Chereads / Best Wedding Games / Chapter 7 - 7- Kembali menyakiti

Chapter 7 - 7- Kembali menyakiti

Chapter 7 : Kembali menyakiti

**

Irsan menatap istrinya dengan pandangan lurus. Penampilan wanita itu berubah. Terlihat lebih hidup dari sebelumnya. Belum lagi dengan warna rambutnya yang berbeda. Irsan ingin berkomentar namun sebisa mungkin ia tahan.

Arisha Shasmira. Di kampusnya, Arisha memang terkenal berbeda dari yang lainnya. Mulai dari penampilan hingga cara pandangnya melihat suatu hal. Wanita itu tidak peduli dengan cemoohan orang mengenai gaya berpakaian, gaya berjalan, gaya bicara bahkan hingga gaya hidupnya pun ia memilih tidak mendengar. Toh, buat apa? You only live once, so use that the opportunity! Arisha pun juga terkenal pemberani. Wanita itu juga tak kenal takut mendebat kakak tingkat di Musyawarah Besar BEM tahun lalu. Disanalah, untuk pertama kalinya Irsan melihat seorang Arisha.

Tidak ada yang tidak terpana melihat keberaniannya. Sama halnya dengan Irsan. Tak munafik, ia memang kagum. Wanita cantik dan cerdas tentu saja membawa daya tarik sendiri. Keadilan sosial buat rakyat good looking memang benar adanya. Untuk kenal dengan Arisha pun rasanya mustahil, namun ternyata takdir malah membawanya pada wanita itu meskipun dengan cara yang salah.

Irsan meneliti lagi penampilan Arisha dari atas ke bawah lalu kembali menatap wanita itu lekat. Arisha begitu berbeda dengan rambut warna abu-abunya tapi entah mengapa warna itu membuat Arisha semakin cantik. Sama seperti rambutnya, sikap Arisha masih abu-abu baginya.

"Kemana? Kenapa telponku gak diangkat?" Irsan tersadar dari kekagumannya dan bertanya. Harusnya wanita itu mengabarinya terlebih dahulu. Bukannya posesif, hanya saja ia takut. Takut jika Daris masih berada di sekitar mereka dan mencelakainya.

"Ke salon tadi," jawab Arisha seadanya lalu melewati Irsan begitu saja dan memilih untuk segera naik ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat.

"Arisha?!" Weni melotot. Setahunya menantunya itu berada di kamar seharian dan kalau dilihat dari penampilannya yang berbeda, pasti Arisha baru saja pulang. Mengapa Weni tidak sadar sama sekali? Ia kira menantunya itu sedang tidur dan menyenangkan dirinya di kamar ternyata tidak.

"Kamu Arisha Shasmira kan? Menantu saya? Istri Irsan Prasetya?" Tanya Weni tanpa henti memastikan penglihatannya. Ia mendekat ke arah wanita berambut abu-abu itu. Mengamati wajahnya sedangkan Arisha terkekeh geli melihat reaksi mertuanya yang terkesan berlebihan.

"Iya kamu Arisha. Arisha?!" Pekik Weni tak percaya.

Arisha mengangguk membenarkan. "Kapan kamu ganti rambut?" Tanya Weni lagi. Berarti menantunya itu sudah lama pergi ke luar rumah?

"Aku ganti warna, Ma baru saja."

"Sendiri?!"

"Iya, deket kok dari sini," jelas Arisha agar mama mertuanya itu biasa saja dan berhenti khawatir.

"Gak ada apa-apa kan?" Tanya Weni yang tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Ia memutarkan badan Arisha ke kanan dan ke kiri mencoba memastikan.

"Arisha gak papa, Ma. Sedikit lebih enakan dari sebelumnya." Ya, rasanya begitu berbeda. Meski rasa sakit hati itu memang masih ada dan rasanya akan sulit hilang, namun Arisha tidak ingin mengungkitnya lagi. Dunia tidak akan berhenti untuk merayakan kesedihannya. Untuk itu, Arisha memilih mencoba menjalani hidupnya lagi. Toh, perjalanannya pun masih panjang. Ada makhluk hidup kecil di perutnya yang perlu ia perjuangkan kebahagiaannya.

"Iya kamu cantik banget, Sha. Mama pangling tahu. Baru kali ini Mama liat warna kaya kamu gini, cocok sekali, jadi pengen deh Mama," heboh Weni.

Melihat kehebohan mertuanya, Arisha tak hentinya terkekeh geli. "Makasih, Ma."

Weni merangkul Arisha menuju meja makan. "Kamu udah makan?"

"Udah sama Ayu."

"Ayu siapa?'

"Dia kerja di salon yang kudatangi tadi, Ma. Nanti kapan-kapan kita ketemu Ayu."

"Okedeh," Weni mengacungkan jempolnya.

"Irsan, kamu bawa Arisha ke kamar. Istirahat ya, Mama mau ketemu Papa dulu." Irsan mengangguk lalu jalan terlebih dahulu. Arisha mengikutinya dari belakang.

"Kamu beneran udah makan?" Tanya Irsan yang sekarang duduk di tepi ranjang menatap istrinya yang meletakkan tas di atas meja. Arisha mengambil handphonenya dan berjalan menuju ranjang. Merebahkan diri dengan nyaman.

"Udah."

"Makan apa?"

"Roti." Arisha menjawab dengan santai. Ia memainkan hpnya membalas pesan dari Danifa yang baru saja menghubunginya setelah kejadian itu.

Irsan menghela nafas. Ia pun bangkit berdiri dan mengambil nasi dan sayur bening yang dimasak oleh mamanya beserta lauknya. Tak lama, ia kembali ke kamar dan melihat Arisha yang bersiap-siap kembali pergi lagi. "Mau kemana?" Ia mengernyit bingung melihat Arisha yang sudah selesai mandi dan berpakaian.

Cepat sekali.

"Mau ketemu." Arisha menjawab tanpa menoleh pada Irsan yang memperhatikannya. Jujur saja, Arisha tak nyaman. Lelaki itu menatapnya dalam dan penuh...entahlah. Bukan jenis tatapan mesum. Arisha mengeyahkan pikirannya yang berusaha mencari arti tatapan Irsan. Ia menyisir rambutnya setelah memoles make up. Bedak dan lip tint andalannya.

"Siapa? Gak bisa besok aja? Kamu udah jalan tadi."

"Aku mau ketemu Danifa." Irsan terdiam. Semenjak kejadian itu, ia tahu kalau Danifa sekarang sudah menikah dengan Fadhil begitupula dengan Emyr dan Naila. Memang terkesan mendadak dan banyak halangan karena usia mereka yang masih muda dan sejak saat itu pula Irsan tidak tahu bagaimana kabar mereka. Hari pernikahannya dengan Arisha saja mereka tidak datang.

"Aku anter tapi makan dulu."

Arish menggeleng pelan. "Aku mau makan di cafe aja nanti."

"Makan dikit aja nanti makan di cafe lag," kata Irsan memaksa. Arisha mau tak mau pun mengangguk. Dengan telaten Irsan menyuapi istrinya sesekali Irsan juga ikut makan. Arisha menatap Irsan yang ikut makan dengan sendok dalam piring yang sama. Laki-laki itu tampak tidak risih sama sekali.

Sudah lima suapan dan Arisha merasa cukup kenyang. Ia sudah membayangkan kue coklat di cafe yang akan menjadi tempat ia bertemu dengan Danifa dan itu membuatnya tak sabar. "Udah." Arisha menjauhkan kepalanya dari sendok yang berada di depannya.

"Sekali lagi."

"Gak." Arisha menggeleng lalu meminum air putih dengan cepat. Ia melihat penampilannya dari kaca. Memoles lip tint lagi karena mulai memudar.

"Tunggu," ucap Irsan yang mengganti bajunya dalam kamar mandi setelah menyimpan piring kotor di dapur. Arisha mengangguk ia menunggu Irsan sambil memainkan magic tiles di handphonenya.

Tak menunggu lama, Irsan sudah siap. Arisha mengikutinya dari belakang lagi. Melihat itu, Irsan menghentikan langkahnya membuat Arisha bingung. "Jalan di samping aku, kamu bukan pembantu atau bodyguard." Ucapan Irsan membuat perasaan Arisha menghangat. Perkataan itu cukup membekas dihatinya. Ia kira Irsan menolak kehadirannya. Bagaimanapun juga mereka sama-sama orang asing yang terpaksa menikah karena suatu kesalahan yang disebabkan dendam pribadi seorang pria bernama Daris.

Arisha berjalan di samping Irsan memasuki sebuah cafe yang ramai dikunjungi oleh anak muda yang menghabiskan malam mereka. Dengan tampilan band secara live membuat suasana semakin ramai. Arisha menikmati lagu yang diputar. Rasanya Arisha ingin memainkan piano yang berada di ujung sana. Jari-jarinya sudah gatal ingin mengalunkan sebuah musik yang bisa membuat jiwanya lebih tenang. Daridulu cita-citanya menjadi seorang penyanyi meski ia harus terdampar menjadi seorang mahasiswi manajemen. Meski Arisha juga menyalurkan bakat dan hobinya dalam sebuah aplikasi yang bernama youtube dan seringkali mengcover beberapa lagu, tetap saja keinginan itu masih ada. Tak disangka bakatnya yang satu itu menghasilkan uang dan banyak yang menyukainya meskipun tidak luput dari hujatan hatersnya. Namun, Arisha memilih tidak memperdulikannya. Satu yang ia inginkan yaitu senang dengan apa yang ia lakukan. Love what you do dan do what you love.

Arisha tersenyum melihat Danifa yang duduk di pojok. Danifa tampah berbeda. Wanita itu terlihat sedih dan banyak masalah. Melihat itu, Arisha berjalan menghampiri meninggalkan Irsan di belakangnya. "Dan."

Danifa tidak menjawab.

"Dan, Danifa!" Panggil Arisha agak keras. Danifa terlonjak kaget menyebabkan Arisha yang berada di sampingnya hampir terjatuh kalau saja tidak ada Irsan yang membantunya di belakang.

Irsan menatap Danifa tajam namun tampaknya Danifa tidak sadar dengan tatapan itu dan mendekati Arisha. "Maaf ya, refleks tadi."

Arisha mengangguk. Ia segera duduk di hadapan Danifa. "Lama gak ketemu. Lo kemana aja?"

"Harusnya gue yang nanya gitu," kata  Danifa sewot.

Arisha tersenyum kecil. "Naila mana?"

"Gue udah bilang sama dia gak tahu ia datang atau enggak. Gak dibalas." Danifa menunduk sedih karena kejadian itu, semua tak sama lagi.

Danifa melirik Irsan yang berada di samping Arisha. Entah mengapa ia begitu emosi melihat laki-laki itu. Hanya mengingatkannya pada Fadhil yang harus ia akui sebagai suaminya sekarang. "Ngapain lo kesini?!"

"Gue? Nemenin istri gue." Irsan menjawab datar. Ia tahu kalau Danifa memiliki dendam padanya karena menyeret mereka ke dalam masalah.

"Istri?! Kalian sudah nikah?!" Danifa terkejut bukan main. Ia melihat Arisha dan Irsan bergantian.

"Iya, Arisha juga hamil anak gue." Sekali lagi Danifa melotot tak percaya. Ia menatap Arisha yang diam di tempat tanpa sepatah katapun. Perkataan Irsan baru saja melukai hatinya. Apakah laki-laki itu senang karena sudah membuat hidupnya menderita dan harus menanggung beban di usia muda? Bukan, ia bukannya menyalahkan janin di perutnya. Hanya saja ia cukup menyayangkan mengapa bayi ini harus hadir di waktu yang salah dalam keadaan yang salah dan laki-laki yang tak ia diharapkan.

Arisha terdiam. Perkataan Irsan membuat harinya buruk saat itu juga. Seakan Irsan begitu bangga telah menghamilinya.