"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.
["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.
[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.
'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.
Selama Membaca ^-^
@ @ @ @ @
SUDAH 2 minggu berlalu sejak aku melakukan petualangan di pusat perbelanjaan bersama mereka berenam.
["Haika. Ini untukmu. Aku harap kau mau menerimanya."]
Masih melekat jelas dibenakku adegan 'aneh' itu dipenghujung pertemuan kami.
Secara teoritis, menjadi hal wajar ketika orang-orang merayakan hari ulang tahunmu dengan membuat perayaan meriah dan memberi mu kado. Secara masuk akal juga kau membalas mereka dengan mentraktir berbagai macam hal. Tapi aku baru menemukan kasus yang seperti ini, di mana yang sedang ulang tahun justru memberi kado kepada orang-orang disekitarnya. Kalau menganggap itu tidak masuk akal, si ketua sudah membuat hal ini benar-benar terjadi.
Harusnya dia sudah menjadi seorang 'legenda' saat ini.
Dengan begitu tenangnya ia membagikan kepada kami semua bingkisan kado yang sudah dibalut rapih kertas sampul berwarna-warni, tanpa menghiraukan sedikitpun wajah kami berenam yang heran kebingungan atas perilakunya.
Dan kalau dilihat lebih jauh lagi, perilakunya ini memang terasa diluar pemahamanku.
Aku sendiri datang ke sana atas ajakannya yang secara tiba-tiba. Walau aku enggan, tapi pada akhirnya ia berhasil menggiringku secara sukarela—meski aku juga tidak bisa menjabarkan mengapa aku setuju untuk datang. Dan yang selanjutnya terjadi adalah kejutan romantis yang sangat jelas di depan mataku yang membuat ku merasa meringis. Lalu kejutan itu diikuti sesi pemberian kado, di mana hanya aku saja teman yang terlihat paling bobrok karena tidak sama sekali memberinya kado spesial—padahal nyatanya aku hanyalah korban yang terjebak tanpa tahu apa-apa—meski tidak ada jaminan aku akan memberinya kado jika mengetahuinya sekalipun.
Tapi di situlah letak yang harus digaris-bawahi.
Tidak seperti semua temannya yang memberikan kado istimewa khusus untuknya, aku memang tidak sama sekali memberikan apa-apa. Lantas, kenapa dipenghujung pertemuan itu ia malah memberikan kado kepada semuanya termasuk diriku? Tidak masalah jika ia memberi kepada temannya. Tapi untukku sendiri, aku tidak ingat bahwa kita berteman—bahkan kita tidak sama sekali saling mengenal. Lantas atas dasar apa ia memberikan kado itu kepada ku? Motif apa yang membuatnya berperilaku demikian? Hal ini yang membuat ku berpikir bahwa perilakunya itu di luar pemahamanku.
Dia benar-benar mengerikan.
Akhir-akhir ini terkadang aku memikirkan itu. Apa yang sebenarnya ingin ia coba katakan padaku. Sesuatu yang mungkin tidak bisa ia katakan secara langsung. Hal terselubung yang begitu tidak terlihat. Sebenarnya aku sedikit mampu melihatnya, hanya saja masih begitu samar.
Pada intinya, aku menerima kado pemberiannya sama seperti yang lain. Tentu membawanya pulang. Menerimanya dan membawanya pulang tanpa bertanya apapun lagi padanya waktu itu. Karena tentu aku tidak akan menanyakan semua alasan yang membuatku heran apa yang menjadi motif sebenarnya. Aku bukan orang yang terbuka seperti itu. Karena ini pemikiranku semata, aku akan menganggapnya masalahku pribadi.
Dan aku akan mencoba mencerna semuanya sendiri.
Lemari buku abu-abu berlantai 3 berdiri tegak di samping kanan ku. Aku memberingsut ke tepi kasur untuk membuka laci paling bawah. Tanganku merogoh sesuatu di dalam sana. Ku angkat kembali ke atas ketika aku sudah mendapatkan apa yang ku cari.
Kado dari si ketua.
Kado itu sudah 2 minggu ada di dalam sana dengan masih terbalut rapih kertas sampulnya yang berwarna dominan hijau bergradasi hitam dan putih. Aku menaruhnya dengan sengaja ke dalam laci itu agar barang itu aman—lebih tepatnya agar tidak ditemukan oleh 'seseorang'. Dan selama 2 minggu itu pula aku belum membuka kadonya. Hanya melihatnya seksama kemudian mengguncangnya beberapa kali ketika untuk pertama kalinya aku mendapatkan kado itu. Dan setelahnya aku taruh ke dalam laci lalu melupakannya.
Tapi hari ini aku kembali teringat.
Ketika memikirkannya lebih jauh, aku malah menjadi penasaran.
Jangan tanya kenapa aku bisa sampai melupakan kado itu. Jika aku adalah seorang gadis, aku pasti akan menggebu-gebu lalu salah tingkah ketika mendapatkannya, dan tidak sabar untuk menyobek-nyobeknya—lalu mulai menjadi gila karena menganggap bahwa si ketua menaruh hatinya padaku lewat kado itu.
Mana mungkin!!!
Atau setidaknya, aku sebagai laki-laki yang menjadi teman baiknya akan sesegera mungkin membuka kado itu sebagai bentuk penghargaan terbesar dari seorang teman.
Tidak masalah kalau begini.
Tapi yang nyatanya terjadi adalah aku bukan seorang gadis dan juga bukan teman baiknya—bahkan hanya sekedar temannya. Kado pemberian darinya itu malah membuatku menaruh curiga padanya yang begitu besar. Mungkin karena itulah aku mulai menjadi penasaran.
Karena itulah sekarang aku ingin memastikannya. Memastikan kecurigaanku semata.
Lem solatif yang menjadi perekat kado ini mulai ku buka. Satu per satu. Sisi ujung kertasnya mulai lepas dan mengembang lebar—orang itu cukup pintar juga dalam melipat. Secara pelan aku mulai menjelajah untuk membuka lipatan demi lipatan kertas sampulnya.
Tunggu. Ini adalah sensasi yang aneh. Kenapa aku malah merasa sedang ulang tahun? Anggap saja ini adalah simulasi sebelum aku membuka kado ulang tahunku sendiri nanti—meski hari itu mungkin takkan pernah datang.
Mulai terlihat sebuah boks coklat di sana.
Bentuk kado ini tidak terlalu besar—tidak terlalu kecil juga. Dimensinya lumayan sedang untuk digenggam satu telapak tangan. Dan sebesar itulah boks berwarna coklat agak tua yang sedang ku pegang ini.
Apakah di dalam boks ini akan ada boks lagi?
Aku sempat tertelan ketika melihat kotak ini seksama. Ada tutup kotak di atasnya yang harus terlebih dahulu ku angkat. Layaknya membuka kotak misteri kehidupan, akankah aku menemukan sesuatu yang 'spesial' di sana? Aku tidak mengharapkan apa-apa.
Aku membukanya. Aku melihatnya.
Aku menemukan sesuatu.
["Inada. Maaf jika aku mengganggu waktu mu."]
["Uh-huh. Tidak apa."]
["Ada hal yang ingin aku sampaikan."]
["… ya. Akan aku dengarkan."]
Melihat isi barang di dalam kotak ini membuat ku teringat kejadian kurang lebih 2 bulan lalu. Ketika aku sedang menghabiskan waktu istirahatku di belakang sekolah yang membosankan seperti biasa.
["Maaf jika tiba-tiba,"]
Aku tidak tahu harus menyebut kejadian itu beruntung atau sial, yang pasti itu bukanlah sesuatu yang aku sendiri pedulikan.
["…maukah kamu menjadi pacarku?..."]
Tanpa sengaja, hari itu, aku menjadi saksi atas pernyataan cinta seorang Romeo kepada Juliet.
Pernyataan cinta Si Ketua kepada Seorang Gadis.
Pernyataan cinta Diar kepada Inada.
Aku sangat merasa canggung kala itu. Aku hanya bisa meredam semua suara yang mungkin saja aku keluarkan. Aku benar-benar mencoba menjadi patung kala itu. Alasannya hanya satu,
Agar mereka yakin kalau tidak ada orang lain di sekitar mereka.
Itu jelas momen sakral. Aku hanya mencoba agar tidak merusak apa yang seharusnya tumbuh menjadi indah.
Tapi, benar kata orang, kalau cinta akan membuat mu tergesa-gesa. Satu kesalahan yang dibuat oleh si ketua waktu itu adalah ia terlalu cepat menyimpulkan kalau lokasi di sana sudah benar-benar sepi. Ia terlalu percaya diri kalau di sana adalah tempat yang steril. Padahal nyatanya, selalu ada aku di sana setiap harinya.
Gedung belakang sekolah hanya berdiri tegak satu gedung memanjang. Jalan yang melingkari gedung belakang sekolah seakan-akan berbentuk huruf C, dimana satu gedung memanjang mengisi di tengahnya. Aku sendiri selalu ada di garis horizontal paling bawah untuk menghabiskan jam istirahat. Dan hari itu, dengan ceroboh ia menyatakan cintanya di sisi lain. Jalan setapak yang tidak begitu jauh dariku yang sedang terduduk manis. Ia hanya termakan oleh lingkungan sekitaran sana yang hening. Ia terlalu percaya begitu saja pada hal sekilas yang dilihatnya. Tanpa melihat lagi jalan setapak lain yang terhalang oleh tembok.
Di mana aku sangat jelas mendengar apa yang mereka 'Perbincangkan'.
Pada akhirnya, hari itu menjadi hari penuh sejarah bagi keduanya. Semua rasa takut si ketua hilang begitu saja ketika Inada menyanggupi semua permintaan, kurasa.
Dan ia baru sadar kalau ada orang lain di sana setelah permintaannya diterima.
Si ketua akhirnya tahu ada aku di sana. Akhirnya ia menengok ke sisi lain. Tentu ia menemukan aku yang dengan lahap sedang memakan roti. Kami saling bersitatap sejenak. Pertemuan kami untuk pertama kalinya itu pun berakhir tanpa ada pembicaraan sepatah kata pun. Meski ia tahu ada seorang saksi di sana yang mendengar semuanya, ia meluyur begitu saja tanpa memberi ocehan apapun padaku.
Lalu bagaimana dengan Inada sendiri? Aku tidak begitu yakin ia tahu keberadaanku. Yang ku dengar saat itu adalah langkah kaki yang menjauh—mungkin itu memang Inada. Sedangkan langkah kaki yang lain mulai terdengar semakin mendekat selepas langkah kaki pertama. Dan saat ku tengok, sosok si ketua berdiri di ujung jalan setapak. Setengah sosoknya terlihat jelas mengintip. Setengah sosoknya lagi terhalang oleh tembok. Ia hanya memasang wajah samar untuk ku mengerti—atau lebih tepatnya, aku tidak sempat melihat raut wajah apa yang ia tunjukan karena tanpa sadar aku memalingkan wajah ku darinya begitu cepat.
Jelas ada perasaan sungkan saat ia tahu keberadaan ku.
Kemudian berita besar tentang mereka berdua menjadi perbincangan hangat.
Selepas momen itu, secara sah mereka berdua menjalin hubungan yang membuat seluruh makhluk sekolah gempar.
Si Ketua berpacaran dengan Inada.
Inada berpacaran dengan Si Ketua.
Selama beberapa waktu, dua kalimat di atas secara bergantian keluar. Seakan-akan reinkarnasi Romeo dan Juliet kembali hidup. Hingga cukup pantas untuk menjadi berita bahagia yang sakral. Bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa si Romeo itu sendiri terlihat begitu bahagia dengan keberadaan si Juliet. Itu sangat jelas terlihat ketika si ketua begitu haru ketika diberi kejutan oleh Inada di hari ulang tahunnya. Bagiku reaksinya di hari itu merupakan perasaan yang tulus. Jadi, wajar bagi si ketua bahwa kehadiran Inada di sana adalah sesuatu yang penting baginya.
Hubungan di antara mereka tentu menjadi kisah yang bahagia. Meski pada kenyataannya, tidak semua orang merasa demikian.
Memang ada beberapa orang yang dengan senang hati menyambut hubungan mereka. Meski kebanyakan yang terjadi malah sebaliknya.
Hubungan mereka berdua justru dianggap sebuah malapetaka. Hubungan mereka berdua malah dianggap sebagai tindakan bodoh. Hubungan mereka berdua seakan-akan sedang berbahagia di atas penderitaan orang lain.
Si ketua adalah laki-laki populer. Begitu pun dengan Inada. Perempuan itu juga bukanlah siswi sembarangan. Tingkat kepopulerannya berada di puncak piramida, tentu ia adalah perempuan yang banyak diminati oleh laki-laki. Ke anggunannya jelas mampu menghipnotis banyak pasang mata laki-laki. Jika harus memasangkan dua sejoli yang sama-sama cocok, si ketua dan Inada memang pasangan yang sangat tepat untuk itu. Kurasa tidak akan ada yang mampu menyangkalnya.
Setidaknya, jika kejadian di hari itu tidak pernah terjadi.
Ketika dua orang siswa yang berteman akrab sampai harus berkelahi hanya demi seorang perempuan. Perempuan dengan kelemah-lembutannya. Perempuan yang benar-benar membutakan persahabatan mereka. Ya, perempuan itu adalah Inada. Dialah perempuan yang dua laki-laki itu perebutkan. Tanpa gadis itu sadari, keberadaannya sudah menghancurkan ikatan persahabatan antara dua laki-laki. Laki-laki yang sama-sama mencintai dirinya. Dua orang laki-laki yang pada akhirnya teracuhkan.
Gadis itu tidak bersalah, walau ia juga tidak sepenuhnya benar.
Seperti yang sudah ku katakan, bahwa masalah ini bukanlah untuk mencari siapa yang patut disalahkan dan siapa yang patut menyalahkan. Ini hanya masalah konflik sosial. Semua penilaian tergantung dari kacamata masing-masing yang melihatnya. Bagiku, ini semua hanya masalah waktunya saja yang tidak tepat.
'Tapi karena itu hidup mereka, lakukan saja apa yang mereka mau. Lagi pula aku tidak termasuk di dalamnya'.
Mungkin aku akan berkata seperti kalimat di atas itu sekali lagi. Tapi ternyata aku salah besar. Aku tidak termasuk di dalamnya? Itu sangat jelas benar. Tapi siapa yang akan menyangka kalau tiba-tiba aku akan terlibat? Terlebih aku ada di sa—
Oh—begitu, ya.
Akhirnya aku mengerti. Aku sampai mengerjap ketika tersadar.
Betapa bodohnya diriku yang begitu lambat untuk menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Untuk menyadari apa yang menjadi motif di balik tindakan si ketua yang selalu mengejutkan ku itu akhir-akhir ini.
"Hei, ketua. Bukankah ini adalah sebuah 'ancaman'?" aku hanya bisa menambahkan senyum ketus seiring sorot mataku yang dengan fokus menatap barang pemberiannya ini.
Jadi inikah kesimpulannya? Akhirnya semua hal yang terlihat samar menjadi jelas sekarang. Semua tindakan mengejutkannya akhir-akhir ini tidak cukup untuk membuatku mengerti. Tapi berkat isi dari kado ini, akhirnya aku bisa memahami apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh si ketua padaku yang tidak bisa ia katakan secara langsung. Sesuatu yang ingin ia katakan dengan cara yang samar, terselubung dan menjijikan. Berharap aku akan mengerti maksud hatinya tanpa harus ia memintanya secara langsung padaku.
"Padahal kau tidak perlu mengancam ku seperti ini."
Tapi…
Akan ku hormati keinginannya itu.
@ @ @ @ @
"Mikki. Aku ingin pergi keluar sebentar. Kau mau titip sesuatu?" laki-laki dengan pakaian kaos abu-abu bertuliskan 'I Love Cat, I Love Money, I Love You' berbaik hati menawarkan bantuan padaku. Ia cukup sering melakukan ini. Tapi akhir-akhir ini ia sudah menjadi orang sibuk, sehingga tawarannya barusan baru terdengar lagi untuk sekian lamanya.
"Tidak. Tidak perlu," aku menjawabnya asal. "Ah, tolong belikan rautan." aku menginterupsinya. Setelah ku ingat lagi, aku memang membutuhkan alat itu.
"Hanya itu?"
"Sebentar," dengan serius aku mulai mengamati seluruh barang-barang yang telah ku belatakan di atas kasur. Mungkin saja aku melupakan hal lain—mumpung ada orang yang mau berbaik hati mengabulkan apa yang ku pinta. "Ya. Itu saja." kurasa harta karun ku sudah lengkap, kecuali satu barang itu.
Laki-laki itu kemudian menutup pintu kamar ku dengan pelan.
Meninggalkan ku sendirian di kamar ini dengan peralatan menggambar ku yang sudah membelatak.
Sekitar 30 menit yang lalu, selepas aku meng-unboxing kado itu, aku disodorkan sebuah ponsel yang sedang melakukan panggilan. Tanpa banyak basa-basi, laki-laki tadi langsung menyuruh ku untuk bicara dengan orang di sana yang sedang menunggu jawaban. Aku sendiri cukup kebingungan ketika tiba-tiba harus menjawab panggilan itu. Tapi ketika laki-laki itu mengatakan secara singkat siapa yang ingin bicara denganku, aku langsung paham bahwa siapa yang sedang ku hadapi.
Namanya, Righa.
Dia adalah seorang komikus. Aku diperkenalkan secara tidak langsung padanya oleh laki-laki tadi—konon mereka berdua sudah berteman sejak lama. Aku tidak tahu seperti apa orangnya. Kalau hanya sekedar wajah, aku pernah diperlihatkan dari foto. Tapi kalau melihatnya secara langsung, aku belum pernah bertemu dengannya sama sekali. Namun, jika dilihat seksama dari fotonya sendiri, aku akan berasumsi bahwa dia adalah orang yang murah senyum, mungkin.
Ia adalah seorang komikus yang menerbitkan satu judul komik secara online di suatu platform. Komik itu tentang petualangan yang penuh aksi dan emosi. Aku menyukainya. Selain alur ceritanya yang menarik, desain karakter dan style gambarnya sangat bagus. Hal ini tentu membuat ku semakin tertarik dengan karyanya.
Lalu atas alasan dasar apa sampai aku diperkenalkan dengannya?
Mengilas waktu sejenak—sekitar 1,5 bulan yang lalu. Aku tidak tahu keberuntungan apa yang sedang menyelimuti ku. Hingga waktu itu, laki-laki tadi menawarkan padaku sebuah pekerjaan sambilan yang kebetulan aku sendiri menyukainya.
Menjadi seorang asisten komikus.
Meski sempat ragu dan gelisah, pada akhirnya aku mengambil kesempatan emas itu. Lalu laki-laki tadi tanpa pikir panjang merekomendasikan namaku kepada sang komikus hanya berdasarkan pengamatannya kalau aku memiliki bakat terpendam dalam menggambar—aku tidak tahu itu bakat atau bukan, yang pasti aku memang cukup banyak menghabiskan waktu untuk membuat draft gambar yang ujung-ujungnya tidak ada gunanya sama sekali—meski lebih banyak waktu yang ku habiskan untuk bermalas-malasan dengan membaca komik atau semacamnya, sih.
Kemudian, berselang beberapa hari, aku mendapat tawaran terbuka dari sang komikus untuk ikut gabung dengan timnya, walau terlebih dahulu aku harus membuat sebuah bukti untuk membuatnya yakin kalau aku memang memiliki kemampuan dalam menggambar—dan pantas masuk untuk menjadi bagian dari tim.
Waktu itu ia meminta untuk dibuatkan sebuah draft sederhana tentang seorang pahlawan yang menyelamatkan warga. Ya, klunya hanya itu saja. Ia meminta agar setidaknya aku membuat minimal 10 halaman dengan tipe kertas berukuran F5. Dan tak habis pikir, aku malah membuatnya sebanyak 15 halaman dalam 7 hari. Aku memang merasa kesurupan waktu saat mengerjakannya. Meski klu yang diberikan sederhana, imajinasi ku malah menginterpretasikannya begitu liar. Banyak adegan emosional yang melintas di benakku yang pada akhirnya ku tuangkan lalu ku sempurnakan ke dalam draft itu. Kemudian aku mengirimkannya lewat surel dan tidak peduli apakah ia akan senang dengan hasilnya atau tidak. Aku sudah membuatnya dengan sepenuh hati, jadi jika tidak ada kabar baik yang ku terima setelah itu, setidaknya aku sudah mengeluarkan semua keresahan.
Dan aku tidak akan menyesalinya.
Berselang seminggu dari hari pengiriman, aku mendapat balasan surel kalau ia menyukai style gambar yang ku buat. Ia juga mengatakan kalau imajinasiku sangat fresh dan kemampuan ku dalam menata skenario sangat tertata rapi dan emosional.
Hehem. Tidak sia-sia.
Aku sangat berterima kasih kepada diriku yang seorang pecinta komik, novel dan Anime.
Karena banyak hal inspiratif yang ku dapatkan dari sana.
Isi dari surel itu pada intinya adalah ia menyambutku dengan tangan terbuka untuk masuk ke dalam tim, meski ia mengatakan akan mengatur jadwal terlebih dahulu kapan aku bisa ikut bergabung. Lalu sekitar 2 minggu yang lalu ia memberikan kabar terakhir padaku. Ia mengatakan kalau aku bisa memulai debutku mulai minggu depan. Jadi secara teknis, aku akan bekerja mulai minggu depan.
Lantas apa gerangan yang membuatnya menelpon ku hari ini?
Itu tentang permintaan darurat. Di ujung telepon, ia meminta tolong padaku dengan suara yang lembut—terdengar lirih—meminta ku untuk membuatkan draft gambar sebuah cerita. Suara yang keluar dari ujung speaker ponsel membuatku tidak enak hati ketika mendengarnya. Orang itu seperti meminta bantuan dengan begitu tulus, aku mendengarnya demikian. Tanpa menyangkalnya sedikit pun, ku sanggupi permintannya.
Secara resmi aku memang belum sah menjadi tim. Untuk draft yang waktu lalu ku buat hanya sebagai bentuk penilaian semata. Tapi untuk permintaannya kali ini, ia sendiri bilang bahwa draft kali ini sangat penting karena untuk bahan pertimbangan publikasi dan ia memohon untuk itu. Ini menjadi tugas pertamaku memulai debut dadakan sebagai seorang pro. Jadi, aku menyetujuinya bukan karena menilai dari bagaimana cara ia memintanya, tapi aku sendiri merasa bahwa hal ini penting untuk ku lakukan.
Bukan demi dirinya. Tapi demi diriku sendiri.
Bisa dibilang, ini adalah kali pertama aku memiliki pekerjaan paruh waktu. Tentu aku tidak muluk menggaris-bawahi berapa bayaran yang harus ku terima. Aku melakukan ini semua bukan demi uang, tapi hanya demi suatu hal yang ku cintai, serta untuk membuatnya menjadi lebih bernilai.
Tentu aku berharap ini menjadi langkah awal untuk membuatku menjadi seorang profesional.
LANJUT KE BAB 8-B.