"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.
["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.
[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.
'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.
Selama Membaca ^-^
@ @ @ @ @
SUDAH beberapa hari sejak kejadian itu terlewat—sejak ajakan kencan itu terucap. Dan hari ini adalah hari Sabtu. Harinya anak-anak muda—itu juga semestinya termasuk hari untukku—tapi aku tidak pernah peduli dan menganggapnya demikian.
Itu semacam idiom kebohongan bagiku.
Yang biasa ku lakukan pada hari yang ironi ini adalah berdiam diri di rumah sambil menghabiskan jatah sisa umurku untuk bermalas-malasan dengan rebahan—sembari membaca komik—nonton TV atau kegiatan multitasking lainnya. Aku memiliki banyak skill dalam bidang ini untuk melakukannya dalam waktu bersamaan.
Tentu hari ironi ini juga menjadi hari dimana aku menjadi manusia yang anti air—tidak untuk mendekati handuk dan membawanya ke kamar mandi. Sudah menjadi rahasia negara bahwa hari libur adalah hari yang tidak diperkenankan untuk mandi secara nasional—hari dimana perusahaan PDAM akan mengalami kerugian besar.
Tapi, hari ironi ini akan menjadi hari Sabtu normal biasa untukku minggu ini. Ada semacam sebuah pemaksaan yang menggiringku untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa ku lakukan.
Benakku terngiang sejenak mengenai hari itu,
["Aku ingin kau datang ke Blue City Walk dengan ku hari Sabtu nanti. Kau bersedia, 'kan?"]
["Hah? Untuk apa aku ke sana?"]
["Kalau kau bertanya… hari Sabtu nanti akan ada sebuah event di Mall itu. Aku hanya ingin mencari sebuah inspirasi untuk suasana Festival nanti. Aku juga ingin mendengar beberapa masukan saran dari orang lain mengenai festival, untuk membuat festival nanti lebih baik. Anggap saja aku mengajakmu untuk itu."]
["Hah?"]
["Mmm, tentu aku akan mentraktirmu di sana. Kau bersedia, 'kan?"]
["Kenapa aku harus menurutimu?"]
["Ah, ya~. Aku tidak akan memaksamu. Kalau kau tidak tidak mau datang pun, aku akan mencoba mengerti. Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk bisa mengajakmu ke sana. Jadi aku harap kau bersedia."]
[Hhhh. "Aku akan memikirkannya nanti. Dah!!!"]
Hari dimana ia mengajak ku tanpa alasan yang jelas.
Jika alasannya adalah hanya untuk menjadikan ku partisipan, bukankah bisa saja ia mengajak orang lain yang lebih meyakinkan daripada diriku? Dengan karakter yang lebih positif, aktif dan lebih kritis dalam menentukan hal yang krusial. Aku yakin ia pasti memiliki beberapa teman yang bagus dalam hal ini, mengingat dia pun orang yang juga demikian. Tapi ia malah mengajak orang yang tidak ia kenal sama sekali untuk itu—bahkan ia sampai rela menghabiskan beberapa rupiah uang jajannya untukku nanti? Aku masih ingat ketika dia mengajak ku dengan embel-embel traktiran sebagai sogokannya.
Lalu apa maksudnya dari 'berjanji pada dirinya sendiri' itu?
Entahlah.
Ia memberikan 2 pilihan padaku. Untuk datang atau tidak. Dan pada akhirnya, aku mengatakan, ya. Aku tidak tahu mengapa aku menyetujuinya. Mungkinkah aku sedang mencari 'sesuatu'?
Atau, mungkin saja aku ingin mencoba menyelesaikan 'sesuatu'?
Pada intinya aku sudah menyetujui ajakannya. Dan aku akan mempertanggung jawabkan keputusanku.
Dengan berpakain kaos dibalut sweater biru favoritku—itu hanya alasan—sebenarnya aku hanya malas menggantinya saja, serta celana ber-jeans hitam yang digulung di bagian ujung kaki karena agak kepanjangan, aku menjejali banyak motivasi kepada diriku sendiri untuk mau mendatangi sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota ini. Untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa ku lakukan di akhir pekan. Untuk melakukan sesuatu yang tidak lazim untuk ku lakukan. Yaitu,
Nongkrong bersama kawan sebaya.
Sesuatu yang sederhana bagi mereka yang memiliki kehidupan berwarna. Dan sesuatu yang terlihat mewah bagi seorang penyendiri sepertiku. Tapi ini tidak benar-benar membuatku sumringah atau semacamnya. Karena aku tahu pasti ada sebuah alasan atas ajakan dadakannya ini.
Tapi yang pasti, dia benar-benar menggiringku ke tempat ini secara sukarela.
Angka penunjuk jam di ponselku sudah menunjukan pukul 13.20—sudah lewat 20 menit dari jadwal resmi yang kami setujui sebelumnya. Dan total sudah hampir 30 menit-an aku sudah menunggunya di sini—berdiri bodoh sembari menyandarkan diri di ujung tembok toko roti seberang kolam ikan lobi Mall ini.
Dan dia benar-benar ngaret atas jadwal yang ia tentukan sendiri.
Aku belum melihat batang hidungnya sama sekali sejauh ini. Yang berlalu lalang hanyalah kumpulan orang-orang yang tidak ku kenal baik nama ataupun wajahnya. Aku seperti anak nyasar di sini. Aku juga tak menyangka bahwa laki-laki ideal bagi kebanyakan orang itu adalah tipe orang yang suka 'ngaret'—meski aku mencoba berpikir positif kalau-kalau saja ia mendapatkan suatu masalah di jalan sehingga membuatnya terlambat datang. Aku akan mencoba berpikir seperti itu—walau sebenarnya itu juga bukan pemikiran yang positif.
Tapi mengingat pesanku yang belum juga terjawab, jadi mau bagaimana lagi!
Ini terasa seperti aku sedang menilai orang lain rendah hanya dari bagaimana ia datang telat karena tidak bisa mengatur waktu, bukan? Tapi kenyataannya aku tidak sedang merendahkannya atau semacamnya—tapi karena aku hanya tidak terbiasa melakukan ini. Keterlambatannya menjadi suatu gangguan tersendiri bagiku yang sedikit membuat ku kesal dan memberi keluhan padanya. Ya, aku hanya tidak terbiasa menunggu seseorang di tempat keramaian yang seperti ini. Dan ini memang sedikit mengganggu.
Karena lelah berdiri menunggunya, aku bergeser beberapa meter dari toko roti itu ke tempat duduk di seberang depan kolam ikan. Pemandanganku saat ini secara otomatis langsung menghadap kolam ikan itu sendiri yang berarsitektur 3 lantai dan menyemburkan air mancur kecil di ujungnya. Sebenarnya spot ini—tempat duduk ini adalah yang sedari tadi ku incar. Tapi karena tidak ada yang beranjak dari sana, aku perlu menunggu seseorang pergi lalu menyisakan kursi kosong untukku. Dan akhirnya penantianku tidak sia-sia.
Sesaat setelah aku pindah posisi, aku langsung mengabari laki-laki itu posisi ku saat ini dan memasukan kembali ponselku ke saku sweter. Lalu bersandar ke belakang dan memperhatikan sekitar.
Tempat titik temu kami memang sudah diputuskan di sini, salah satu lobi yang mudah diakses dan ramai. Aku sudah beberapa kali datang ke sini walaupun cukup jarang—terakhir kali adalah saat aku ingin membeli komik waktu itu dan terganjal oleh si penyihir pedas manis kurang ajar—Mall ini sekarang jadi semacam tempat tragedi untukku karena dia—dan seharusnya aku membawa bunga untuk berbelasungkawa kepada uang 60 ribu ku yang raib.
Dan semoga saja arwah uang ku menghantui si penyihir kurang ajar itu selamanya.
Detik demi detik terus berjalan. Aku tidak tahu berapa menit persisnya waktu yang sudah berlalu, mungkin saja sudah sekitar 5 menit. Aku tetap dalam posisi menyandar ke belakang kursi besi panjang ini sambil memperhatikan sekitar. Bukannya aku melihat sosok laki-laki itu datang melewatiku, aku malah mendapati orang-orang di sekitarku pada menunduk ke bawah menatap layar ponsel mereka masing-masing—bahkan terlihat sangat jelas 3 orang perempuan tanggung di sekitaran kolam ikan itu sedang membuat sebuah video dan tertelan oleh keasyikan.
Di zaman yang super modern seperti sekarang, kelakuan orang-orang memang semakin membabi buta. Menghabiskan uang untuk membeli kuota internet super besar dan mengunduh aplikasi-aplikasi yang akan membuat mereka terlihat kekinian. Pada akhirnya tidak ada satupun notifikasi masuk yang mempedulikannya. Semuanya didasarkan pada kata popularitas. Tapi disaat bersamaan, mereka juga hidup di dalam kesendirian.
Tidak terlalu heran, apalagi bagi mereka yang menganggap dirinya adalah remaja.
Di saat keramaian, kebanyakan dari mereka selalu asyik sendiri dengan telepon genggamnya. Sedangkan aku hanya menatap sekitar dan tertelan akan kesendirian ditengah keramaian tersebut. Mungkin aku memang terlihat seperti penyihir jahat yang iri kepada mereka. Tapi nyatanya aku mendukung sistem yang seperti ini.
Terserah mereka memang benar-benar sedang beranda gurau dengan alat itu atau hanya ingin terlihat sibuk, sistem seperti ini tetaplah memiliki dampak. Sistem ini dapat memisahkan antara dunia nyata dengan dunia impian. Ketika mereka sudah asyik dan termakan dengan dunia impian mereka, mereka akan menjauhkan diri dari kenyataan. Singkatnya, secara tak langsung mereka telah menjadi penyendiri.
Setidaknya dalam waktu dekat, aku akan mendapatkan banyak pengikut.
"Maaf, aku terlambat." seorang laki-laki tanggung datang menghampiriku dan langsung memasang wajah kikuk. Orang ini adalah orang yang sedari tadi ku tunggu batang hidungnya. "Kau pasti sudah menunggu cukup lama, ya?" tanyanya basa-basi dengan nada yang sedikit tersengal—apa ia ke sini dengan cara berlari?
Tak bisa dipungkiri basa-basinya memang sudah kelas kakap. Jika saja dia sedang di tunggu oleh seorang gadis, pasti gadis itu akan melupakan keterlambatannya lalu memaafkannya dengan senang hati ketika melihat tampilannya yang kece sebagaimana yang ia perlihatkan sekarang—plus kemampuan kata-kata diplomasinya yang membahana yang tentu akan meluluhkan hati.
"Baiklah," aku berdiri dari posisi duduk ku. "Sekarang kita akan ke mana? Langsung ke acara Mall ini yang sedang berlangsung?" dan menanyakan pertanyaan utama itu tepat di hadapan wajahnya.
Ia membalas, "Aku ingin kita ke suatu tempat dahulu. Tidak masalah, 'kan?"
Aku pun ikut membalas, "Ya. Terserah kau saja." atau lebih tepat menyebutnya berseringai.
Kami pun mulai meninggalkan lobi ini dengan teratur. Dia yang berjalan paling depan sebagai pemanduku dan aku yang berjalan di belakangnya sebagai diriku sendiri.
Dan tentu, aku tidak tahu ke mana dia akan membawaku.
Kami sudah berjalan beberapa meter—melewati kerumunan orang yang sedang berada di lobi—dan melewati kolam ikan yang dipenuhi spesies ikan Koi itu, dan kami pun mulai memasuki pintu masuk Mall ini, seraya tanganku yang ikut berderap masuk ke dalam saku sweter. Merogoh ponselku di sana yang hening tanpa ada lampu notifikasi yang berkedip. Saat ku tekan tombol power, aku langsung memasukan pola ponsel ini sebagai akses masuk. Telunjuk ku langsung menekan ikon sebuah aplikasi chatting berkostum warna hijau itu.
Mikki : Kau sudah di mana? ??
Mikki : P ??
Mikki : P ??
Mikki : Aku sedang berada di lobi selatan di seberang kolam ikan dekat toko roti ??
Hmph. Ternyata laki-laki di depanku ini hanya membaca pesan ku saja. Warna 2 centang biru itu sudah menjelaskan semuanya.
Setali dua uang, aku juga mengambil kesempatan melihat jam di ponselku.
13.33.
Tidak ada yang ku keluhkan setelah melihat menit itu. Kedatangan laki-laki ini setidaknya dapat meredam kata-kata yang ingin ku keluhkan sebelumnya. Sebut saja ini semacam kompensasi dari kepribadian ku, yang akan mengeluh kesal saat menunggu seseorang yang tidak kunjung tiba, tapi jika orang yang ku tunggu sudah tiba, maka emosi kekesalan ku akan langsung surut—tanpa perlu mengeluarkan umpatan ataupun keluhan kepada orang itu. Semacam : Untuk apa lagi aku kesal jika orangnya sudah datang!?
Dan hal yang sama juga berlaku dariku untuk laki-laki di depanku ini.
Kami berdua terus berjalan masing-masing—tanpa ada satupun dari kami yang bergeming. "Kau sudah pernah ke sini sebelumnya?" hingga pertanyaannya barusan memecah keheningan di antara kami berdua.
[Apa-apaan dia!!?] Apa dia meremehkanku? Aku tahu ia hanya mencoba mencarikan suasana saja.
"Sudah." tentu, malahan Mall ini sekarang sudah menjadi tempat tragedi untukku.
"Kalau aku sendiri cukup sering main ke sini dengan yang lain. Banyak tempat yang menyediakan makanan enak juga di sekitaran sini, bukan? Aku pernah mencoba steak di sini, rasanya cukup enak, tapi—" aku akan memaklumi kelakuannya ini. Malah akan terasa aneh jika laki-laki keren sepertinya justru tidak pernah hang out berkeliaran ke sana ke mari untuk menghabiskan masa remajanya yang penuh ke istimewaan.
Ya, mau bagaimanapun, ke kece-an dan popularitasnya sudah menjadi indikator kejujuran bagiku.
Aku tak menjawab apapun atas pengetahuannya barusan. Saat ia menunjuk beberapa kedai makanan atau minuman yang mungkin ia pernah sambangi sebelumnya untuk membuatku mengerti. Tapi saat aku melihat kedai yang ia tunjuk, aku hanya berpikir: Itu memang tempat yang bagus, sudah sepatutnya pelanggan merasa puas—walau nyatanya itu tempat yang sangat ramai.
"Aku punya satu tempat favorit," kepalanya menoleh ke arahku yang sedang di belakangnya. "Nanti aku akan mengajakmu ke sana." tentu untuk melanjutkan basa-basinya.
Dia benar-benar seperti seorang penjelajah.
Aku tak habis pikir. Pasti sudah banyak waktu dan uang yang ia habiskan hingga memiliki satu tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu serta uangnya itu di sana—sebenarnya tak perlu melebih-lebihkan. Ini sebenarnya sama saja dengan ku yang sudah menghabiskan banyak waktu dan uang untuk membaca komik atau novel, sampai aku benar-benar menemukan karya favoritku. Itu saja. Meski konteksnya berbeda, tapi sejatinya aku dengannya memiliki esensi yang sama.
Jadi, apakah waktunya aku terharu karna sebanding dengannya? Omong kosong.
Setelah berjalan cukup jauh dan tak ada juntrungan sama sekali, "Hei, ketua," aku menanyakan sesuatu padanya. "Sebenarnya kita mau kemana?"
Puluhan—atau bahkan ratusan. Setidaknya kami sudah berjalan melangkah sejauh itu meninggalkan lobi tadi sebagai garis start dan terus berjalan tanpa aku tahu di mana garis finish-nya berada. Jadi, anggap saja pertanyaan barusan sebagai keluhanku padanya.
Menanggapi apa yang ku tanyakan barusan, "Panggil saja aku, Diar." ia kembali menoleh ke arahku dengan senyuman tipis. "Aku ingin menemui seseorang dulu." lalu menjelaskan tujuan sebenarnya.
[Seseorang?]
"Itu mereka." langkah kami sedikit bergeming. Dia yang sedikit terkesiap melihat 4 orang yang berdiri di depan sana dan aku yang sedikit mengerjap atas acungan telunjuknya terhadap 4 orang itu.
Dan entah bagaimana, aku langsung mengerti yang dia maksud adalah 4 orang yang sedang berdiri di ujung sana.
Mungkin karena dua dari empat orang itu juga memandangi kami sembari melambaikan tangan.
Apa yang sebenarnya orang ini rencanakan?
Dia mengajukan ajakan padaku waktu lalu, di mana aku mengatakan jawaban yang tanggung sebagai balasannya. Namun entah bagaimana caranya, ketika mendekati hari H, ada notifikasi pesan masuk di ponselku atas nomor yang tidak ku kenali. Orang itu memperkenalkan dirinya atas nama Diar, Si Ketua OSIS—dan tentu dia jugalah orang yang mengajaku ke sini. Aku tidak tahu bagaimana caranya ia mengirim pesan ke nomorku, mengingat kami tidak pernah saling bertukar nomor sekalipun—walau mudah saja menyimpulkan kalau ia mendapatkan nomorku dari seorang guru yang bernama Echa—aku tidak bisa memikirkan selain dari cara itu. Lalu skenario selanjutnya pun dengan mudahnya terbaca.
Pesannya tidak cukup untuk membuatku menggubris—setidaknya sebelum ia melakukan teror. Apa-apaan dia? Tapi pada akhirnya aku setuju. Dia mengatakan jadwal untuk ku tepati. Jam 1 siang di Mall ini. Berlandaskan apa-apa saja yang ia katakan pada pesan itu, ku kira kami hanya akan datang ke sini berdua saja. Namun aku menjadi heran ketika melihat kehadiran 4 orang di sana. Kehadiran mereka berempat membuat ku cukup yakin kalau mereka semua juga di janjikan hal yang sama sepertiku. Dasar laki-laki populer,
Dia tak pernah mengatakan ini sebelumnya padaku.
Aku tidak ingat ia mengajak orang lain saat kami janjian.
Kehadiran 4 orang di sana bukan menjadi masalah—bahkan jika ia mengajak 100 orang sekalipun aku tetap tidak peduli. Hanya saja akan menjadi suasana yang dingin bagiku ketika aku ikut berkumpul dengan mereka berlima yang sudah berteman akrab—walau yang perlu ku lakukan nantinya hanyalah mencari pojokan untuk memperhatikan sekitar—meratapi keberadaanku.
Tapi aku mengerti apa yang ia khawatirkan. Aku akan memakluminya. Akan menjadi sesuatu yang aneh, jika hanya ada dia dan aku yang tidak saling mengenal saja nanti—walau aku sendiri lebih nyaman begitu. Karena aku akan bersikap tidak peduli pada situasi apapun nantinya, ketimbang banyak orang yang akan membuatku tertelan dengan obrolan akrab mereka yang akan membuatku mati kutu dan kikuk—dan sangat bodohnya diriku yang berpikir kalau skenario ini tidak akan pernah terjadi.
Langkah kami semakin mendekati mereka. Semakin mendekat. Semakin mendekat.
Semakin mendekat.
"Ngaretnya kurang lama, bos."
Kami pun sampai.
"Terlambat mulu, ih. Kebiasaan!"
"Harusnya pas dia bilang jam 1, mendingan kita datang jam 2."
Kemudian semua kekesalan orang-orang ini menghujani kedatangan kami—kedatangannya. Kecuali 1 orang berkaca mata itu yang tak mengatakan sepatah kata pun. Aku tahu dia adalah wakil ketua OSIS.
"Maafkan aku. Maaf kalau sudah membuat kalian menunggu lama." pinta maaf orang di samping ku ini. Aku sendiri tidak ingin mengatakan apa-apa.
"Pokoknya aku minta ganti rugi. Traktir aku Es Kacang Merah, oke?" warna bajunya yang merah menyala membuat dia sebagai satu-satunya perempuan di sini terlihat yang paling mencolok.
"Baiklah. Akan ku terima hukuman dari kalian." baru datang saja,
Obrolan kecil mereka sudah membuatku terdiam mematung.
Meski mereka mengatakan keluhan secara membabi buta, tak ada raut raut wajah kecewa atau kesal yang di peruntukan kepadanya. Mereka berkeluh dengan raut dan nada yang santai tanpa ada intimidasi berarti. Sosoknya seakan-akan sudah menjadi sesuatu yang mudah untuk diapresiasi atau dimaafkan.
Sebuah diskriminasi.
Orang di sebelah ku sedikit mengusik, "Perkenalkan, namanya Haika." gestur tangannya yang sedang menyambutku membuat mata ke-4 orang ini menyorotiku dari atas kepala sampai ujung kaki. Kemudian kami melakukan ritual yang biasa dilakukan kebanyakan masyarakat umum. Bersalaman dan menyebutkan nama masing-masing.
Dari titik ini, akhirnya aku tahu nama mereka berempat.
Irgo, laki-laki berkaca mata—dia menjabat sebagai Wakil Ketua OSIS.
Bisma, laki-laki yang memakai bandana sport di kepalanya.
Erdan, laki-laki yang memakai sweter hoodie Barcelona.
Cytharia, perempuan Si Penagih Es Kacang Merah.
Jujur saja, aku hanya mengenal yang bernama Irgo—karena memang dia adalah siswa penting. Aku tidak tahu siapa 3 orang sisanya—jadi asumsikan saja bahwa mereka adalah teman dekat si ketua selama ini.
Sesi perkenalan di antara kami pun selesai. Aku tidak akan menjamin akan mengingat nama mereka nantinya. Juga mereka yang mungkin saja langsung lupa siapa namaku. Ini hal lumrah yang biasa terjadi.
Setidaknya lumrah bagi ku untuk melupakan nama seseorang yang baru saja ku temui.
"Sekarang kita mau kemana?" si bandana ini mengajukan pertanyaan—lihat, baru sebentar saja aku sudah lupa siapa namanya.
Dengan sigapnya, "Bagaimana kalau langsung ke acaranya saja?" sang ketua langsung menyodorkan ide brilian. Tak ada yang menyanggah akan opsinya. Semua menyahuti dengan kata setuju. Ya, mau bagaimana pun dia adalah sosok yang paling berpengaruh di sini.
Sudah jelas kemauannya akan dituruti oleh kami semua.
Kami pun mulai melangkah pergi. Dan seperti biasa,
Aku mengikuti mereka di barisan paling belakang.
@ @ @ @ @
LANJUT KE BAB 7-B.