Chapter 6 : Mencoba Kembali
**
Meninggalkan kota yang sudah ia tinggali selama 6 tahun bukanlah hal yang mudah. Banyak kenangan dan cerita yang diukir bersama teman-temannya. Meskipun ia sudah pernah tinggal di Ibukota hampir empat tahun lamanya, tetap saja masa SMP dan SMA nya ia habiskan di Kalimantan.
Arisha menghembuskan nafas pelan. Matanya menatap tangannya yang terpaut erat di atas pangkuannya. Air matanya sedari tadi hendak jatuh namun sebisa mungkin ia tahan. Sebentar lagi, harusnya ia hanya perlu menyusun skripsi, diwisuda lalu kembali ke tempat orang tuanya berada. Namun, semua itu hanya rencana semata. Apalagi mengingat papanya--yang mungkin sudah tidak mau lagi disebut orang tuanya--karena tak sudi memiliki anak yang membawa aib keluarga. Arisha seakan tidak memiliki harapan hidup lagi. Orang tuanya sudah terlanjur kecewa dengannya.
Di balik itu semua, Arisha bersyukur karena Mama Irsan begitu welcome dengannya. Setelah mereka kembali ke Ibukota, Weni mengajak Arisha tinggal di rumahnya. Dengan kehamilan Arisha, ia takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan ketika menantunya itu masih terguncang jiwanya mengenai masalah yang baru saja terjadi. Weni tidak ingin berlama-lama di kota orang karena ia juga tak memiliki urusan apa-apa lagi disana dan mengingat kondisi Arisha, Weni ingin membawa wanita itu segera pulang.
Hanya perlu waktu kurang lebih 12 hari status Arisha pun sudah berubah. Menjadi istri Irsan Prasetya dan menantu di keluarga Prasetya. Weni menyiapkan semuanya dengan cepat. Apalagi dengan uang yang ada, ia bisa meminta jasa WO untuk menyulap taman belakang rumahnya yang luas dan hijau menjadi tempat acara. Masalah undangan pun tidak banyak. Hanya keluarga, sahabat ia dan suaminya serta teman-teman Irsan dan Arisha. Lagipula mereka juga satu kampus, satu jurusan dan satu angkatan otomatis teman mereka kurang lebih sama.
"Dimana Arisha, San?" Tanya Weni yang bingung melihat anaknya turun sendiri dari lantai atas, dimana kamar Irsan berada.
"Masih tidur, Ma." Irsan duduk di dekat papanya yang membaca koran ditemani segelas teh dan biskuit di depannya. Ia menyesap teh yang diolah mamanya. Akhirnya ia bisa menikmati pagi seperti biasanya tanpa dihantui rasa bersalah dan amarah, meskipun rasa itu masih ada.
"Kamu kapan masuk?" Weni menaruh beberapa lauk yang sudah jadi di atas meja, lalu menatanya rapi.
Irsan meletakkan cangkir tehnya sebelum menjawab pertanyaan Weni. "Besok. Ma, Irsan mau keluar dulu, jagain Arisha ya," pesan Irsan sebelum pamit keluar. Weni mengangguk. Ia tidak keberatan menjaga menantunya itu. Arisha saat ini memang memerlukan limpahan kasih sayang, meyakinkan bahwa hidupnya masih berharga dan masih banyak yang ingin melihatnya seperti biasa. Mengatakan kalau menantunya tidak sendiri disini.
"Jangan lama-lama." Weni mengingatkan. Ia terkejut ketika matanya tak sengaja melihat menantunya yang baru saja turun. Terlebih lagi wanita itu memakai terusan putih dengan rambut tergerai khas orang baru selesai mandi.
"Arisha!" Irsan menoleh melihat wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya. Bagi Irsan semuanya masih terasa seperti mimpi. Ia dan Arisha memang mengenal karena satu jurusan, tapi tidak pernah berbicara langsung. Jelas saja, satu angkatan berisi 400 orang. Apalagi Arisha adalah wanita yang banyak disukai oleh laki-laki di kampusnya. Tidak hanya satu fakultas, tapi fakultas lainnya juga. Arisha Shasmira, ketika bertanya siapa itu Arisha mereka akan dengan mudah menjawabnya. Wanita itu memang dianugerahi wajah yang cantik. Kulitnya putih bersih, pipi chubby, badan dan tinggi yang pas untuk ukuran normal seorang wanita. Ditambah dengan kacamata yang sering dikenakannya membuat wanita itu semakin manis dan cantik.
Arisha tersenyum kecil pada keluarga barunya. Ya, ia mau tak mu mengakui hal itu. Selain ia sudah menikah dengan anak dari keluarga Prasetya ditambah dengan tidak adanya keluarga, hanya keluarga Prasetyalah yang ia miliki sekarang. Arisha bisa bernafas lega ketika mertuanya mau menerima dirinya.
Weni beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati menantunya. Ia memegang lengan Arisha dan menuntunnya ke meja makan di samping anaknya. "Kamu kalau turun hati-hati ya, Sha. Apa kamu mau pindah kamar saja? Kamar di bawah masih bagus. Nanti Mama minta Bibi yang bersihin. Mau?" Tanya Weni dengan nada kekhawatiran yang kentara.
Arisha menggeleng kecil. Mendengar nada perhatian dan khawatir yang ditunjukkan mertuanya membuat hatinya menghangat. Andai saja mamanya mau menerima dirinya. Tapi Arisha tidak mau egois, ia berhak mendapatkannya. Ia sudah membuat mamanya kecewa. "Gak usah Ma, nanti Irsan mau pindah ke apartemen," Irsan angkat bicara. Mendengar itu, Weni pun segera protes.
"Gak! Kalian tetap tinggal disini sampai Arisha melahirkan. Gak mau tahu! Titik gak pake koma!" Ujar Weni yang tidak mau menerima bantahan.
Fendy yang mengerti maksud anaknya pun segera melipat koran dan menatap istrinya yang tak setuju dengan keputusan anaknya. "Kita makan dulu, itu bisa kita bicarakan nanti."
Mereka makan dalam diam. Arisha pun memang masih sedikit canggung disini. Keluarga Prasetya seperti memiliki aturan sendiri dan Arisha harus segera beradaptasi. Berbeda jika ia dulu kalau makan terserah dimana. Mau di depan TV, dalam kamar sambil nonton drama dan film dan makan di dapur dengan tangan sebelahnya yang memegang handphone.
Ah, Arisha rindu dengan keadaan itu.
"Aku pergi dulu," pamit Irsan. Ia menatap istrinya yang menunduk menatap piring. Tanpa berkata lagi, ia segera pergi untuk mengurusi keperluannya.
Fendy pergi bekerja dan Weni yang berada di kamar membereskan pakaian. Arisha pun memilih kembali ke kamar alias kamar Irsan yang sekarang juga kamarnya. Ia mengambil tas yang jarang ia buka. Mengambil handphone dan segera menghidupkannya.
Ribuan pesan masuk.
Puluhan panggilan tak terjawab.
Sepuluh panggilan video.
Ratusan notif dari akun media sosialnya.
Arisha menghela nafas. Selama itukah dirinya tak membuka hp? Bahkan ia tidak tahu apa yang terjadi setelah beberapa minggu ini ia menghilang begitu saja. Arisha memilih mengabaikan semuanya lalu pergi diam-diam. Meski sedikit kesulitan dengan satpam yang berjaga di depan, tapi Arisha bisa mengelabuinya denga menyuruh satpam membeli durian di ujung gang. Beruntung sekali satpam itu langsung segera pergi tanpa berniat bertanya lagi.
Arisha memilih pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Sebelum itu ia pergi ke ATM mengecek uangnya. Arisha menghembuskan nafas lega melihat saldo ATM nya. Papanya memang baru saja mengirim uang tiga bulan yang lalu untuk keperluan skripsi dan wisudanya ditambah dengan uang jajan yang selama ini Arisha jarang gunakan. Sewaktu kuliah, Arisha seringkali memasak makanan di rumah Naila--orang asli ibukota-- dan yang masih tinggal dengan orang tuanya sehingga Arisha ikut makan disana. Apalagi ibu Naila juga tidak keberatan dan malah menganggapnya anak. Alhasil uang itu ia gunakan untuk ia menghibur diri. Masalah tempat tinggal tak perlu khawatir karena papanya sudah membayar lunas apartemen untuk 4 tahun ke depan.
Arisha melangkahkan kakinya masuk ke sebuah salon langganannya. Seorang pria kemayu berambut bewarna hijau segera menyambutnya. Memeluk dirinya erat. "Yaampun sis lama gak ketemu kangen deh. Kemana aja?" Ucap pria kemayu itu.
Arisha terkekeh. "Ada urusan penting."
"Mau apa, sis? Facial? Totok? Lulur? Crembath? Smoothing?"
Arisha menggangguk. "Aku mau facial, Ayu. Terus ubah warna rambut." Pria yang dipanggil Ayu mengangguk mengerti. Ia menggandeng tangan Arisha mesra dan mendudukannya pelan bagaikan seorang putri. "Kamu mau warna apa?"
"Golden Brown?"
Arisha menggeleng. "Black, ash brown and silver ombre."

"Gak bagus, sis."
"Terserah kamu aja deh," kata Arisha yang mempercayakan warna rambutnya kepada Ayu. Ia yakin Ayu tidak akan membuatnya menyesal memilih salon ini untuk urusan rambutnya.
Ayu pun memulai pekerjaannya dengan tangannya yang lincah dan gemulai. Kurang lebih dua jam semuanya selesai.

"Gimana?"
Arisha tersenyum menatap dirinya di cermin. "Not bad."
"Lo sama Cici ya facialnya." Arisha mengangguk. Ia pun mendekati Cici yang tak jauh dari tempatnya.
Arisha memanjakan dirinya. Ia sudah bertekad untuk memulai hidup baru. Menjadi Arisha yang selalu didambakan kaum lelaki. Maju perlahan tanpa melihat kebelakang. Mau bagaimana pun masa lalu tidak bisa diubah dan semuanya sudah kejadian.
Hari sudah sore. Arisha masuk dengan santai menuju rumah mertuanya yang selama ini ia tinggali.
Matanya tak sengaja bertatap dengan manik mata Irsan, suaminya yang menatapnya lekat. Apa laki-laki itu marah?
Tbc