Hari senin ini Mahira sudah mulai mengajar di SD AL ILMU. Dia berangkat lebih awal agar tidak terkena macet dan bisa menyebabkan dirinya terlambat. Sudah terbiasa mengajar anak-anak di rumah singgah rupanya tidak membuat dia lebih tenang karena sudah berpengalaman. Dari bangun tidur dia gugup sampai harus keluar masuk kamar mandi beberapa kali.
BISMILLAHI, TAWAKKALTU 'ALA ALLAH, LAA HAULA WA LAA QUWWATA ILLAA BILLAAH.
"Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah."
Sebelum berangkat, ia membaca doa terlebih dahulu. Selain agar mendapat keberkahan dari apa yang ia kerjakan hari ini, juga untuk mengurangi kegugupannya.
'Aduh koq mules lagi ya?' Mahira menggerutu dalam hati. Dia sering mengalami hal seperti jika sedang gugup.
Mahira segera mencari toilet saat dia sampai di sekolah. Rasa mulas di perutnya belum juga hilang. Malah semakin bertambah.
"Ahhh.. Alhamdulillah lega. Semoga aja ga mules lagi." Mahira membetulkan pakaiannya. Dia masih mengenakan atasan batik sepaha dan rok lebar berwarna hitam. Dia ingat waktu dia PPL dulu. Bertemu dengan anak-anak kecil mampu mengurangi kegugupannya. Beberapa menit Mahira duduk di depan ruang kepala sekolah menunggu Bu Rahma kepala sekolah SD itu
"Assalamualaikum bu Ghaziya." Sapa seseorang yang tiba-tiba berdiri di depannya saat dia sedang bermain ponsel.
"Waalaikumsalam Bu Rahma.. Eh maaf bu." Mahira memasukkan ponsel ke dalam tasnya.
"Tidak apa-apa bu Ghaziya. Nanti ibu akan mengajar kelas 2A ya. Nanti biar saya saja yang mengantar."
"Terimakasih Bu Rahma." Mahira mengikuti Rahma ke ruang kelas 2A. Hening tanpa pembicaraan. Hanya bunyi sepatu yang beradu dengan lantai yang terdengar.
"Ini dia ruangan kelas 2A bu Ghaziya."
"Terimakasih Bu Rahma."
"Selamat mengajar ya. Semoga bu Ghaziya betah mengajar di sini," ucap Rahma.
"Aamiin.. Terimakasih bu Rahma. Saya senang sekali bisa mengajar di sini."
"Baiklah, mari saya kenalkan dengan anak-anak."
"Iya Bu." Rahma masuk terlebih dahulu, setelah itu baru Mahira mengekornya. Mahira mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Anak-anak melihat bu Rahma. Mereka semua tiba-tiba hening ketika ada seorang wanita yang berdiri di samping kepala sekolah mereka.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh.."
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarakatuh." Jawab anak-anak itu serentak.
"Anak-anak berhubung bu Aisyah sedang cuti, maka untuk menggantikan beliau, sementara kalian dibimbing dulu sama bu Ghaziya ya."
"Iya bu...."
"Ya sudah sekarang kalian belajar dulu dengan Bu Ghaziya ya. Ibu tinggal dulu. Jangan nakal ya." Rahma tersenyum pada anak-anak. "Bu Ghaziya, saya tinggal dulu ya." Rahma bersalaman dengan Ghaziya, lalu meninggalkan gadis itu di kelas bersama anak-anak kelas 2A.
Mahira mengawali dengan berkenalan terlebih dahulu dengan siswa kelas 2A. Mereka semua antusias dengan cara mengajar Mahira yang menyenangkan. Anak-anak itu sangat menyenangkan membuat Mahira lupa dengan rasa gugupnya. Gadis itu membuat permainan tanya jawab, sehingga kelas menjadi hidup. Tak terasa satu hari ini dia lewati dengan lancar.
"Bu guru bu guru.. boleh ga saya minta nomor WA nya bu guru?" Tanya seorang gadis kecil berkulit sawo matang. Mahira melongo anak kelas dua SD sudah mengerti WA?
"Buat apa sayang? kan kita besok ketemu lagi?"
"Gapapa bu guru, kan tadi bu guru ngasih TR, nanti kalau aku ga bisa kan bisa tanya bu guru."
"Oh begitu ya? Sayang, TR itu kan tugas rumah, biar kamu belajar di rumah. Nah kalau di rumah berarti kamu harus ngerjain sendiri. Kalau tanya bu guru, besok pagi yang dapet nilai jadi bu guru donk. Kamu mau dapat nilai ga?"
"Mau donk Bu. Ya sudah bu Ghaziya aku pulang dulu ya. Anak kecil itu melangkah meninggalkan Ghaziya seorang diri di kelas. Semua anak-anak sudah keluar ruangan. Mahira pun keluar."
Guru-guru di sekolah itu sangat welcome dengan kehadiran Mahira.
"Mari bu." sapa salah seorang guru yang ruanganngnya ada di sebelah kelas 2A.
"Oh ya bu mari." Ternyata kekhawatiran Mahira tadi pagi tidak terjadi. Semua berjalan dengan lancar di hari pertama ia mengajar. Dia akan menemui bu Rahma dulu sebelum pulang.
"Assalamualaikum Bu Rahma."
"Waalaikumsalam Bu Ghaziya. Silahkan masuk. Sebentar saya beresin ini dulu ya."
"Iya bu." Mahira menunggu Rahma yang sedang mengetikkan sesuatu di ponselnya. Entah apa Mahira juga tak mau tahu.
"Alhamdulillah... Maaf jadi menunggu. Saya lagi WA nan sama adik saya, Bu."
"Oh iya bu tidak apa-apa. Malah saya yang harusnya minta maaf karena sudah mengganggu bu Rahma."
"Ah tidak koq. Saya lagi mikirin adik saya. Sudah mau dua puluh enam tahu, tapi belum juga menikah."
"Adiknya laki-laki atau perempuan, Bu?"
"Laki-laki Bu Ghaziya. Eh ngomong-ngomong bu Ghaziya ini sudah punya pasangan belum?"
"Belum bu."
"Lho kenapa? Mau kerja dulu?"
"Iya salah satunya itu bu."
"Lalu salah duanya?" Mahira tertawa saat Rahma bercanda seperti itu. Tapi dia menunduk setelahnya.
"Saya trauma dengan pernikahan Bu."
"Lho memangnya kenapa?" Rahma tiba-tiba ingin tahu dengan apa yang dirasakan gadis itu. Sedangkan Mahira merasa Rahma adalah teman curhat yang bisa dia percaya. Dan ia berharap Rahma tidak menanyainya lebih lanjut.
"Abi saya poligami bu. Punya dua istri. Dan sejak kecil saya sering dibully orang karena status saya sebagai anak istri kedua."
"Astaghfirullah.. teganya mereka."
"Saya tahu poligami itu diperbolehkan. Tapi saya tidak bisa menerima itu, Bu. Saya tidak suka dipoligami."
"Islam tidak memaksa wanita harus mau koq. Siapapun boleh menolak koq. Tapi bukan berarti anti. Nanti jadi beda pemahamannya."
"Iya bu, saya sudah berusaha untuk membuka diri. Tapi tetap saja ada rasa tak percaya pada laki+laki. Padahal abi saya sudah menjodohkan saya pada sopan lelaki. Tapi saya menolaknya."
"Lho kenapa? Bu Ghaziya harus berusaha berfikir positif. Ga senua laki-laki seperti itu. Contohnya adik saya. Dia tidak mau punya pacaran dari dulu. Dia juga bilang kalau dia tidak akan berpoligami. Dia bilang ingin seperti kedua orangtua kami. Abi saya seorang ustadz. Dan umi saya ibu rumah tangga. Tapi Abi tidak pernah terpikir sedikitpun untuk mencari istri lagi. Mereka bahkan selalu harmonis. Dan menular kepada anak dan menantunya. Adik saya itu memang sedikit pendiam kalau sama perempuan. Mana bisa dia merayu perempuan. Mungkin karena itu ya dia belum punya calon sampai sekarang."
"Oh abinya bu Salma seorang ustadz? tapi tidak poligami ya bu?"
"Iya Bu Ghaziya. Pokoknya kalau melihat kebersamaan mereka, saya suka iri."
"Beruntungnya menjadi anda bu Rahma."
"Eh bagaimana kalau bu Ghaziya saya kenalkan sama adik saya. Dia ganteng koq. Tapi sedikit pendiam. Kebetulan besok lagi ada acara syukuran di rumah kami. Kalau bu Ghaziya ada waktu, bisa mampir ke rumah saya. Nanti saya kasih alamatnya ya."
"Tapi Bu." Mahira akhirnya mengangguk. Edo sekarang sudah mempunyai kekasih. Dan dia juga tidak mungkin berharap lagi pada lelaki itu. Tak ada salahnya silaturahim ke rumah kepala sekolahnya itu. Sambil dia ingin tahu seperti apa kehidupan rumah tangga yang harmonis dari orangtuanya Rahma.
"Ini alamat saya. Besok sore saya tunggu ya."
"Oh begitu ya bu?