Kata Echa, kau habis kencan di Mall, ya?"
Pertanyaannya… sungguh—pertanyaannya membuatku shock—pertanyaannya langsung membuat ku berhenti menggambar.
"Hah???"
Dan dengan cepat kepalaku memutar ke arahnya.
"Kenapa kau kaget?"
"Jangan percaya pada orang itu begitu saja. Dia hanya melebih-lebihkan!"
Waktu itu aku sudah menjelaskan panjang lebar pada guruku itu apa yang sebenarnya terjadi. Menjelaskan semua kebenaran bahwa aku hanya dijadikan sandera oleh si penyihir kurang ajar. Aku juga tahu dia membicarakan hal itu pada laki-laki ini hanya sebagai bahan guyonan saja.
Tapi jelas laki-laki ini akan menggunakannya untuk mempermainkan ku.
"Ternyata kau sudah laku, ya? Hahaha." Ia tertawa lebar, sembari berderap berdiri kemudian merangkul ku. Sorot mataku kini mengikuti semua pergergerakannya
Cih. Dengerin dikit, kek.
"Bagaimana dia? Bawa ke rumah, dong. Perkenalkan pacarmu padaku,"
Lihat, bagaimana tingkahnya berubah menjadi menyebalkan.
"Tapi kalau dia cantik, kau harus hati-hati, Mikki,"
Kalau bisa, aku ingin menukar tambah laki-laki ini.
"Mungkin saja aku akan menikung mu. Hehem."
Sayangnya…
Dia adalah kakak ku.
BERSAMBUNG.