"Tapi Mas mau makan yang lain."
Nindi cemberut mendengar ucapanku. "Aku udah masak banyak loh. Terus gak dimakan, sedih aku tuh, Mas!" katanya.
Bibirnya segera ku kecup dan ku lumat. "Makanan pembuka dulu, Sayang."
Tanganku menyusuri betis hingga paha mulusnya. Pas sekali siang ini Nindi memakai dres longgar selutut sehingga memudahkan ku untuk menjamahnya.
"Mas, ini di kantor. Nanti ada yang masuk gimana?" tanyanya melirik pintu ruanganku.
Aku menggeleng disela kecupan dan hisapanku di leher jenjangnya. "Gak ada yang berani nyelonong masuk selain kamu."
Nindi tertawa sambil meremas rambutku. Aku selalu bersyukur bisa memiliki wanita di atas pangkuanku yang sedang mendesah ini.
"Lebih cepat, Mas."
Aku tersenyum sambil mengulum bukit kembar kesukaanku. Ah, sekarang aku harus berbagi dengan Kafka juga.
***
Beberapa bulan kemudian...