Chereads / Entah Kenapa Hidupku Tak Secerah Matahari / Chapter 7 - BAB 5-A (Sudah Saatnya Untuk Pergi Tamasya Ke Planet Uranus)

Chapter 7 - BAB 5-A (Sudah Saatnya Untuk Pergi Tamasya Ke Planet Uranus)

Agar tidak membuat bingung, tolong baca terlebih dahulu (jika berkenan) struktur penulisan di bawah ini :

"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.

["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.

[Kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.

'Kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu (makna ganda) / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.

Selamat Membaca ^-^

@ @ @ @ @

'BUATLAH 5 SOAL (MINIMAL) DAN TANGGAPAN KALIAN MENGENAI PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT. KERJAKAN DI KERTAS SELEMBAR DAN DIKUMPULKAN HARI INI.'

SETELAH bel pergantian jam di mulai, gemuruh kelas ini tidak dapat berlangsung lama. Kami hanya diberi waktu santai kurang lebih 10 menit antara jam sebelumnya ke jam berikutnya. Setelah waktu 10 menit itu lewat begitu saja, guru mata pelajaran IPS kami datang tiba-tiba—tanpa membawa apa-apa—tanpa basa-basi langsung menuju ke tengah kelas. Tak ada yang bergeming dengan kedatangannya yang seperti ninja itu. Hanya terdengar beberapa kalimat samar yang berbisik di udara. Tapi kalimat itu akan hilang sebelum mencapai ke depan. Tentu kalimat itu harus lenyap sebelum mencapai ke depan. Jika tidak, habislah riwayat yang menjadi sumber suara tersebut. Aku sendiri tidak begitu khawatir. Karena aku sudah terbiasa dengan guru ini yang 'Dingin'. Lalu beliau menuliskan sebuah ukiran dengan spidol tinta hitam di sana. Alhasil, papan tulis itu menjadi pusat perhatian dengan sederet kalimat serunya.

"Sekarang buatlah kelompok berisi 2 orang. Mau dengan teman sebangku atau tidak, kalian bebas menentukan. Tugas kali ini seputar perilaku sosial di masyarakat. Buatlah 5 pertanyaan sekaligus tanggapan kalian masing-masing tentang itu. Setelah bel istirahat berbunyi, tugas dikumpulkan di satu orang dan harap taruh di meja saya. Ada yang ingin ditanyakan?"

[Terlalu cepat.]

Sebelum kata-katanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, kata-katanya barusan malahan tidak masuk ke telingaku sama sekali.

"Maksudnya bagaimana, Pak? Bisa kasih contohnya?"

[Bagus, Vino. Lanjutkan.]

Selain refleksnya cepat, anak yang satu ini juga tidak memiliki rasa takut sama sekali untuk menginterupsi.

"Misal kalian membuat soal seperti : Kenapa saat ini tindak kriminalitas jumlahnya meningkat?" beliau kembali menulis contoh kalimat itu di papan tulis. "Lalu tanggapilah pertanyaan yang kalian buat sendiri. Tugas kali ini untuk melihat seberapa jauh kalian peka terhadap lingkungan sekitar. Tugas ini juga untuk melatih pola pikir dan melihat seberapa luasnya sudut pandang kalian. Paham!?"

Meskipun tugas kali ini bertujuan untuk melatih pola pikir dan sudut pandang, ini lebih seperti memaksakan asumsi belaka. Tapi karena beliau mengatakan 'Melatih', kurasa sah-sah saja. Walaupun akan terjadi ketidakantusiasan seperti percakapan berbisik antara 2 orang di depanku ini.

"Hmm~ kedengarannya sangat-sangat mudah."

"Ini tidak lebih dari sekedar membual. Terlalu mudah."

Aku tidak peduli dengan yang mereka bicarakan. Tapi aku cukup setuju dengan kata 'Membual'-nya. Karena aku sering melakukan itu.

"Dan kalian tidak perlu terlalu fokus pada tema kriminalitas. Kalian juga boleh membahas hal lain seperti, kurangnya minat baca di kalangan pelajar atau kurangnya penghargaan terhadap budaya sendiri ataupun tradisi contek-mencontek."

Mungkin ada yang salah dengan beliau hari ini. Cara komunikasinya menjadi lebih cepat dari biasanya. Raut wajahnya pun lebih memberengut dari biasanya. Kesimpulan, hari ini beliau menjadi lebih 'Dingin' dan 'Gelap' dari biasanya. Inilah gambaran perilaku kehidupan orang dewasa yang sebenar-benarnya.

Aku tidak tahu apakah semua orang di sini mengerti tentang tugasnya, tapi tidak ada pertanyaan lagi yang keluar setelah itu. Jadi beliau kembali pergi setelah menerangkan tugasnya dengan ringan.

Dan gemuruh kelas pun kembali membumbung lantang.

"Oi, teman sebangku ku tidak masuk hari ini. Aku bisa gabung denganmu, 'kan?" Kalimat permintaan itu merangkah cukup lantang saat aku sedang mengebet selembar kertas dari buku tulisku yang ada di atas meja. Sepertinya kalimat itu ditujukan untukku. Arahnya dari serong kiri depanku.

Untuk memastikan, aku menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk.

"Uh-huh. Kau sendirian, 'kan?" sorot matanya terlihat begitu antusias.

Kalau dilihat dari caranya berbicara, ia cukup rendah hati. Padahal aku selalu terlihat sendirian, tapi ia masih bertanya apakah aku sendirian atau tidak. Mengesankan

"Uh."

"Baguslah. Jadi kita bisa membuat kelompok baru, 'kan?"

Dan ia pun berakhir duduk di kursi sampingku yang kosong.

Wajah dan perilakunya memang lebih bersemangat dibanding yang lain. Atau bisa dibilang dia adalah anak yang lumayan aktif. Meski tidak mencolok, terkadang anak yang satu ini menjadi sumber polusi suara jika sudah bercanda dengan teman sebangkunya yang tidak masuk hari ini. Aku tidak begitu mengenalnya. Itu hanya keluhanku karena dia duduk tidak terlalu jauh dari sini. Terkadang mataku dengan sendirinya memperhatikan mereka ketika waktu-waktu tertentu.

Tapi itu bukan berarti mereka satu-satunya penyumbang kebisingan di kelas ini. Malahan mereka hanya sekedar kelompok kecil yang setara dengan kutu. Biang kebisingan di area belakang yang sebenarnya adalah 2 orang di depanku—bukan, tapi keseluruhan kelas ini. Merekalah penyumbang polusi suara terbesar di kelas. Meski kelompoknya memang hanya 2 orang, tapi 2 orang ini cukup untuk membentuk kelompok yang besar—setara dengan lipan / kelabang / kecoa atau bahkan tikus. Tentu ini juga termasuk keluhanku. Tak jarang perilaku mereka yang rusuh membuat posisiku yang duduk persis di belakang mereka dan paling belakang ikut menjadi sasaran empuk saat guru sedang marah karena tingkah mereka.

Nama mereka adalah Paris dan Nino. Dan keberadaan mereka juga terasa sedikit tidak disukai oleh penghuni kelas ini. Kelakar mereka terkadang malah mengundang beberapa cibiran : 'Laki, heboh banget!'—'Mereka itu laki-laki 100% 'kan?'. Meskipun, guyonan mereka lebih sering membuat kelas ini tertawa juga, sih.

Mereka sangat populer di kelas ini.

"Oi. Kertas selembarmu simpan saja. Pakai kertas binder ini biar lebih gampang."

Apa sebenarnya yang dia mau? Apa ia tidak percaya kertas punyaku ini masih suci dan bersih?

"Kurasa sama saja mau kertas binder atau yang ini."

"Bukan begitu. Aku memakai kertas ini ada alasannya,"

Kertas tetaplah kertas pada hasilnya. Tapi bukan berarti material pembuat kertas akan selalu sama. Meski kebanyakan berasal dari tumbuhan, mungkin kertas miliknya berasal dari tumbuhan yang langka. Jadi apakah itu alasannya? Apalagi aku membeli buku ini saat harganya sedang diskon besar-besaran.

"Aku tidak mau bekerja sama. Aku ingin kita mengerjakan tugasnya sendiri-sendiri. Makanya kita harus pakai kertas ini supaya lebih mudah menyatukannya."

[Ini intimidasi.]

"Aku tetap akan membuat 5 soal. Kau sendiri bebas menentukan berapa soal yang mau kau buat. Lalu nanti kertasnya akan aku staples. Mudah, 'kan?"

[Benar-benar intimidasi. Mana bagian yang disebut kelompok, huh?]

"Uh." [Ya, walaupun aku tidak merasa terintimidasi juga, sih.]

Dan ia pun mulai berpikir di depan kertasnya dengan antusias. Sangat antusias. Sangat-sangat—???

Anak ini terlihat begitu termotivasi. Apa jangan-jangan ia suka membual juga?

Ini pertaruhannya : Dari kesehariannya, ia memang mempunyai banyak koneksi soal komunikasi sosial. Lebih gampangnya, ia punya banyak teman. Saat istirahat atau sepulang sekolah pun ia sering dikelilingi banyak orang—bahkan dari kelas lain. Kurasa bukan karena ia tampan atau semacamnya, tapi karena sifatnya yang mudah membaur dengan lingkungan. Kemampuan yang sama seperti yang ku miliki. Bedanya, ia akan menampakkan diri dengan jelas siapa dirinya di lingkungan tersebut. Sedangkan aku, akan membaur dengan kerumunan lalu melenyapkan identitasku dan menghilang begitu saja sampai tidak ada yang menyadari bahwa aku ada di antara mereka. Jika ia berhasil masuk sampai ke sistem sebuah lingkungan, maka aku hanya masuk ke dalam lingkungan dari sebuah lingkungan. Mudahnya, aku hanya menjadi sebuah latar belakang dari gambaran suatu kehidupan. Mengharukan.

Pertaruhannya bukan cuma sampai di situ. Aku juga sering mendengar anak ini berkompromi dengan teman sebangkunya soal bualannya tentang kehidupan. Seperti tawuran, Bully, pemalakan, seks bebas bahkan sampai sistem kepemerintahan. Mereka berdua itu ras yang jarang ditemui sebagai seorang anak SMA. Karena anak SMA kebanyakan hanya akan membicarakan hal-hal tertentu saja dan mengabaikan sesuatu yang kuno atau bahasan yang berat. Topik pembicaraan yang lumrah hanya menyangkut hal-hal ringan seperti yang sedang hits, kekinian dan keren. Topik kebanyakan hanya tentang game, anime, drama, idola, fashion, olahraga, percintaan, bertemu kecoa terbang atau kucing mati. Ya, walau sering juga mereka membicarakan tentang guru atau hal-hal cabul. Tapi itu semua dapat ditepis dan diwajarkan dengan alasan mereka adalah anak SMA. Jadi kalau begitu apakah mereka bukan anak SMA? Kalau itu sih nggak mungkin. Mereka hanya memiliki pola pikir yang sedikit lebih rumit—mungkin.

Dan aku masih punya satu pertaruhan lagi. Percakapan intens antara ia dan teman sebangkunya akan terjadi ketika jam kosong atau istirahat. Saat-saat itulah mereka berdua berkeluh kesah satu sama lain dengan suara yang lumayan lantang.

Suatu saat, di momen hari itu, aku mendengar apa yang membuatnya tertarik. Ilmu sosial. Secara terang-terangan ia mengatakan akan masuk ke IPS saat nanti. Dan ia juga mengatakan kalau ia membenci hitung-hitungan.

Dengan begini aku memiliki dasar atas kesimpulanku, bahwa anak ini benar-benar menyukai tugas yang diberikan kali ini. Dan itulah sebabnya mengapa ia sangat antusias. Lalu soal kenapa ia menyuruhku mengerjakan tugasnya sendiri-sendiri sudah jelas. Ia hanya tidak ingin diganggu. Ketika kau mencintai sesuatu, tentu kau tidak mau membaginya dengan yang lain, bukan? Apalagi dengan orang yang tidak kau kenal. Apalagi ada kemungkinan bahwa akan terjadi debat karena pemikiranmu tidak sama dengan orang itu. Jadi tidak ada unsur intimidasi di sini. Kami berdua adalah pembual yang ulung—jadi kami akan tetap kokoh di jalan kami masing-masing. Karena jika ia tak percaya denganku, untuk apa susah-susah ia mengajakku, bukan?

"Oi,"

Tidak ada dari kami berdua yang bergeming. Mata kami fokus ke depan kertas masing-masing dan otak kami menerawang apa yang ingin kami tulis di sana. Sampai orang di sebelahku membuka pembicaraan.

"Apa yang kau lakukan jika ada orang yang berbeda pendapat denganmu?"

Kepalaku pun menengok dengan otomatisnya ke sumber suara. Dia sedang menanyai pendapat ku, ya? Baiklah, akan ku jawab sesuai dengan pengalamanku.

"Tidak ada." Apa kau puas kawan?

Penyendiri adalah ranah yang berbeda. Ibaratkan aku sedang membuat istana pasir di pantai, lalu di sekitarku ada segerombolan anak yang sedang membuat istana pasir juga di sana. Lalu datanglah anak rusuh dari salah satu gerombolan itu dan menendang istana pasir temannya sampai hancur. Apa yang terjadi padaku? Tidak ada. Karena anak sialan itu bukanlah seorang teman yang memiliki ikatan apapun padaku. Namun jika ia tetap datang padaku dan menghancurkan istana pasirku, aku hanya akan bergumam : Kenapa dengan anak brengsek ini? Apa ia tidak memiliki kehidupan? Ya, meski itu jarang terjadi.

Anggap saja ini salah satu keuntungan menjadi penyendiri—tak ada yang mengganggumu. Walaupun juga berarti... tak ada yang peduli padamu. Bukan berarti mereka tidak ingin mengganggu. Karena mereka tidak mengenalnya, itulah kenapa mereka tidak mengganggu. Ular berbisa pun tidak akan bereaksi jika tidak ada yang mengusik. Seperti halnya berbeda pendapat. Pertanyaan bukanlah apa yang ku lakukan ketika aku berbeda pendapat dengan seseorang. Tapi dengan siapa juga aku akan berbeda pendapat?

Begitulah caraku menjalani kehidupan emasku.

Tak ada respons. Raut wajahnya begitu datar atas jawaban yang ku berikan. Apa ia tidak puas? Entahlah.

Mengesampingkan jawabanku, ia langsung menepuk pundak salah satu orang yang duduk di depannya. "Apa yang kau lakukan jika kau berbeda pendapat dengan seseorang?"

Dia menanyakan hal yang sama pada Nino. Aku penasaran apa jawabannya.

"Huh?... Kalau aku berbeda pendapat?...Hmm..." gaya berpikir yang keren. Jangan mengecewakan, oke. "Aku akan memaksakan pendapat ku sampai aku menang." Elegan.

Ilmu sosial adalah ilmu yang relatif. Tidak seperti Fisika, Matematika atau Kimia, pelajaran ini memiliki jawaban yang mutlak. Walau terkadang banyak cara berbeda dalam penyelesaiannya, jika pertanyaan yang diberikan sama, niscaya jawabannya hanya ada satu. Sedanggkan Ilmu Sosial tidak berlaku hal yang sama. Meski pertanyaan yang diberikan pada setiap orang sama, jawabannya hanya relatif. Tergantung siapa yang ditanyai. Meskipun nantinya akan ada sisi yang lebih dominan. Momen inilah yang akhirnya menciptakan 2 kubu. Kubu Hitam dan Kubu Putih.

Jawaban yang dia dapat dari Nino tetap tidak membuatnya bergeming. Ia bereaksi datar dan tak mengucapkan sepatah kata pun seperti reaksi sebelumnya saat menanyaiku. Hanya berkedip secara normal dan terdiam sesaat seperti menerawang. Ia memikirkan sesuatu, mungkin.

Lalu ia menanyakan perihal yang sama pada Paris yang sedari tadi memperhatikan. "Kalau kau sendiri?"

Sang narasumber itu pun sedikit mengerjap. Mungkin ia tak menyangka akan ditanyai juga.

"Hmph. Orang yang berbeda pendapat itu sangat mengesalkan. Cara mudah mengalahkan mereka adalah mencari celah pendapatnya lalu hina dia habis-habisan."

"Ah, benar banget tuh. Orang kayak gitu memang bikin kesal."

"Kalau perlu, aku akan memukul orang itu kalau bisa."

"Pasti. Rasanya mau hajar orangnya langsung."

"Apalagi kalau udah adu bacot di sosial media, rasanya puas kalau bisa ngatain orangnya langsung."

"Apalagi sampai orangnya marah—malahan sampai kirim pesan segala."

"Pokoknya, siapa yang peduli sama beda pendapat. Kalau orangnya udah bikin kesal, hina aja langsung."

Inilah kenapa mereka disebut heboh. Heboh mereka tidak seperti laki-laki setengah perempuan. Malah mereka tampil sebenarnya laki-laki. Jika saja para guru tidak sering menceramahi tampilan mereka, mungkin mereka akan tampil lebih acak-acakan dari ini. Heboh mereka yang di maksud lebih ke perkataan celetuk saat guru bicara, mengganggu seseorang yang sedang ngobrol, ikut nimbrung dengan obrolan orang lain dan berbicara lantang dan tak putus-putus saat mereka berdua berbicara. Mungkin aku harus meralat kata 'Heboh'-nya. Bukan Heboh, tapi Berisik. Kelompok kecil mereka bisa menjadi sesuatu yang beda beberapa waktu ke depan.

Dan mereka berdua melupakan satu hal penting.

Selain membeberkan aib sendiri, mereka lupa siapa yang sedang di tinggalkan dalam pembicaraan ini.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, ia langsung meninggalkan forum kecilnya barusan dengan 2 orang berisik tadi. Apa ia merasa muak dengan obrolan itu? Wajahnya sendiri tidak menggambarkan apapun. Datar dan menerawang—tetap duduk tenang di tempatnya sembari memegang kertas yang masih kosong di tangan kanannya. 2 orang di depanku juga kembali bersikap sedia kala.

Kejadian barusan membuat secercah materi terlintas di kepalaku. Untunglah, akhirnya aku menemukan satu pertanyaan yang cocok—setidaknya menurutku.

Ini pertanyaan pertamaku : Apakah dengan membuat aturan yang tegas dan terikat mampu untuk memberantas tindak kriminalitas dari yang kecil, menengah sampai yang besar secara efektif?

Kembali lagi ke awal. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Gali lubang tutup lubang. Masalahnya bukanlah pada tindakan, tapi jiwa. Pada zaman yang modern seperti saat ini tindak kriminalitas tidak lagi dianggap sebagai 'Dosa', tapi keseharian—terutama bagi pelakunya. Tersebut keseharian, maka ini seperti menjadi sebuah kebiasaan. Jadi masalahnya bukanlah bagaimana peraturan ditegakkan, tapi apa yang bisa membuatnya jera. Dan—

Seketika otakku dipenuhi dengan tanggapan-tanggapan atas pertanyaanku sendiri. Tapi aku masih memikirkannya—tanganku yang sedang memegang pulpen pun belum menulis apa-apa di atas kertas kosong ini. Aku sedang menunggu momentum. Layaknya restoran mewah dengan bahan bakunya yang berkualitas, otakku juga sedang menyortir opini terbaik dari A sampai Z. Tapi karena terlalu banyak berpikir, justru terjadi sebaliknya.

[Ah!!!] Sial, aku kehilangan momentum.

Tanggapan barusan yang menurutku keren itupun memudar dari ruang memoriku. Padahal pola jawabannya sudah sistematis dan keren. Saking banyaknya kata-kata yang ada di benakku membuatnya tumpang tindih satu sama lain—dan beberapa opiniku pun hilang. Sial, aku harus memikirkannya dan merangkainya lagi dari awal. Inilah yang disebut kerja 2 kali.

Orang sekelompokku pun akhirnya mulai menulis sebuah pertanyaan. Kertas putih bergarisnya itu mulai di hinggapi sederetan abjad oleh tinta biru pulpennya. Ia juga terkadang bergumam sendiri dengan frekuensi suara yang tidak terdengar. Ini seperti aku sedang memperhatikannya bukan? Tidak-tidak. Yang ku lakukan sebenarnya adalah memikirkan apa yang harus ku tulis sebagai jawaban di kertas ini. Tapi secara otomatis mataku malah melihat sekelilingku sambil menerawang dalam, dalam benakku. Kurasa ini perilaku manusiawi sebagai manusia ketika sedang berpikir.

Jadi poin untuk hari ini... aku masih termasuk dalam jajaran manusia.

"Pertanyaan apa yang harus kita buat?" utas mereka tiba-tiba menyambar ke telingaku. Dua orang di depanku.

"Hmm~.... kenapa setiap kali melihat Hana rasanya ingin menciumnya?"

Ya... kalau bicara hal yang cabul.... mereka berbicara dengan suara yang pelan.

"Ha..ha.. kau bodoh, ya!? Bisa digampar kita sama guru sialan itu."

"Ha..ha.. orang tua yang satu itu..."

"Bagaimana kalau begini?" terlihat lampu bohlam menyala di kepalanya.

"Huh?"

Aku bisa mencium rencana jahat mereka meski sedang berpikir.

Aura kelakar mereka benar-benar luar biasa.

"Bagaimana dengan ini?" Nino menyodorkan kertas kerjanya pada Paris.

Ia percaya begitu saja dan mengambilnya. 'Kenapa orang dewasa membuat jam sekolah begitu lama sampai sore?' dan mengejanya. "Memangnya kenapa?"

"Kebodohanmu memang tidak tertolong. Masak hal sepele kayak begitu enggak ngerti!?"

"Kau mengataiku 'bodoh'!? Dasar otak di dengkul!"

"Dasar enggak punya otak!"

"Otak mecin."

Aku sangat menikmati ketika mereka saling hina. Tapi kembalilah ke topik pembicaraan.

"Jawabannya sederhana. Sesederhana otakmu itu."

"Terserahlah. Hutangmu takkan ku bayar."

"Mukamu semakin jelek kalau lagi serius. Hahaha."

"Tapi pacarmu hampir ku tikung dan memutuskanmu kan?"

"Berhenti bahas soal itu. Atau hutangmu akan ku lipat gandakan!!"

Inilah yang disebut lingkaran setan. Jika tidak dihentikan, komedi ini akan menjadi perkelahian. Hal ini sering terjadi, bukan?

Tapi untungnya mereka berhenti main-main.

Tom dan Jerry ini sudah mulai lelah bertengkar. Tapi hebat, mungkin inilah yang disebut ikatan. Meski sering saling ejek dan menjatuhkan, mereka tetap akur dan tak memiliki jarak. Mereka seperti dua petinju profesional yang habis bertarung.

Lalu siapa yang menjadi pemenangnya?

Masih dalam renungkan ku. Aku mulai menyusun kembali fondasi jawaban. Aku masih belum menulisnya—terasa ada yang sedikit kurang. Tapi tak masalah, sebagian ingatanku sudah menyimpan jawabannya di sana.

Pundak Nino yang membungkuk mengusik. Ia selesai menulis jawabannya dan kembali menyodorkan kertas kerjanya ke Paris dengan senyum sombong—ketus—angkuh... ia tersenyum bangga. Ia berhasil menemukan misterinya.

Momen estafet terjadi. Kini Paris yang memegang secarik kertas penuh informasi tersebut.

Paris sekilas terlihat tersenyum jahat—sama dengan senyuman bangga Nino tadi. Bagaimana mereka membuat sinkronisasi yang begitu apik? Bagaimana bisa Paris membaca sebuah tulisan yang terlihat seperti tanda tangan? Apakah pesan itu akan sampai pada guru IPS kami? Kurasa beliau hanya perlu membuat paraf di atas kertas itu untuk formalitas—aku sendiri tidak bisa membacanya. Itu ukiran kuno. Jawaban mereka itu pun masih menjadi misteri bagiku.

Pengintaian tidak langsung ku pada mereka berdua masih berlanjut—sembari berpikir menemukan jawabanku yang sebelumnya hilang. Sebelum aku meninggalkan pandanganku pada mereka, aku mengerjap. Sengatan kecil melintas di kepalaku. Mungkin bola mataku sedikit melebar karenanya. Inikah yang disebut kompensasi dari langit?

Belum selesai menyempurnakan jawaban, aku langsung dapat pertanyaan baru. Bagaimana bisa hanya dengan melihat tingkah kecil mereka aku menjadi termotivasi? Jika dengan melihat sesuatu yang 'Busuk' aku langsung dapat banyak pertanyaan—Oh... kalau begitu kenapa aku tidak menjadikan diriku sendiri sebagai subyek permasalahannya saja? Dengan begitu aku bisa menyelesaikannya dengan cepat.

Mari ku coba.

Sesuai rencana.

Progres penyelesaian tugas ini dapat ku kebut. Tak ku sangka menjadikan kebusukanku sebagai objek permasalahan dapat bekerja efektif. Sangat efektif. Kau pernah dengar pernyataan bahwa di setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, bukan? Dan itu benar-benar terjadi. Dengan mudahnya aku menggali kebusukanku menjadi sebuah permasalahan sosial. Ini jelas bukan sebuah pujian. Entah apa yang salah, tapi aku merasa lega dapat menyelesaikan bagianku. Aku membuat 5 soal minimum—dan menghabiskan 1 setengah lembar kertas binder.

Teman sekelompok ku masih berkutat di nomor 4. Terkadang ia bergumam sendiri sambil melototi kertas kerjanya. Setengah lebih perjalanannya sudah terlewati begitu saja dan menyisakan titik darah penghabisan untuk sisanya. Apa ia kesulitan? Mengingat ia adalah seseorang yang aktif sosial, hal itu bukan sesuatu yang mustahil. Adanya orang-orang yang selalu menopangmu di dalam segala keadaan akan membuatmu melewatkan sesuatu yang mendasar. Tapi karena jiwanya yang kompetitif—dalam hal ini, kurasa tak ada yang perlu di khawatirkan.

Aku percaya sepenuhnya pada kaptenku.

Bel sebelum istirahat menyisakan 20 menit lagi. Itu artinya hanya tersisa 20 menit lagi untuk menyelesaikan tugas ini—tapi tak perlu kaku. Pasti akan ada Injury Time.

Sayup-sayup kelas ini juga tidak pekak. Interferensi suara kelas ini tidak terdengar dominan. Terlihat masih banyak yang membungkuk sedang menulis dan menerawang sambil bergumam sendiri mencari jawaban—tentu ini tidak benar-benar membuat kelas ini hening. Beberapa juga sudah ada yang menyelesaikannya—bahkan sedari tadi—entah apa yang ditulisnya. Salah satunya adalah Vino—sekaligus yang menjadi penanggung jawab untuk pengumpul tugas.

Ya... ini bukan seperti yang menyelesaikannya baru boleh berisik. Kau mengerti bukan kelakuan anak sekolah ketika diberi tugas lalu ditinggal gurunya? Ada yang melimpahkan bagiannya pada temannya dan dia sendiri hilang entah kemana. Ada yang di tinggal tidur teman kelompoknya. Ada juga yang mengerjakannya sambil bercanda—seperti yang sedari awal 2 orang di depanku ini lakukan. Mereka bermain suit dan siapa yang kalah harus dicabut rambut kepalanya satu-satu. Mungkin inilah penyebab energi otak mereka terkuras habis. Dan tipe murid sisanya.... mengerjakannya dengan khusyuk. Setelah selesai barulah mereka mendapat kebebasan mereka.

Aku siswa yang cukup beruntung. Kelasku cukup kondusif. Ini membuat jiwa penyendiriku tersalurkan dengan baik. Kau tahu? Seorang penyendiri itu seperti singa—bukan. Kadang-kadang aku keliru menamai pendiam dan penyendiri. Jadi aku bukan seekor singa, tapi seekor beruang. Inti dari seorang penyendiri adalah mendapatkan kebutuhan rohani. Keheningan. Bukan sesuatu seperti kuburan atau hutan belantara—tapi sesuatu yang menyala tapi redup—atau mungkin terlalu redup. Itulah tipeku. Meski sama-sama penyendiri, tipe dan kelas terkadang berbeda juga, lho. Ini sama seperti mengklasifikasikan benda mati seperti gadget.

Banyak pertanyaan muncul di benak seseorang ketika memandang seorang penyendiri. Seperti.... apa yang biasa mereka makan? Bagaimana posisi tidurnya? Apa mereka tidak takut dengan kegelapan? Bagaimana cara mereka berkomunikasi dengan seseorang yang mereka sukai? Dan yang paling umum adalah.... Bagaimana mereka menghabiskan waktu?

Ini jawaban yang simpel. Seorang penyendiri tidak perlu melakukan banyak hal. Melakukan sedikit hal saja sudah mampu membuatku puas. Bahkan ketika aku menginginkan sesuatu—aku tidak memikirkannya terlalu jauh. Ini lebih mirip seperti aku tidak memiliki motivasi atau ada dinding yang tidak bisa ku lewati. Jadi lebih baik aku membuat mural di dinding tersebut. Ini tidak benar 100%. Aku sendiri mengerti kompensasi menjadi seorang penyendiri—jadi dari pada memikirkan banyak hal... aku akan menganggap ini adalah kehidupan emasku.

Dan yang ku maksud dengan sederhana adalah sesuatu yang tidak merepotkan. Hal kecil yang bernilai besar untuk kelangsungan hidup jiwaku. Dimana aku hanya perlu melakukan hal kecil yang membuatku bahagia. Kau pernah bahagia hanya karena chiki yang kau beli di warung berhadiah uang, bukan? Begitulah sensasinya kurang lebih. Misal lain ketika kau mendapat nilai di atas KKM meskipun kau tidak pernah belajar. Atau... bermain dengan telepon genggammu meskipun tidak ada yang menyapamu di sana. Seperti yang saat ini ku lakukan. Aku baru saja menaikan kemampuan pemainku di game offline yang sudah lama ku mainkan. Tapi aku mulai bosan dengan permainan ini. Ini seperti 'Deja vu'. Oh—bukankah hidup itu seperti permainan? Lalu kenapa aku tidak merasa bosan dengan kehidupanku?

Entahlah.

Telepon genggamku ku sudah kuberi makan baru-baru ini. Aku sudah bisa terhubung ke internet kembali. Karena bosan dengan Game tadi, telunjukku menyentuh layar Home dan menuju ikon bergambar sebuah peramban. Butuh pemuatan sesaat sebelum beranda awal muncul. Lalu telunjukku kembali menyentuh sebuah web. Aku masuk ke Facebook. Sudah cukup lama aku tidak mengunjungi akun ini. Terlihat sedikit berdebu dan bau.

Ada notifikasi di sana.

<----- LANJUT KE BAB 5 BAGIAN KE-2 ----->