Aida dan Hanum serta Anisa melihat ke arah Mahira yang sama sekali tak menghiraukan kepergian Abinya. Apalagi Anisa. Ia ingin sekali menimpuk kepala Mahira dengan sendok yang ia pegang sekarang. Kalau tidak ada kedua Uminya Mahira, mungkin sudah ia lakukan dari tadi.
"Ra, kenapa ga mau ikut abi lo? Bukannya Aydin itu calon suami lo?" tanya Anisa saat Mahira mengantarkan Anisa sampai di depan pintu rumah.
"Gue belum setuju tuh nerima dia. Gue udah suka sama orang lain," ucap Mahira sambil bersedekap. Anisa geleng-geleng kepala.
"Emang lo ga mau lihat muka orang itu? sapa tahu cakep kayak Lee Min Ho."
"Halah ga mungkin. Paling selera Abiku itu yang punya jenggot tipis, terus rambut klimis, pake pecis, celana cingkrang."
"Su'udzon aja kamu jadi orang. Apa buat gue aja, Ra. Gue mau dijodohin sama ustadz. Gue itu butuh pembimbing yang bisa membawaku selamat dunia akhirat," ucap Anisa dengan tangan seperti mendeklamasikan puisi.
"Udah sana pulang. Berisik banget sih." Mahira mendorong pelan bahu sahabatnya. Membuat Anisa merengut.
"Ngusir nih?"
"Eh lihat non ini udah jam berapa? dimarahi Mama lo baru tahu rasa."
"Eh iya.. udah jam sembilan ternyata. Ya udah deh makasih banyak. Lumayan dapat makanan gratis dari umi lo. Besok gue ke sini lagi ya, Hir. Sapa tahu dapat makanan banyak lagi."
"Ngarep.."
"Pulang dulu ya cantik. Besok jangan lupa ke Rumah Belajar Pelangi ya. Temen-temen udah beliin banyak buku dari uang hasil sumbangan mahasiswa. Lumayan dapat banyak katanya."
"Alhamdulillah. Iya aku langsung ke sana aj. Eh tapi kondisinya udah aman belum ya?"
"Kata Bang Edo kan malam ini kelompok timur mau nyerang kelompok barat. Aku jadi khawatir."
"Semoga semuanya baik-baik saja.
"Aamiin.."
*****
"Assalamualaikum ustadz Fajar." Wahyu memberi salam pada Fajar saat melihat sahabatnya itu di depan ruang IGD.
"Waalaikumsalam, Ustadz Wahyu." Mereka bersalaman dan memeluk ala lelaki.
"Bagaiman kondisi, Nak Aydin?"
"Belum tahu, Ustadz. Masih ditangani dokter di dalam."
"Bagaimana ceritanya Aydin bisa dikeroyok preman?"
"Kata polisi yang dihubungi Aydin sebelum kejadian, Aydin berusaha menyelamatkan anak-anak jalanan dari serangan preman. Saya juga tidak tahu kronologisnya. Menunggu Aydin yang menjelaskan saja nanti."
"Ceklek!!" Pintu IGD terbuka, muncullah seorang perawat yang memandang mengitari depan ruang IGD.
"Keluarga Aydin?"
"Iya sust, saya ayahnya. Bagaimana keadaan anak saya?"
"Silahkan masuk, Pak." Fajar memberi tanda pada Wahyu bahwa dirinya akan masuk ke dalam.
Fajar masuk ke dalam ruang IGD dan menemui dokter yang menangani Aydin. Sekilas Fajar bisa melihat anaknya yang berbaring di brankar diantara ruang yang bersekat-sekat kain warna biru itu.
"Silakan duduk, Pak."
"Iya bagaimana keadaan anak saya, Dok?"
"Alhamdulillah dari hasil rontgen, tidak ada luka dalam, Pak. Dan luka luarnya sudah kami obati. Sebaiknya di rawat di sini dua atau tiga harian di sini ya Pak. Agar saya bisa memantau perkembangan putra bapak."
"Terimakasih, Dok." Setelah itu, Aydin dipindahkan ke ruang rawat VIP. Diikuti oleh Fajar dan Wahyu.
"Abi, ustadz Wahyu." Aydin berusaha untuk duduk bersandar saat melihat ada Wahyu menjenguknya.
"Sudah tiduran saja, Nak Aydin."
"Ustadz sendirian?" Aydin berharap Mahira ikut tapi ternyata tidak. Aydin ingat bagaimana waktu Edo terluka, Mahira menjenguknya. Kemudian Aydin berfikir positif mungkin Mahira belum tahu. Lagipula kalau Mahira ikut bersama Abinya, mungkin Mahira malah tahu identitas dia yang sebenarnya. Dan Mahira akan menjauh.
"Iya Nak Aydin. Maaf ya Mahira tidak bisa datang. Tadi ada temannya. Jadi dia menemani temannya dulu."
"Tidak apa-apa Ustadz."
"Aydin, bagaimana kamu bisa seperti ini, Nak?" tanya Fajar yang sekarang berdiri di samping tempat tidur Aydin.
"Tadi sore, teman Aydin menelpon. Dia minta tolong agar Aydin membantunya menjaga anak-anak jalanan di kampung Pelangi. Salah satu perkampungan kumuh Abi. Aydin biasa ke sana untuk mengajar ngaji."
"Oh yang biasa kamu datangi setiap sore itu?"
"Iya Abi. Kebetulan ketua mereka sekarang sedang dirawat di rumah sakit karena terluka saat ada tawuran beberapa hari yang lalu antara kelompok barat dan kelompok timur. Itu sebutan untuk perkumpulan mereka, Bi."
"Lalu kenapa mereka bisa melibatkanmu?"
"Ketua mereka bilang, kelompok timur akan menyerang malam ini karena mereka dendam ketua kelompok mereka terluka akibat insiden yang juga melukai ketua kelompok barat. Dan tadi sebelum maghrib saya ke sana. Dan benar saja setelah maghrib kedua kelompok bersitegang. Saya sudah melapor teman saya yang seorang polisi, agar bisa membantu mengamankan. Tapi Polisi kalah cepat. Mereka menyerang duluan dan akhirnya saya yang ingin melindungi anak-anak jadi ikut terluka."
"Astaghfirullah, Nak. Sudahlah Aydin kamu jangan bergaul dengan mereka. Bahaya, Nak. Mudhorotnya lebih banyak." Fajar merasa khawatir dengan pergaulan anaknya. Meski dia tahu, Aydin punya maksud baik.
"Tidak apa-apa Abi. Saya senang membantu mereka. Kalau saya menjauh, siapa yang akan peduli dengan akhlak mereka? Saya berharap suatu hari mereka semua bisa meninggalkan dunia seperti itu. Dan itu bisa dimulai jika mereka mengenal Allah."
'MasyaAllah.. mulia sekali hatimu Aydin. Kalau saja Mahira tahu orang yang Abi jodohkan adalah orang yang benar-benar baik dan tulus. Sayang sekali kamu tidak mau membuka hatimu, Nak,' bisik Wahyu dalam hati.
*****
"Mau kemana Hira? pagi-pagi sekali koq mau pergi?" tanya Hanum saat melihat putrinya memakai kaos kaki dan sepatu dengan tergesa.
"Ke rumah sakit Umi."
"Emang siapa yang sakit Hira?"
"Temen, Mi. Mahira jalan dulu ya Mi. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam, hati-hati ya Nak. Tidak usah ngebut bawa motornya."
"Iya Umi." Mahira panik saat mendengar kabar dari Edo kalau Wira masuk rumah sakit karena dikeroyok kelompok timur tadi malam. Entah kenapa dia merasa khawatir. Mungkin karena Wira adalah orang yang sudah membantunya mendapatkan pekerjaan. Mahira tak sabar ingin cepat sampai di rumah sakit dan melihat keadaan Wira. Sekaligus menjenguk Edo. Karena mereka berada di rumah sakit yang sama. Rumah sakit yang letaknya tak jauh dari lokasi kejadian pengeroyokan.
Mahira meninggalkan motornya di parkiran. Dia setengah berlari masuk ke dalam rumah sakit.
'Eh... Bang Wira dirawat di ruang apa?' Mahira berhenti, menepuk kepalanya. Karena lupa bertanya Wira dirawat di ruang apa. Mahira segera menelpon Edo. Setelah mendapat kabar dari Edo, Mahira berlari lagi setelah bertanya dengan satpam letak ruang rawat yang diberikan Edo tadi.
Mahira berdiri sambil mengamati ruangan yang akan dia masuki.
"RUANG VIP? kaya bener nih orang. Bisa dirawat di ruangan mewah begini." ucap Mahira lirih.
"Tok tok tok." Mahira mengetuk pintu ruang rawat Wira. Tak lama menunggu, ada seorang wanita paruh baya dengan jilbab dan gamis lebar dan panjang, berwarna coklat tua tersenyum saat membuka pintu.
"Assalamualaikum tante." sapa Mahira sambil mencium tangan wanita itu.
"Waalaikumsalam.. eh siapa ini ya? cantik sekali."
"Alhamdulillah. Makasih tante. Apa benar ini ruangan Bang Wira?"
"Wira?" Hamidah, wanita yang berjilbab coklat itu heran dengan nama panggilan anaknya yang tidak biasa.
"Eh, Mahira.." Wira yang mendengar suara Mahira segera menyela agar Uminya tidak mengatakan yang sebenarnya. Dan berbicara terlalu banyak.
"Mahira?" Hamidah mengingat nama itu. Sepertinya ia pernah mendengar nama itu. Dan ketika dia mengingatnya.. "MasyaAllah.."
*******