"PERGIIII!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!" aku langsung terkejut dengan suara teriakan Tante. Aku langsung menarik tangan Nara dan segera membawa Nara pergi menjauhi tempat itu. Aku dan Nara menuju kamar atas yang biasa kita bermain. Disana ternyata ada Kak Azumi, Hima, dan Shika. Terlihat kekacauan di sana. mereka semua sangat sedih karena kehilangan Kakek. Aku memeluk Hima dan Kak Azumi. Adik ku masih sangat kecil. Dan ia sudah merasakan di tinggalkan oleh orang yang sangat mencintai dia. Tidak ada yang bisa menjaga Hima lagi sekarang. Kakek sudah tiada.
"Kak, udah gak ada yang bisa ngelindungi Hima lagi. Kakek udah ga ada." Tiba-tiba Hima berkata seperti itu. Aku sempat berfikir sebelumnya. Tapi kenapa saja tiba-tiba Hima berkata demikian? seperti ada yang menyambar.
"Biasanya kalo ada yang jailin Hima, Kakek buru-buru marahin dia. Sampe pernah waktu itu, ada yang jailin Hima, terus aku nangis dan ngadu ke Kakek, sampe kakek bawain golok ke orang itu. Sejak saat itu, dia gak berani lagi buat jailin Hima."
Ternyata segitu sayangnya Kakek dengan Hima. Sampai memakai istilah "Senggol bacok" milik orang suku Betawi. Tidak heran Hima sampai begitu merasa kehilangan sosok Kakek yang begitu menyayangi Hima.
"Iyah Hima, Aku juga paham kok. Sekarang, doain aja yang terbaik buat Kakek. ya?" Ucapan ku mungkin saja membuat Hima sedikit tenang. Terlihat dari pandangannya.
'Tenang, selama masih ada kakak, Hima, Shika, dan calon adik kita nanti, gak akan ada yang berani usik kalian.' batin ku berkata demikian. Muncul perasaan untuk melindungi dari seorang kakak untuk adik-adiknya. Walaupun aku tahu, aku tak bisa banyak berbuat apa-apa saat mereka sedang diganggu oleh orang lain. Tapi paling tidak, sudah ada kata-kata yang bisa membakar semangat di dada. Ya tentu untuk melindungi mereka.
"Udah mau dimakamin. Kita turun ya semua." Gumam kak Azumi memecahkan hening. Kami semua setuju kemudian turun dan segera menuju tempat pemakaman umum.
Dengan bersusah payah menggunakan motor, aku ayah dan shika menuju tempat pemakaman, sementara Hima dan Ibu menemani Nenek menggunakan ambulans. Sampailah kami di tempat pemakaman tersebut. Mereka semua menggotong jasad Kakek menggunakan keranda dan segera menuju liang lahat yang sudah dipersiapkan. Sesampainya di sana, ketika jasad ingin di kebumikan, Nenek ku meronta-ronta tidak mau dipisahkan dengan kakek.
'DEGGGGG....'
Jantung ku mau copot. Terlihat Kakek memakai baju serba putih dihadapan ku saat ini. Kakek memandang Nenek yang nampak belum ikhlas untuk melepas kepergian kakek. Kemudian datanglah serombongan orang yang memakai baju yang sama dengan Kakek, dengan menggunakan Bus. Kakek melangkah masuk ke dalam Bus tersebut. Namun isak tangis Nenek menghalangi niatnya melangkah ke anak tangga Bus tersebut. Ia tidak jadi melangkah. sekitar 15 detik Kakek memandangi Nenek kembali. Kemudian kode dari para Penghuni Bus tersebut untuk Kakek segera memasuki Bus dan pergi bersama-sama. Kakek bergerak kembali melangkah menuju anak tangga pertama Bus tersebut. Namun, Isak tangis Nenek semakin menjadi dan malah kali ini sempat menjerit. Kakek pun tidak jadi lagi untuk melangkah ke dalam Bus. Kakek kembali memandang pilu Nenek yang sedang histeris melihat kekasih sekaligus suaminya itu di kebumikan. Aku merasa kasihan dengan Nenek. Tapi aku lebih kasihan lagi dengan Kakek yang tidak bisa menuju ke alam lain dengan tenang. Apa yang harus aku lakukan?
"Udah Mah, jangan nangis terus. Kasian Papa mau jalan gak jadi terus dari tadi gara-gara mama nangis begini." Gumam Ibu menenangkan Nenek.
Kenapa Ibu berbicara seperti itu? Aku tidak mengerti dengan ucapan Ibu yang sama persis dengan yang ku lihat barusan. Gambaran itu muncul lagi dimata ku. aku melihat kejadian yang sama seperti kemarin saat memesan lemari.
"Jantung ku... berdebar!"