Di tempat ini, pertama kali Edo bertemu dengan Mahira. Di tempat ini pula cinta hadir di antara mereka. Tapi tidak ada yang tahu jika satu sama lain memiliki perasaan yang sama. Satu alasan Edo tak berani melangkah maju adalah akhlaknya. Dia tak akan bisa menandingi Wira. Laki-laki sholih yang sudah dijodohkan dengan Mahira.
"Bang.. ngapain ngelamun?" Anisa menepuk pundaknya dari belakang. Membuat Edo sadar dari lamunannya tentang Mahira.
"Eh elo." Edo menoleh sesaat lalu kembali menatap lurus ke depan. Menatap anak-anak jalanan yang sedang bermain dengan asyiknya.
"Gimana lukanya bang? Udah sembuh?
"Udah mendingan."
"Lo ga nanyain Mahira?"
"Buat apa?" Edo seolah tak acuh dengan apa yang akan dikatakan Anisa.
"Mulai hari ini, Mahira sudah tidak mengajar di sini lagi bang." Anisa duduk di depan Edo yang membuat pandangan lelaki itu pada anak jalanan menjadi terhalang oleh Anisa. Dan apa yang dikatakan Anisa membuatnya terpukul.
"Ga ada urusannya sama gue. Terserah dia mau ngajar atau enggak gue ga peduli."
"Kalian ini.. satu sama lain sok ga peduli. Padahal kalian saling suka satu sama lain."
"Mahira ga pernah suka sama gue."
"Tapi elo suka sama Mahira. Ya kan?" Edo hanya diam. Dia tidak ingin mengutarakan perasaannya di depan Anisa.
"Kalau Mahira suka sama lo, apa lo mau memperjuangkannya?"
"Itu ga mungkin."
"Mungkin karena pada kenyataannya memang iya."
"Lo bohong."
"Tapi sayang.. dia udah nyangka yang bukan-bukan. Dia mengira lo udah punya pacar."
"Gue udah jelasin kemarin kalau gue ga punya pacar. Itu Nita anak buah gue."
"Tapi lo tahu kan, Mahira itu keras kepala bang, dia akan teguh dengan pendiriannya. Oleh sebab itu dia memilih untuk tidak ke sini lagi. Karena dia ingin lupain lo."
"Mahira..." Edo mengambil satu kerikil kecil lalu melemparkannya. Seolah ia punya beban berat yang ingin dia buang jauh juga yaitu tentang Mahira.
"Gue tahu bang akan susah masuk ke lingkungan keluarga Mahira. Abinya adalah seorang ustadz, keluarga yang agamis. Bukan Mahira sudah dijodohkan dengan ustadz muda. Tapi dia ga mau. Lo tahu kenapa? karena dia menyukai lelaki yang apa adanya."
"Dan ga mungkin itu gue."
"Kenapa ga mungkin? kita ga kan tahu kemana cinta akan berlabuh. Seperti Mahira yang sholihah malah mencintai lelaki brandal kayak lo. Itu karena dia trauma dengan laki-laki baik-baik."
"Tapi gue ga pantas buat dia."
"Iya emang bang. Lo ga pantas buat dia. Abinya bakal syok berat kalau ketemu sama lo. Dan mencoba meminta Mahira. Gue yakin beliau ga akan setuju."
"Iya gue tahu. Makanya gue mundur."
"Bukannya mundur bang. Kalau kalian saling cinta ya ga usah mundur."
"Terus?"
"Lo harusnya membuat diri lo pantas bersanding dengan Mahira. Lo harus memantaskan diri."
"Ga mungkin."
"Gue kira lo pejantan tangguh. Taunya melempem."
"Terus gue harus gimana?"
"Pergi cari ilmu donk. Belajar agama. Jadi laki-laki sholih. Lo udah dapetin hatinya Mahira. Sekarang tinggal lo dapetin hatinya orangtua Mahira. Tadinya gue ga setuju sama pilihan Mahira. Tapi sebagai sahabat, gue juga ga tega ngelihat dia tiap hari nelpon nangis. Pikiran gue sama dengan orangtua Mahira, bang. Ga kan setuju jika Mahira sama preman kayak lo. Itu kalau lo mau denger nasehat gue. Tapi kalau enggak ya siap-siap janur kuning sebentar lagi akan melengkung di depan rumah Mahira. Dan pengantinnya bukan elo. Tapi lelaki lain. Lo siap?"
"Siap aja. Kalau itu untuk kebahagiaan dia "
"Oh ya sudah kalo gitu. Gue anggep lo udah nyerah ya. Jangan salahin gue kalau nantinya lo nyesel."
"Hemm.."
"Gue balik dulu."
Anisa berdiri dari tempat duduknya. Dia melihat Edo yang sok terlihat kuat. Padahal dia tahu Edo sedang menahan kegetiran. Tapi mau bagaimana lagi, dia sebenarnya tidak ingin memberi support pada Edo. Tapi karena sahabatnya, dia akhirnya mau membuat Edo berjuang. Tapi rupanya lelaki itu sudah menyerah sebelum berperang.
*****
Edo menyalakan rokoknya untuk kesekian kalinya. Di bawahnya ada tergeletak puntungan rokok yang entah sudah berapa batang ia habiskan. Dia memikirkan ucapan Anisa dari tadi sore. Memantaskan diri? Selamanya dia tidak akan pantas untuk Mahira. Perbedaan di antara mereka terlampau jauh. Jika dia memantaskan diripun apa orangtuanya Mahira mau menerima lelaki mantan preman yang kini sudah bertaubat. Edo tahu setiap orangtua tentu mengharap yang terbaik. Mereka akan melihat bibit, beber, bobot calon anak mereka. Dan itu bukan dirinya.
Edo menginjak puntung rokok terakhirnya. Dia memakai kembali jaket jeans robek miliknya. Merogoh kunci motor yang ada di sakunya.
Kunci sudah di tangan. Edo mengambil helm dan memakainya. Duduk di atas kuda besinya dengan pikiran yang entah kemana? Iya mengambil ponsel dan menelpon seseorang. Setelah mendapat jawaban yang diinginkan, Edo menyalakan mesin motornya, lalu mengendarai dengan kecepatan tinggi. Meliuk liukkan motornya menembus kemacetan. Tak peduli dengan bahaya yang sewaktu-waktu bisa mengancamnya.
Kurang lebih satu jam dia sampai di tempat tujuan. Di depan pondok pesantren di pinggiran kota. Tempat di mana dulu waktu kecil dia pernah tinggal di sana. Hingga suatu saat Ayahnya meninggal dan ibunya dinikahi oleh orang lain enam bulan kemudian. Dia memilih pergi meninggalkan ibu dan adik perempuannya yang berumur satu tahun lebih muda darinya. Edo yang saat itu berumur lima tahun, melanjutkan hidup bersama Andri di jalanan.
'Masih tetap sama seperti dulu.' batin Edo saa
"Assalamualaikum." Edo mengetuk pintu pesantren yang sudah tua dan minim perbaikan ini. Tapi masih ada beberapa santri yang menimba ilmu di sana.
"Waalaikumsalam," keluarlah seorang wanita tua berumur kira-kira lebih dari separuh abad. Wanita itu menelisik wajah Edo yang menurutnya sangat familiar.
"Nenek.." Edo mencium punggung tangan wanita itu. Beliau mengernyitkan daging karena tidak tahu siapa yang berada di depannya saat ini.
"Kamu siapa Nak?"
"Saya Idris, Nek?" Edo masih mengingat nama kecilnya dimana dia masih tinggal di sini.
"Idris?" wanita tua itu mengingat ingat nama Idris. Tapi siapa? beliau masih belum mengingatnya.
"Saya anaknya Muchtar, Nek." Edo tak mau menyebut nama ibunya. Karena dia benci sekali dengan ibu yang telah melahirkannya. Menyebut nama muchtar, wanita itu matanya berkaca-kaca. Dia tahu siapa itu.
"Ya Allah Idris.. " Wanita itu langsung memeluk erat tubuh Edo yang kini jauh lebih tinggi darinya. Pantas saja wajahnya seperti tidak asing karena mirip dengan anak laki-lakinya yang bernama Muchtar
"Nenek sudah mengingat saya?"
"Tentu saja nenek masih ingat. Sejak ibumu melahirkan adikmu, kamu lebih sering bersama nenek. Tentu saja nenek mengingatmu, nak. Kamu kemana saja? kenapa kamu pergi meninggalkan nenek?"
"Maaf Nek, saya tinggal di jalanan bersama Andri."
"Sudah ayo masuk dulu, Dis. Nenek bikinkan minum. Kamu tentu sangat lelah."
"Terimakasih, Nek."
Edo akan mencari ilmu di tempat ini sambil memantaskan diri. Pantas untuk Mahira. Meski nantinya dia harus bolak balik ke rumah ini dan ke markas anak jalanan. Semua dia lakukan agar dia bisa lebih baik. Jika akan ada yang bisa menggantikan dia pemimpin kelompok barat, dia akan dengan senang hati melepasnya.