Chapter 9 : Keinginan
**
Irsan menatap pintu ruang musik berulang kali berharap sosok Arisha keluar disana. Tadi ia memang tidak sengaja bertemu dengan Danifa dan Naila. Ketika melihat keduanya yang sudah pulang dan tidak menemukan Arisha diantara mereka, ia pun bertanya meski masih ditatap sinis oleh keduanya. Matanya sesekali melirik ke arah jam tangan yang melingkar di sebelah kiri pergelangan tangannya. Sudah hampir siang dan masih belum ada tanda-tanda Arisha selesai.
Irsan tak bisa memaksakan Arisha untuk berhenti menyanyi. Tidak, ia tidak akan membatasi Arisha dengan alasan bahwa wanita itu sudah menikah dan harusnya diam di rumah saja. Terserah Arisha ingin melakukan apapun asalkan Arisha bisa menjaga dirinya dan bayi yang berada di rahimnya. Meski bayi itu ada bukan karena keinginan keduanya, ia tak sepicik itu membenci anaknya sendiri. Hanya saja ia sungguh menyayangkan mengapa bayi itu harus hadir di waktu dan caranya yang salah.
Kalau di waktu yang tepat dan cewek itu Arisha lo mau juga?
Irsan tidak tahu jawabannya. Ia tak menampik jika Arisha wanita yang menarik. Arisha memiliki 'nama' baik di kampus dan sosial media. Semua lelaki berlomba mendapatkannya. Tapi hanya dengan satu kesalahan, Arisha malah berakhir pada sebuah pernikahan dengannya. Menjadi suami-istri tentu saja tidak mudah. Tidak saling mengenal dan kurang berkomunikasi menjadi kendala utama.
"Irsan!" Panggil seseorang yang sangat Irsan kenal. Teman dari satu sekolah menengah hingga mereka berada di jurusan dan kampus yang sama. Fadhil. Lelaki itu sehat secara fisik namun Irsan yakin bahwa Fadhil tidak baik secara mental . Efek yang ditimbulkan oleh kejadian yang dibuat oleh Daris sungguh luar biasa. Fadhil yang selalu memperhatikan penampilannya, pria yang dikatakan 'cantik' itu sekarang berbeda. Sangat berbeda. Wajahnya juga terlihat kusam. Lingkaran hitam besar tampak mengerikan. Matanya memerah dan sayu, seperti orang yang mengantuk dan membawa beban hidup yang sangat berat. Rambutnya yang biasanya diolesi oleh Gatsby kini tak ada lagi. Dibiarkan memanjang tak beraturan. Fadhil terlihat seperti orang tidak waras. Layaknya orang gila yang lepas dan mengamuk karena kelaparan.
"Belum pulang juga?"
Irsan menggeleng. "Lagi nunggu."
Fadhil menyipitkan matanya penasaran. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar namun tidak melihat apa-apa. "Istri lo?"
"Iya," jawab Irsan singkat. Fadhil mengangguk sebelum teringat sosok Arisha yang berada di parkiran. "Loh gue tadi liat dia sama Mike di parkiran, San." Fadhil memberitahu dengan nada ragu. Takut jika saja informasi yang ia berikan salah. Belum tentu juga apa yang ia lihat tadi itu memang Arisha.
"Maksud lo?" Irsan bingung. Setahunya Arisha masih berada di dalam. Ia pun menuju ke arah ruang musik untuk memastikan. Suara alat musik dimainkan masih terdengar. Tanpa permisi, ia langsung membuka pintu ruang musik membuat mereka yang ada di dalamnya terlonjak kaget sekaligus bingung. Untuk apa Irsan datang kesini?
Benar saja, disana tidak ada istrinya. Mengapa bisa ia tidak tahu? Tanpa memperdulikan mereka, Irsan segera pergi ke tempat dimana Fadhil bertemu Arisha tadi. Memang benar di gerbang itu ada Mike dan Arisha yang sedang menunggu. Entah menunggu apa dan siapa. Irsan memasuki mobilnya dan berhenti tepat di depan Arisha.
Arisha tentu saja tahu mobil siapa yang berhenti di depannya saat ini karena ia juga sering melihat dan ikut. Namun yang membuatnya bingung kenapa Irsan berhenti di depannya tanpa membuka kaca sedikitpun. Yang ada lelaki itu malah membunyikan klakson yang memekakkan telinga.
"Mike, gue pulang dulu." Mike mengangguk meski ia juga penasaran dengan mobil yang berhenti di depannya. Arisha masuk dan menutup pintu mobil. Tanpa menunggu Arisha memakai sabuk pengaman, Irsan segera menjalankan mobilnya.
"Kenapa?" Tanya Arisha penasaran.
"Lo gak pulang? Harusnya lo udah ada di rumah kan?" Arisha kembali bertanya meski pertanyaannya tak ditanggapi. Irsan melirik ke arah spion memastikan tidak ada kendaraan lain yang menghalangi jalan. Ia memberhentikan mobil di pinggir jalan. Menatap Arisha lekat. "Ada urusan tadi jadi sekalian nunggu lo," kata Irsan sambil memasangkan sabuk pengaman yang tidak sempat dipasang Arisha.
Arisha mengangguk. Ia membiarkan Irsan memakaikannya sabuk. Jarak mereka dekat. Ini pertama kalinya mereka lebih 'dekat' semenjak kejadian itu. Entahlah, Arisha masih ketakutan jika berada di dekat Irsan. Kejadian itu seperti kaset rusak yang mengulas kembali semua kejadian demi kejadian saat itu. Dimana seorang pria berotot dan jelek memaksanya untuk melakukan hal paling 'menjijikan' baginya. Terlebih dengan Laila dan Maira. Tidakkah wanita itu kasihan? Apa mereka tidak memiliki perasaan? Padahal mereka sama-sama wanita tetapi mereka tetap melakukan hal keji kepada sesama kaumnya. Arisha bertanya-tanya dimana hati nurani mereka?
"Kalau mau pulang bilang dulu." Irsan kembali pada duduknya dan mulai menjalankan mobil. Ia melirik sekilas pada Arisha yang terdiam.
***
"Kamu mau kemana?"
Arisha melihat Irsan yang tampak rapi. Pukul tujuh malam dan laki-laki bersiap hendak pergi. Membiarkan Arisha seorang diri di rumah. Papa dan mama mertuanya pergi karena ada urusan mendadak di luar kota. Pembantu pun tidak ada karena setiap sore beliau akan pulang setelah memasak makan malam. Namun, khusus hari ini asisten rumah tangga yang membantu mertuanya libur karena sakit. Rumah sepi dan hanya ada satpam yang berjaga. Lagipula Arisha tidak mungkin kan meminta satpam menemani dirinya? Arisha takut tentu saja.
"Aku ada urusan." Irsan menjawab dengan singkat tanpa menoleh pada Arisha. Ia memasang jam tangannya. Sesuatu yang tidak pernah ketinggalan dipakai.
"Ikut." Jawaban Arisha membuat Irsan menoleh. Menatap Arisha sepenuhnya. Belum sempat Irsan menjawab, Arisha lebih dulu melanjutkan omongannya.
"Rumah sepi. Aku ikut ya." Arisha berkata seolah-olah 'ajak gue ikut kalau gak gue bacok lu' meski nadanya juga sedikit memelas. Melihat Arisha seperti itu, Irsan tidak tega. Ia pun mengambil jaket Arisha yang berada di lemarinya. Semenjak Arisha pindah ke rumah, kamar Irsan yang dulunya maskulin dan laki berubah drastis. Isi lemarinya yang tidak banyak sekarang penuh. Untungnya asisten rumah tangga di rumahnya ikut membantu menyusun sehingga semuanya tampak rapi. Sebelah kiri pakaian Irsan sedang sebelah kanan milik Arisha.
Irsan memasangkan jaket yang ia ambil. Mengancingkan resletingnya, memastikan jaket itu membuat Arisha tidak kedinginan. "Ayo."
Tanpa berganti pakaian, Arisha langsung ditarik Irsan keluar. Hari ini laki-laki itu tidak memakai mobilnya. Arisha bersyukur karena motor laki-laki itu tidak membuatnya kesulitan naik.
Arisha mengikuti Irsan dari belakang, ternyata Irsan membawanya ke sebuah cafe yang biasa dijadikan tempat nongkrong anak muda. Arisha melihat kembali pakaiannya. Sebuah piyama panjang yang ditutupi oleh jaket bomber bermotif bunga. Wajahnya saja tidak dipoles oleh make up. Untuk memoles lipstick saja tidak sempat. Astaga, penampilannya benar-benar seperti gembel. Irsan tidak memberinya kesempatan untuk ganti baju dan dandan. Huh!
"Bro!"
"San!"
Fauzan dan Fauzi memanggilnya bersamaan. Malam ini, mereka memang ada janji berkumpul. Lagipula setiap malam minggu--saat masih lajang--mereka menghabiskan waktunya disini untuk sekedar mengobrol dan bermain. Disana juga ada Fadhil dan Emyr.
Tunggu!
Arisha memperhatikan sekeliling cafe. Semoga saja ada Danifa dan Naila. Benar saja. Mereka berada di meja yang agak jauh dari para lelaki. Sepi. Arisha tidak melihat mereka berbicara. Saling terdiam.
"Aku kesana." Tanpa menunggu jawaban Irsan, Arisha langsung pergi menuju meja Danifa dan Naila.
Irsan tidak melarang. Membiarkan Arisha bergabung bersama sahabatnya. "Beda kalo udah punya pacar ya!" Sambar Fauzan setelah Irsan duduk. Memang, Irsan mengatakan pada temannya kalau ia berpacaran dengan Arisha dan meminta mereka tidak menyebarkannya dengan alasan tidak suka saja mengoarkannya ke depan publik.
"Diliatin orang pacar lo, San." Tawa Fauzi menular. Benar, Arisha memang sedari tadi menjadi pusat perhatian. Malam ini malam minggu, malam yang ramai dimana banyak manusia yang keluar dari sarang untuk menikmati waktu mereka dan Irsan membawa Arisha pergi tanpa sempat wanita itu mengganti pakaiannya. Lagipula menurut Irsan, piyama yang dipakai Arisha yang terbaik. Tidak sempit, tidak bikin sakit dan tidak menyusahkan. Enak dipakai. Nyaman. Apalagi Arisha sedang mengandung. Irsan sebenarnya ingin mengatakan agar Arisha meminimalisir memakai celana jeans namun apa daya ia juga tak seberani itu. Irsan hanya mengatakan kepada mamanya agar membelikan Arisha yang aman untuk dipakai ibu hamil.
"Danifa! Naila!" Panggil Arisha sedikit heboh dan sukses mengagetkan kedua wanita yang sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Ngagetin aja sih lo!" Kesal Danifa. Ia melempar tisu ke muka Arisha.
"Dan, Nai.." Arisha menatap keduanya memelas.
"Apa?" Tanya Naila bingung. Ia meneliti penampilan Arisha dari atas ke bawah kembali lagi ke atas. "Gak salah kostum lo?" Tanyanya mengejek. Arisha tidak mengindahkan. Sorot matanya menatap Naila berbeda. Tak seperti biasanya.
"Lo liat gak story instagramnya Sisi?"
Naila mengangguk. "Kenapa emangnya?"
"Gue juga mau." Arisha menunduk dan mengelus perutnya sayang. Danifa mengerutkan keningnya bingung.
"Apa sih Sha? Ngomong tuh yang jelas!"
"Gue tadi liat di sekitar jalan menuju sini ada orang jualan es krim yang dimakan Sisi," jelas Arisha.
Apa hubungannya?
"Terus?"
"Gue mau, Nai. Gue malu aja kalau minta turunin sama Irsan." Arisha membayangkan es krim yang dimakan Sisi dan keponakannya. Ah enaknya.
"Bentar.." Danifa masih mencerna perkataan Arisha.
"Lo ngidam?!" Tanya Danifa dan Naila bersamaan. Hampir membuat pengunjung menoleh ke arah mereka. Bertanya-tanya siapa gerangan orang utan yang nyasar ke sebuah cafe ini?
"Ayo kita cari." Arisha menatap sahabatnya berbinar. Ia langsung menarik keduanya keluar cafe. Tak sabar membeli es krim.
Mereka pun mencari es krim yang diinginkan Arisha. Setelah es kepal milo, adalagi es krim yang lagi viral saat ini. Aice adalah salah satu produk es krim yang memiliki banyak keunikan dan ragam rasa yang sangat lezat. Perpaduan antara buah dan susunya sangat menggoyang lidah.
Arisha menginginkannya! Ingin mencoba yang mochi, semangka, melon, nanas, sweetcorn, chocolate. Intinya semua varian rasanya! Arisha mau!