Chereads / CALON IMAM PILIHAN ABI (END) / Chapter 30 - MENOLAK WIRA LEWAT RAHMA

Chapter 30 - MENOLAK WIRA LEWAT RAHMA

Aydin merasa bahagia saat mendatangi Kantor Urusan Agama untuk mendaftarkan pernikahannya dengan Mahira. Berulang kali dia mengucap syukur karena sebentar lagi dia akan menikah dengan perempuan yang selama ini dia inginkan. Tak ada doa yang tidak dikabulkan oleh Allah. Jika belum juga dikabulkan mungkin saja Allah sedang menunda terkabulnya doa atau Allah menggantinya dengan yang lebih baik. Dan untuk doanya terhadap Mahira mungkin yang tepat adalah menunda. Setahun lalu dia dijodohkan dengan Mahira tapi gadis itu sama sekali tidak mau menemuinya karena takut Aydin berpoligami seperti yang dilakukan Abinya.

Rupanya Allah sedang menunda dan tanpa sengaja mempertemukan Aydin dan Mahira di Rumah singgah Pelangi. Dimana mereka berdua sama-sama mengajar di sana. Niat baik pasti akan di dengar oleh Allah. Mahira menjadi lebih dekat dengan Aydin semua karena pertolongan Allah.

"Terima kasih ya, Pak." Aydin bersalaman dengan petugas KUA. Semua persyaratan sudah ia lengkapi dan hanya tinggal menunggu hari pengecekan dan pelaksanaan pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan bulan depan.

Hatinya terasa ringan saat ini. Dia sangat bahagia. Tapi kemudian dia ingat kalau mungkin saat ini Mahira sedang sedih. Aydin pun berinisiatif segera menelpon kakaknya untuk menanyakan keadaan Mahira di sekolah.

Aydin membuka pintu mobilnya, dia duduk di belakang kemudi sambil menelpon kakaknya. Sudah dua kali Aydin menelpon tapi tak juga diangkat.

"Ah.. Kak Rahma lagi apa ya? koq ga diangkat-angkat?" Keluh Aydin. Dia meletakkan ponselnya di dashboard lalu segera berangkat ke kantor. Dia melirik jam dan sudah sangat terlambat. Baru kali ini dia datang terlambat. Meski sering menggunakan sepeda, tapi Aydin tidak pernah terlambat. Jika hari ini dia terlambat semoga bisa ditolerir oleh bawahannya. Bisa saja dia menyerahkan pada Abinya, tapi dia ingin mengurusnya sendiri. Mendapatkan Mahira saja tidak gampang. Jadi dia ingin mengusahakan semuanya.

"Assalamualaikum..," ucap Aydin pada sekretarisnya yang laki-laki. Ya Aydin memang memilih sekretaris laki-laki untuk membantunya.

"Waalaikumsalam, Pak Aydin." sekretarisnya berdiri lalu menunduk hormat pada Aydin.

"Maaf saya terlambat. Apa pagi ini saya ada meeting?"

"Tidak ada Pak. Hanya ada nanti jam satu siang."

"Ya sudah.. terimakasih." Aydin masuk ke dalam ruangannya. Dia masih memikirkan kondisi Mahira yang saat ini pasti masih sangat terpukul karena akan dijodohkan dengan orang yang tidak ia kenal.

Drrrt Drrrt.. Ponsel Aydin bergetar. Ketika dia melihat nama yang tertera di ponsel, dengan antusias dia mengangkatnya.

"Halo assalamualaikum, Kak."

"Halo Waalaikumsalam, Dek. Ada apa?"

"Kak bisa tolong lihatin Mahira? Apa dia baik-baik Saja sekarang?"

"Khawatir dia sedih karena tetap mau dijodohkan dengan Aydin."

"Ada-ada saja itu Abinya Mahira." Rahma tertawa saat mengingat bagaimana semalam Fajar bercerita tentang rencana Wahyu.

"Ya kita ikut Abinya Mahira saja Kak. Tapi kakak tolong jagain Mahira di sekolah ya. Barangkali dia bisa curhat dengan kakak. Biar dia tidak sedih lagi."

"Iya iya.. Nanti kakak akan pantau dia."

"Terimakasih Kak.

Rahma segera keluar dari ruangannya. Dia menuju ke kelas 2A untuk melihat Mahira. Dari luar ruangan, ia melihat Mahira yang sedang mengajar. Masih seperti biasanya dan tidak terlihat dia sedang mempunyai beban berat. Rahma duduk di bangku tembok yang ada di depan kelas. Yang biasa di peruntukkan anak-anak ketika istirahat.

"Bu.. Bu Mahira..."

"Eh ada apa? maaf ya."

"Ibu ngelamun aja sih?"

Percakapan Mahira dan salah seorang siswa menarik perhatian Rahma. Dia lantas berdiri dan dia merasa sudah cukup dengan pengamatannya. Walau dia terlihat profesional saat mengajar, tetap saja di sela-sela itu ada yang mengganggu pikirannya. Dan membuat gadis itu melamun. Rahma kembali ke ruangannya. Kalau dia terus di sana, bisa-bisa pekerjaannya sendiri yang berantakan. Setidaknya dia tahu kalau Mahira masih bisa fokus mengajar. Walau kadang melamun bisa ia maklumi.

*****

Saat jam pulang sekolah, Rahma sudah siap menunggu Mahira di depan ruang kepala sekolah. Dia takut Mahira keburu pulang. Dia harus bicara empat mata dengan Mahira.

"Bu Ghaziya..!! Teriak Rahma. Walau tidak terlalu keras, namun masih bisa di dengar Mahira yang baru saja akan mengenakan helmnya. Mahira sepertinya bilang iya, dilihat dari gerakan mulutnya tapi tidak terdengar oleh Rahma.

Mahira berjalan menghampiri Rahma. Gadis itu memang terlihat sedih. Padahala biasanya ia ceria sekali dan banyak senyum. Tapi kali ini senyumnya hanya senyum tipis yang setengah terpaksa.

"Bu Ghaziya ke ruangan saya ya." Rahma berdiri, mengajak Mahira masuk ke dalam ruangannya.

"Iya Bu." Mahira pun mengikutinya. Dia tahu apa yang akan ditanyakan oleh Rahma. Dan Mahira bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan Rahma nanti. Bagaimana nasibnya jika kepala sekolahnya ini tahu, Abinya menolak Wira. Bagaimana nanti dengan pekerjaannya di sekolah ini?

"Duduk Bu." Rahma mempersilakan Mahira duduk, dan diapun melakukan hal yang sama.

"Bu Rahma ada apa memanggil saya?"

"Saya hanya ingin tahu, apa bu Ghaziya sudah bilang ke orangtua bu Ghaziya kalau Wira akan melamarmu?" Mahira menunduk saat mendengar pertanyaan Rahma tadi. Dia tidak enak hati menyampaikan kabar yang mungkin akan mengecewakan keluarga Wira.

"Maaf bu Rahma, sebelumnya saya minta maaf karena mungkin kabar ini akan membuat Bu Rahma dan keluarga kecewa."

"Tidak apa-apa Bu Ghaziya. Katakanlah. Nanti akan saya sampaikan pada Wira."

"Maaf bu, Abi saya bersikeras ingin tetap menjodohkan saya dengan anak temannya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Bu. Karena kali ini Abi terlihat sangat marah."

"Lalu Bu Ghaziya menerima perjodohan itu."

"Iya bu, Insyaallah bulan depan saya akan menikah. Saya sedih bu." Mahira menangis di depan Rahma. Dalam hati Rahma merasa iba dan kasihan melihat Mahira seperti itu. Tapi dia juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Karena itu permintaan orantuanya Mahira. Hanya satu bulan saja. Dan saat hari itu tiba, ia pikir Mahira akan sangat bahagia dengan kesalahpahaman ini.

"Kenapa bu Ghaziya menangis? Apakah Bu Ghaziya sudah mencintai adik saya?"

"Tidak tahu, Bu. Tapi saya sudah mulai kagum pada bang Wira. Dia sangat baik dan bijaksana. Padahal dia juga laki-laki sholih seperti keinginan Abi. Tapi beliau menolak dan masih ingin saya menikah dengan anak sahabatnya. Dulu mungkin saya sering memberontak, Bu. Tapi kali ini saya tidak bisa. Saya takut jadi anak durhaka. Kalau saya tetap memaksakan kehendak saya dan tidak direstui oleh Abi, kelak jika terjadi sesuatu dengan pernikahan saya, orangtua saya tentu akan menyalahkan saya, Bu." Mahira masih menangis. Sampai kotak tisu Rahma, di dekatkan dengan gadis itu.

"Melihat sikap Bu Ghaziya yang seperti ini, saya kira anda sudah mulai menyukai Wira. Tapi saya hargai keputusan bu Ghaziya. Saya jadi ingat ketika saya dulu juga dijodohkan oleh Abi. Saya juga menangis seperti Bu Ghaziya karena saya merasa tidak mengenal orang itu. Tapi kemudian setelah saya menikah, kehidupan rumah tangga saya perlahan mulai hangat. Saya mulai mencintai suami saya karena dia bisa jadi imam yang baik. Yakinlah kalau apa yang dipilihkan orangtua itu selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Mereka yang paham agama, tentu akan memilih calon untuk anaknya juga yang paham agama. Apa jadinya jika suami yang nantinya akan jadi nahkoda dalam keluarga, tidak paham agama? Kapal yang dia bawa, akan terombang ambing bahkan bisa juga sampai karam. Jadi bismillah saja, Bu Ghaziya. Semoga keputusan yang anda ambil, tidak akan salah."

"Saya ingin menjelaskan sendiri pada Bang Wira, Bu. Bolehkah saya bertemu dengannya?"

"Sepertinya tidak perlu, Bu. Biar saya saja yang menyampaikan. Bu Ghaziya fokus saja dengan pernikahannya. InsyaAllah kami akan datang di pernikahan bu Ghaziya. Saya yakin Wira cukup dewasa untuk menghadapi semua ini. Mencintailah karena Allah. InsyaAllah semua akan terasa ringan." Rahma memang sengaja tidak mengizinkan karena takut jika terlalu banyak bicara. Makan jatuhnya akan banyak dusta.

Mahira hanya bisa pasrah. Mungkin dia tidak akan bisa bertemu Wira lagi.  Dan mungkin dia akan mengundurkan diri dari sekolah ini setelah menikah nanti. Dia hanya ingin menjaga perasaan Wira dan keluarganya.