Hamidah terkejut mendengar nama gadis cantik yang sekarang ada di hadapannya.
"Tante, ini ada sedikit buah untuk bang Wira."
"Oh iya, Nak. Terimakasih." Hamidah tersenyum, bahagia sekali rasanya ternyata Mahira datang menjenguk Aydin. Sepertinya sebentar lagi dia akan mengantarkan putranya ke pelaminan. Aydin tahu apa yang dipikirkan Uminya. Setelah mempersilahkan Mahira duduk, dia mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu.
"Umi sepertinya hp Umi bunyi," ucap Aydin pada Hamidah yang saat ini sedang memandangi calon menantunya.
"Masa sih?" Hamidah mengambil hp dari dalam tasnya. Dan benar ada pesan yang berasal dari putranya. Ia mengernyit tanda bingung dengan apa yang baru saja ia baca. Tapi dia memilih untuk menuruti Aydin menjalankan rencananya. Semoga memang inilah jalannya.
"Bang Wira kenapa bisa sampai begini? mukanya sampai biru-biru gitu?" Celetuk Mahira. Dia tak berani berdiri di samping Wira seperti halnya orang yang sedang membesuk. Hanya duduk di kursi berjarak kira-kira satu meter dari Aydin
"Iya Mahira, tadi malam aku nolongin anak-anak jalanan, eh malah aku yang dikeroyok kelompok timur. Kamu tahu aku dirawat dari siapa?"
"Dari bang Edo, bang. Aku langsung ke sini setelah Bang Edo ngasih kabar."
"Oh dari Edo. Oh ya Mahira kenalin ini ibuku." Wira memperkenalkan Mahira pada Uminya. Hamidah yang sebelumnya hanya tahu Mahira dari nama dan foto saja, tampak terpukau dengan kecantikan Mahira yang nyata dihadapanya. Jilbab syar'i dan pakaiannya yang longgar juga menjadi nilai lebih Mahira di depan Hamidah.
"Oh ya.. maaf tante. Saya Mahira, temannya bang Wira." Mahira mendekat pada Hamidah dan mengulurkan tangannya.
"MasyaAllah Mahira.. cantik sekali sama seperti namanya. Sudah lama kenal sama Ay.. Eh Wira?" Hampir saja Hamidah keceplosan. Dia tidak bohong karena Wira juga bagian dari nama panjang Aydin. Bahkan dulu teman-teman SMA selalu memanggil Aydin dengan Wira. Lalu diplesetkan Wira Sableng. Candaan khas anak-anak SMA.
"Terimakasih tante, saya kenal sama bang Wira, kapan ya bang?" Mahira malah melemparkan pertanyaan pada Wira sambil mengingat-ingat kapan pertama ia bertemu Wira.
"Waktu ban motormu kempes."
"Oh iya tante, beberapa minggu yang lalu. Waktu kami sama-sama ke rumah singgah. Terus beberapa kali ketemu bang Wira di masjid juga. Dan saya sekarang dapat pekerjaan juga karena Bang Wira, Tante. Dia yang bantu saya mencari pekerjaan." Mahira tersenyum manis pada Hamidah. Wanita itupun melirik putranya. Rupanya Aydin sudah berjuang sejauh itu.
'Hebat kamu nak, pinter juga dapetin hatinya Mahira.' klik kirim.
Aydin hanya tersenyum membaca pesan dari uminya.
'Gimana Umi? pantas kan diperjuangkan?' klik kirim.
"Memangnya Nak Mahira ini sudah kerja? Wira yang nyariin?"
"InsyaAllah baru mulai ngajar hari senin besok tante, ini rekomendasi dari bang Wira."
"Oh guru? sama seperti..." Hamidah baru saja akan menyebut nama Rahma. Anak sulungnya.
"Umi.. boleh minta minum?" Aydin sengaja menyela ucapan Hamidah karena Aydin tahu, Uminya akan menyebut nama kakaknya.
"Oh ya sebentar nak." Hamidah mengambil gelas yang berisi air putih dan ia serahkan pada Aydin.
"Iyaa tante saya dapat kesempatan mengajar di SD AL ILMU. Bang Wira yang memberi tahu. Saya terus nyoba, eh Alhamdulillah keterima."
"Al Ilmu?" Hamidah melirik Aydin yang juga meliriknya. 'Oh... pantesan minta minum.' Hamidah paham maksud anaknya.
"Iya tante. Memang kenapa?"
"Tidak apa-apa Nak. Semoga pekerjaanmu selalu diberi kelancaran ya." Hamidah takut salah bicara. Dia tidak mau bicara panjang lebar. Takut lidahnya terpeleset lagi.
"Aamiin..makasih tante." Mahira melihat Hamidah dan Aydin bergantian. Dia melupakan sesuatu. Siapa Wira? sepertinya melihat penampilan Ibunya, Mahira bisa menduga kalau Wira ini berasal dari keluarga yang taat agama. Pantas saja Wira bisa membaca Al-Qur'an semerdu itu. Tapi dia juga heran di sisi lain Wira lebih terlihat seperti preman karena bergaul juga dengan para preman. Lalu apa pekerjaan Wira yang sebenarnya? Mahira pusing dibuatnya. Laki-laki ini penuh teka teki.
"Nak Hira rumahnya dimana? sudah menikah?" Aydin menoleh pada Uminya. Bisa-bisanya Uminya bertanya seperti itu.
"Rumah saya di daerah Kembang, Tante. Saya belum menikah. Baru saja lulus kuliah. Ijazah saja belum keluar. Mau kerja yang bener dulu tante, nyenengin orangtua."
"MasyaAllah Nak Mahira ini sudah cantik, berbakti sama orangtua. Cocok sekali."
"Cocok buat apa tante?"
"Cocok buat anak tante yang masih bujang. Hehehe." Hamidah dan Mahira tertawa bersamaan.
"Umi apa-apaan sih." Aydin hanya diam. Uminya sudah kebanyakan bicara. Bagaimana kalau Mahira tidak nyaman dengan ucapan Uminya.
"Maaf Mahira, Tante hanya bercanda. Jangan diambil hati ya." Hamidah merangkul Mahira. Membuat gadis itu tersipu malu
"Tidak apa-apa Tante. Saya juga suka bercanda koq."
"Tapi kalau Nak Mahira ini beneran mau sama anak saya, Saya akan bersyukur sekali. Ay.. emm Wira ini umurnya sudah mau dua puluh enam tahun. Tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan pasangan. Tante kadang sedih melihat anak tante ini belum juga mau menikah. Padahal Tante ini sudah ingin sekali gendong cucu dari Wira. Katanya sih menunggu seseorang." Hamidah ingin sedikit terbuka pada Mahira. Barangkali bisa membantu Aydin mendapatkan simpatinya Mahira.
"Abang ini gimana? kenapa tidak juga cari istri? kasihan kan Uminya abang. Udah pengen gendong cucu tuh. Memang nungguin siapa sih? Udah buruan dihalalin aja." Mahira malah memarahi Aydin. Lelaki itu hanya menggaruk kepalanya.
'Ga peka amat.' batin Wira.
"Iya Nak Mahira. Tolong nasehatin Wira ya. Suruh cepet halalin aja itu yang dia tunggu. Dia itu laki-laki yang baik, sholeh, dan yang pasti dia tidak mau berpoligami, Nak." Ucapan Hamidah seperti menyentil telinga Mahira. Selama ini dia selalu berfikir kalau laki-laki alim akan berpoligami seperti Abinya. Tapi kenapa tidak dengan Wira?
"Apa yang menyebabkan Bang Wira tidak mau poligami? Padahal laki-laki seperti abang banyak yang suka. Kemarin waktu shalat di masjid saja sampai ada yang minta foto bareng sama abang."
Wira sebenarnya ingin menjelaskan hal ini dari sudut pandang agama. Tapi rasa-rasanya Mahira belum bisa menerima. Bisa-bisa dia menjauh.
"Simpel saja koq, Ra. Kalau satu istri saja sudah cukup buat apa nyari yang lain. Abiku juga tidak poligami koq. Mereka bahagia. Aku berkaca dari keharmonisan mereka. Tanya saja sama Umiku."
"Oh begitu ya?" Mahira tiba-tiba membandingkan hidup Wira yang lebih beruntung darinya. Dia menunduk dan mengingat apa yang terjadi di keluarganya. Sehingga menyebabkan dia masih memilah milah calon suami sampai sekarang.
"Kenapa Nak Hira? koq tiba-tiba murung? InsyaAllah perempuan yang akan menjadi istri Wira nanti, pasti merasa beruntung. Umi yang melahirkan dan membesarkan dia. Jadi Umi tahu bagaimana sifat Wira. Dia sangat takut menyakiti perasaan Umi. Setiap kali dia melakukan kesalahan, dia langsung minta maaf sama umi."
"Umi, Wira jangan dipuji terus di depan Mahira. Dia sepertinya tidak suka mendengarnya. Dari tadi nunduk terus." Aydin menyindir gadis itu.
"Enggak koq bang. Semua orangtua pasti bangga sama anaknya. Kalau anaknya baik sih."
"Bagaimana Nak Hira? mau tidak sama anak tante?" Hamidah mengusap tangan Mahira lembut. Dia tidak putus asa membujuk Mahira.
"Eh koq jadi ngomongin Hira tante?"
"Bercanda. Sapa tahu Nak Mahira beneran mau. Anggap saja Ini bentuk ikhtiar seorang ibu yang ingin mencarikan jodoh untuk anaknya." Hamidah dan Mahira kembali tersenyum. Entah apa yang dia rasakan sekarang.
"Tidak apa-apa Tante. Saya maklum koq." Wira laki-laki sholih yang tidak mau poligami. Mahira mengegelengkan kepalanya. 'Kenapa jadi mikirin bang Wira sih.'
*******