Chereads / CALON IMAM PILIHAN ABI (END) / Chapter 25 - DIJODOHKAN

Chapter 25 - DIJODOHKAN

Rahma merasa sangat bahagia saat Mahira akhirnya bersedia untuk datang ke acara tasyakuran anaknya yang berulang tahun. Sesampainya di rumah, ia langsung mencari Aydin di kamarnya. Kemarin dia baru saja pulang dari rumah sakit. Dan atas saran abinya, hari ini dia di rumah sambil memulihkan diri dulu. Memang hanya luka luar dan bersyukur karena tidak ada luka dalam. Tapi aktivitas bersepeda Aydin jadi terganggu. Dia belum bisa naik sepeda karena paha dan tangannya masih terasa sakit.

"Dek.. Aydin... " Rahma memanggil-manggil nama aydin. Dia tak sabar ingin memberi tahu adiknya bahwa besok pagi Mahira akan datang ke acara tasyakuran anaknya.

"Ada apa sih Ma, manggil-manggil adikmu?"

"Umi, saya punya kabar gembira tentang Mahira." Rahma yang terlihat kalem saat di sekolah, mendadak jadi antusias saat menceritakan pada Hamidah.

"Ada apa sama Mahira? Dia sudah mulai ngajar?"

"Sudah Umi. Dan rencananya besok dia akan datang ke sini."

"Koq bisa sih. Sini Ma, cerita dulu sama Umi. Umi sudah suka banget sama Mahira. Dia itu lucu, ramah, cocok lah sama Aydin."

"Tadi saya iseng tanya sama dia, Mi. Sudah punya pasangan apa belum. Dia jawab belum. Terus saya bilang mau dikenalin ga sama adik saya? Lalu dia bilang dia trauma dengan pernikahan. Emang iya Mi?"

"Kata Abimu begitu. Tapi kemaren waktu Umi ngobrol sama dia, anaknya baik koq. Sempat bahas tentang poligami juga tapi Umi berusaha meyakinkan kalau tidak semua laki-laki alim itu akan poligami seperti abinya. Kasihan dia. Pasti berat menjalani kehidupan selama ini. Umi berharap Mahira bisa menjadi pendamping Aydin."

"Iya Umi. Dan semoga saja Aydin tidak mengecewakan Mahira."

"Lalu besok dia akan datang ke sini? tapi Mahira taunya Aydin itu Wira. Lelaki yang sering bergaul dengan banyak preman. Lalu besok kamu mau mengenalkan dia sebagai apa?"

"Biarkan saja dia mengenal Aydin sebagai Wira, Mi." Fajar tiba-tiba menyela pembicaraan Hamidah. Rahma mengerutkan keningnya. Belum paham dengan apa yang dikatakan oleh Abinya.

"Biar Mahira mengenal pribadi Aydin dari Wira. Selama ini gadis itu tidak mau mengenal Aydin karena menyangkut prinsipnya. Sekarang dia kan sudah mengenal Wira. Secara tidak langsung dia sudah mengenal sosok Aydin. Aydin juga tidak berbohong tentang keadaannya kan? Tadi malam Abi sudah bicara hal ini pada Ustadz Wahyu. Kami akan menjalankan sebuah rencana untuk Mahira dan Aydin. Biarlah Mahira dekat dengan Wira dulu. Biar dia bisa menghilangkan traumanya dulu."

"Begitu ya Bi?"

"Iya betul begitu Mi.

"Saya mau bilang sama Aydin dulu ya Mi."

"Tolong nasehati dia agar bisa meyakinkan Mahira. Tapi besok Abi tidak bisa ada di rumah ini. Karena Mahira mengenal abi. Biarlah nanti menjadi kejutan kalau mereka menikah.

"Iya Bi." Rahma berdiri, berjalan ke menuju ke lantai dua dimana kamar Aydin berada.

Tok Tok Tok...

"Assalamualaikum.. Dek, kakak masuk ya."

"Waalaikumsalam.. iya Kak." Rahma membuka pintu. Meski mereka kakak adik tetap harus punya adab ketika akan masuk kamar satu sama lain. Yaitu dengan mengetuk pintu dan setelah diijinkan, barulah boleh masuk. Rahma mengambil kursi dan duduk di samping ranjang Aydin. Adiknya sedang bersandar dengan bantal berada di punggungnya. Dan Al-Qur'an yang masih berada di genggamannya.

"Gimana Dek? udah baikan?" tanya Rahma yang sekarang duduk di samping Aydin. Sambil memijit kaki adiknya. Ya begitulah Rahma selalu perhatian pada Aydin, begitu pula sebaliknya. Karena mereka hanya dua bersaudara. Dan nantinya jika orangtua mereka sudah tidak ada, maka saudara adalah tempat dimana mereka berkeluh kesah selain Pada Allah tentunya.

"Alhamdulillah kak. Sudah mendingan. Masih ngilu sih."

"Besok Mahira ke sini. Mungkin bisa menghilangkan rasa ngilu dan sakitmu."

"Jangan bercanda deh Kak."

"Enggak Dek. Mahira memang mau ke sini. Kakak mengundang dia di acara tasyakuran Daffa besok kan Daffa ulang tahun. Rencananya kakak mau mengundang anak yatim dan pengajian di rumah."

"Nanti kalau ketahuan sama Mahira gimana kak?"

"Tenang saja. Kita kan tidak berbohong. Kalaupun Mahira tahu juga tidak apa-apa malah biar dia tahu kalau Aydin adalah Wira yang dia kenal baik.

"Iya memang benar. Susah sekali meyakinkan dia. Padahal aku tidak pernah terpikir sedikitpun untuk poligami. Berat tanggung jawabnya kak."

"Padahal adik kakak ini lulusan Kairo. Tapi masih merasa bahwa poligami itu berat."

"Sungguh jika kita tahu ilmunya, kita akan merasa berat kak. Karena untuk bisa adil itu susah. Rasulullah SAW saja merasakan hal itu ketika istri-istrinya saling cemburu. Apalagi aku yang ilmunya tak ada seujung kuku."

"Kamu saja yang belajar agama dan pintar. Tidak berani berpoligami. Tapi di luar sana banyak lelaki yang dengan mudahnya berpoligami bahkan mungkin tanpa sepengetahuan istri sebelumnya. Kakak juga paling sensitif tentang hal ini. Semoga saja Bang Habib tidak akan melakukan itu pada kakak."

"Aamiin.."

"Lalu apa rencanamu untuk besok?"

"Biar sah kalau Allah memang menginginkan Mahira tahu yang sebenarnya tidak masalah. Toh selama ini aku tidak pernah berbohong. Aku hanya ingin dia melihat kepribadianku. Dia bisa saja menolak Aydin. Tapi semoga dia menerima Wira."

"Aamiin... Biar kamu cepet nikah dan ga keterusan jadi bujang lapuk."

"Kita lihat saja nanti."

******

Keesokan harinya Mahira berangkat mengajar seperti biasa. Saat jam pulang sekolah, dia segera pulang karena pukul empat nanti dirinya diundang ke rumah Rahma yang lumayan jauh dari rumahnya. Dia mau menolak sungkan, kalau diterima dia akan tahu apa konsekuensinya. Dijodohkan lagi.

'Apa hidupku ini harus selalu berurusan dengan perjodohan. Bagaimana bisa aku mencintai orang lain, padahal hatiku hanya untuk Bang Edo. Tapi sayang. Bang Edo kini sudah punya kekasih. Ya sudah aku akan terima dengan lapang dada.'

Sebelum berangkat, Wahyu sudah menyediakan mobil dan sopir untuk mengantat Mahira ke rumah sababatnya, Fajar.

"Mau kemana, Nak?" tanya Hanum dan tak jauh dari situ ada Wahyu yang sedang duduk di sofa.

"Mau ke acara ulangtahun anak kepala sekolah, Mi."

"Sudah sore, Ra. Kamu naik mobil saja. Abi ga akan izinin kalau kamu naik motor." Memang benar perjalanan menuju rumah Fajar sangat rawan jika hari sudah mulai gelap.

"Iya, abi."

"Ya sudah sana cepat pergi. Kasihan Pak Budi nunggin kamu."

"Iya abi, umi. Assalamualaikum"

"Waaikumsalam.." Mahira mencium tangan kedua orangtuanya. Sepanjang perjalanan bersama Pak sopir, Mahira sangat gugup. Bagaimana saat dia bertemu dengan adiknya kepala sekolah. Apa benar dia seorang laki-laki yang ganteng tapi pendiam? pikiran Mahira mulai kacau. Dia hanya bisa pasrah. Toh dijodohkan bukan berarti dia harus menerima kan?sama seperti abinya yang berusaha menjodohkan dia dengan Aydin.

Mahira mencocokkan beberapa kali antara alamat rumah di kertas dengan rumah yang ada di depannya. Rumah yang sangat besar. Lebih besar dari rumahnya. Di depan rumah itu sudah ramai dengan kendaraan. Mungkin kendaraan para tamu.

"Pak tunggu saya ya. Saya mau masuk ke dalam sebentar."

"Iya mbak Hira. Akan saya tunggu di sana. Pak Budi menunjuk tempat dibawah pohon rindang. Mahira mengangguk lalu masuk ke dalam."

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Eh bu Ghaziya." Rahma menghampiri Ghaziya yang berdiri di ambang pintu.

"Kalau di luar sekolah panggil Mahira saja bu."

"Tapi disini banyak anak-anak bu. Saya akan memberi contoh yang buruk untuk mereka kalau hanya memanggil nama."

"Ya sudah bu tidak apa-apa.. Saya mengerti." Rahma mengantar Mahira mengambil minuman dan cemilan. Setelah itu Mahira duduk-duduk sambil menikmati cemilannya.

Rahma memanggil seseorang. Dia berharap Aydin dan Mahira bisa saling memahami.

"Mahira." Suara seseorang yang memanggilnya itu seperti suara orang yang sangat ia kenal. Mahira menoleh dan ternyata.

"Bang Wira? ngapain ke sini?"