"DEGG....."
seketika aku bangun dari tidur ku. Aku melihat ke arah jendela. Tampak sinar
matahari memaksa masuk dari luar rumah. Aku bergegas untuk melihat jam.
"07.18!!!!"
"Celaka! Aku bisa terlambat masuk ke kelas. Ayah kenapa gak bangunin aku??" dumel ku
sendiri. Aku langsung menuju kamar ayah dan segera membangunkannya.
"Yah. Bangun udah mau jam 7 ini. kita gak sholat shubuh tadi karena kesiangan."
"Yah bangun!!" ucap ku sedikit berteriak.
"Udah jam 7.15."
"Ayah bangun udah jam 7 lewat kita kesiangan solat kesiangan ke sekolah juga! ayah
bangun." Teriak ku yang mengagetkan ayah tiba-tiba. ayah sedikit membuka
mata sembari mengumpulkan nyawanya.
"Enggh.. siap-siap ke sekolah Ra!" suruh ayah yang masih setengah sadar.
"gak mungkin ke sekolah ini udah jam berapa yah"
"Dringgg...dringgg... " tiba-tiba telfon ayah berbunyi. dengan sigap aku
mengangkatnya.
"Hallo.."
"Hallo, Ara ada ayah ga?" tanya seseorang yang menelfon ayah. terdengar isak
tangis nya walaupun masih tetap bisa tegar dengan ucapannya. aku langsung
memberikan HP kepada ayah.
"Hallo."
"....."
"innalillahi wainna ilaihi rozi'un"
"...."
"iya om ke sana sekarang sama anak-anak"
maksudnya apa? mengucapkan kalimat
seolah-olah ada musibah yang terjadi. aku bingung dari siapa telfon tadi.
"kakek meninggal Ra. kita ke sana sekarang." Gumam ayah.
"DEGG.."
'KAKEKKKKK...!!!!!' pekik ku dalam hati. aku
tak bisa berbicara apapun lagi. tak ada kata yang bisa ku ucap. aku hanya
berusaha menahan perasaan sedih ku saja. aku segera mengganti pakaian ku untuk
kemudian pergi ke rumah kakek bersama dengan ayah dan shika.
'kakek, Maafin Ara kek.'
sesampainya di sana, aku langsung
menuju tempat kakek di baringkan. aku setengah sadar melihat kakek yang
terbujur di lantai beralas kasur tipis di ruang tamu. aku melihat ada Nara di
sana sedang duduk bersila menghadap ke arah kakek. perlahan aku pun menghampiri
Nara dan duduk di sampingnya. aku melihat ke sebelah kiri Nara, ada kakak
pertama dari Nara yang terlihat sangat sedih sambil mengelus kepala kakek yang
sudah terbujur kaku. sesekali, ia ciumi wajah kakek yang hanya berlapis kain
putih tembus pandang yang tipis. membuat ku semakin tak kuasa menahan
kesedihan.
"Kakek maafin Ara ya" lirih ku sambil berusaha menahan tangis. tapi memang tak
bisa terbendung. aku menangis tersedu-sedu. tentu saja menangis lirih. Nara
mengelus bahu ku.
"udah Ara. jangan nangis. nanti Aa ikut nangis ikutan sedih ngeliat Ara nangis. Ara
jangan nangis yaa?" pinta Nara. aku tidak bisa berbuat apapun. bernafas
saja aku sesak. tak berapa lama setelahnya, Nara yang menangis kencang sekali
di samping ku. dia yang tadi mencoba menguatkan ku, malah dia yang ikut
menangis. bahkan lebih keras dari pada ku.
"Udah jangan sedih.." lirih ku. Nara tidak memperdulikan ku. ia tetap saja terus
menangis. aku tidak tega melihatnya.
"Maafin Ara kek." lirih ku. aku melanjutkan rasa berkabung ku. begitu juga Nara.