Seakan tidak percaya jika kakak yang sangat menyayangi ku kini sangat membenci diri yang hina ini. Bahkan tanpa beban sedikit pun bibirnya mengusir ku sambil membentak. Tatapannya dipenuhi amarah, aku hanya diam terpaku mengalami kenyataan yang pahit ini. Bibir ku seakan terkunci rapat-rapat, tidak dapat mengucapkan sepatah kata apapun. Apa yang kulakukan sekarang disini? Mengapa aku hanya berdiri mematung?. Sedangkan diri ku sudah tidak dibutuhkan kan, kini tidak ada lagi yang mengharapkan keberadaan ku.
Aku berlari sekencang mungkin meninggalkan Mbak Nabila, setelah mendengar ucapannya. Tidak mungkin aku menaiki lift, makanya aku turun dengan tangga sambil berlari. Entah kenapa air mataku tidak menetes mendengar ucapan Mbak Nabila. Hanya saja hatiku serasa remuk berkeping-keping. Saat di lantai 2, aku berhenti berlari dan bersandar pada dinding. Menghembuskan nafas dalam-dalam untuk merilekskan pikiran ku. Memejamkan mata sejenak sambil memikirkan apa yang akan kulakukan sekarang.
Tiba-tiba dari lantai bawah terdengar suara langkah kaki, spontan aku membuka mata. Bayangannya semakin jelas dan nampak bayangan postur tubuh seorang pria. Entah kenapa aku berharap yang datang itu Risfan. Rasanya aku ingin meminta maaf padanya, tapi apakah dia akan memaafkan ku?. Kenyataan berbeda yang ku harapkan tidak terjadi, bukan Risfan yang muncul melainkan pria lain. Walaupun dia bukan seorang yang ku harapkan kehadirannya namun setidaknya perasaan ini lega ketika melihatnya.
"Eh Jisrah, lu kok disini? Nggak naik apa?" ucap Danil.
"Udah kok tadi, sekarang gue pengen pergi"
"Pergi kemana? Lu jangan ngaco deh, dari pada lu ngawur mendingan temenin gue ke kamar ibu lu"
"Lu kan udah gede, ngapain gue harus temenin? Udah lu naik ajah sendiri, lagian udah dekat kok cuman tinggal naik beberapa anak tangga lagi lu bakal sampai"
"Pelit amat jadi teman, Jis lu baik-baik ajah kan?"
"Mm iya gue baik-baik ajah kok, udah lu buruan naik sebelum waktu jenguknya habis. Gue juga mau pulang nih"
"Bentar, gue mau pastikan kalau lu tuh baik-baik ajah. Jis, asal lu tau kita kan udah lama temenan. Terus kok lu malah nyembunyikan hal seperti ini dari gue. Gue tuh nggak mau kalau lu kek gini, Jisrah yang gue kenal itu nggak seperti ini. Lu tuh orangnya polos, ceria, baik, tapi sekarang lu berubah 360°"
"Danil, sebelumnya gue makasih banget udah peduli sama gue. Setidaknya gue masih punya teman kayak lu. Maaf banget kalau sikap gue berubah dan udah buat lu kecewa. Tapi, gue nggak apa-apa kok kalau lu pengen jauhin gue. Gue akan siap nanggung semuanya"
"Gue nggak akan bisa jauh dari lu Jis dan gimana pun yang terjadi sama lu, gue akan tetap ada di samping lu buat support"
"Maksud lu apaan coba?"
"Udah jelas lah, gue ini udah anggap lu kek adik. Dan sebagai kakak, gue bakal jaga lu sampai kapanpun itu"
"Yaelah, gue lebih tua kali dari lu jadi, nggak usah ngaku kalau situ jadi kakak" sambil tertawa.
"Nahh, gitu dong. Jangan murung terus, udah lu balik ajah ke rumah terus istirahat"
"Ok siap kapten"
Aku pun melangkah untuk turun ke lantai pertama dan Danil pun juga naik ke lantai berikutnya. Namun, aku memanggilnya "Danil, makasih yah." Danil hanya mengangguk sambil tersenyum dan kami pun pergi ke tujuan masing-masing. Rasanya hatiku sangat lega karena dari semua kejadian ini masih ada orang yang peduli pada ku. Walaupun kini keluarga dan beberapa sahabat ku sangat benci pada ku, namun setidaknya ada Danil dan Maharani yang paham akan keadaanku.
Saat berada di parkiran RS, aku beristirahat sejenak. Terik matahari sudah agar redah sehingga aku tidak perlu berteduh di bawah pohon. Tenggorokan ku kering akibat telah berlari, aku pun berjalan untuk keluar dari RS dan mencari warung di sekitarnya. Baru beberapa langkah, tiba-tiba aku mendengar suara motor yang tidak asing bagiku. Akibat penasaran aku pun membalikkan badan untuk memastikannya. Dan benar saja aku mengenal motor itu, aku lupa jika banyak yang memiliki motor seperti itu. Aku pun berbalik kemarin dan meneruskan langkah ku.
Akhirnya setelah berjalan sekitar 100 m, aku menemukan sebuah warung kecil yang menjual beraneka ragam jajanan. Aku membeli sebotol minuman dan langsung ku teguk. Penjual di warung itu tiba-tiba saja berbicara dengan ku "Misi Neng, dia siapa atuh?." Aku heran mendengarnya "Maaf, tapi maksudnya apa yah?." Penjual pun menggeleng kepala sambil menunjuk ke ujung jalan "Itu lohh disana, dari tadi berteriak terus liatin Neng sambil manggil nama seseorang. Mungkin kenalan Neng kali?." Mencari siapa yang dimaksud penjual tersebut, ternyata benar katanya dia orang yang ku kenal. Setelah aku melihat orang tersebut, aku pun menaruh uang dan berterima kasih kepada penjual.
Kali ini aku tidak ingin menatapnya, makanya aku menghindarinya namun tetap saja dia mengikuti ku dari belakang sambil berteriak memanggil nama ku. Karena aku mulai kesal aku pun berlari meninggalkannya. Aku melihat sebuah gang kecil, sehingga aku berbelok dan masuk ke gang tersebut. Saat berbalik untuk melihatnya apakah dia masih mengejar ku, untung saja dia sudah tidak ada karena kehilangan jejak ku. Aku pun lega dan berjalan santai, namun baru beberapa langkah tiba-tiba ada yang memukul pundak ku dari belakang spontan saja aku berbalik dan menepis tangan tersebut.
"Auuu, sakit tau"
"Sorry gue kirain siapa, lu sih yang tiba-tiba mukul pundak gue. Yah auto gue kaget lah"
"Hehehe sorry, terus lu ngapain coba lari kayak dikejar setan gitu?"
"Soalnya tadi Kak Aska ngejar gue dari tadi dan gue nggak pengen ajah ketemu sama dia sekarang"
"Loh ngapain dia ngejar lu? Lu nggak copet dia kan?" sambil tertawa.
"Apaan sih Sal malah ngelawak, yang jelas gue nggak tau kenapa dia ngejar gue sampai segitunya. Terus lu kok bisa ada disini?"
"Ira tadi nelfon gue, ngabarin kalau ibu lu masuk RS"
"Ohh gitu, lu sendiri ajah kesini Sal nggak sama Armi?"
Belum menjawab pertanyaan ku tiba-tiba ada seseorang menarik lengan ku "Ikut aku sekarang." Aku pun berusaha melapaskan genggamannya "Lepasin nggak! Gue nggak mau ikut Kak Aska." Aku pun di bawanya pergi dan meninggalkan Salsa sendirian.
**************
"Halo, Danil lu sekarang ada dimana? Lu udah sampai apa belum?"
"Gue udah sampai kok dari tadi, lu kapan kesini Ira?"
"Kayaknya bentar malam, sekalian nunggu Abang gue pulang dari kantornya. Jisrah ada disitu nggak?"
"Dia nggak ada disini, tapi gue ketemu kok tadi"
"Ohh, jadi dia masih punya nekat ketemu keluarganya setelah semua ini terjadi"
"Lu ngomong apaan sih? Kenapa lu selalu nyalahin Jisrah?"
"Gue yang harusnya bertanya sama lu, kenapa lu selalu ngebela Jisrah? Padahal udah jelas kalau dia yang salah"
"Cukup Ira! Gue nggak mau dengar lu terus nyalahin Jisrah, kalau lu masih anggap gue sahabat, gue mohon jangan ngehakimi Jisrah seperti itu lagi"
Kesal dengan ucapan Danil, Ira mematikan ponselnya lalu membantingnya ke tempat tidur. Dia heran mengapa tidak ada yang menyalahkan Jisrah, sedangkan menurutnya biang dari semua kejadian ini adalah Jisrah. Entah cemburu atau apa ia selalu beranggapan jika Jisrah tidak pantas dengan Kak Aska. Sejak pertama melihat Kak Aska ia sudah tertarik dengannya, tapi malah sahabatnya sendiri yang mendapatkan hati pria itu. Bingung akan perasaannya yang bercampur aduk antara marah, benci, jengkel, gundah dan cemburu. Dia tidak ingin juga membela Kak Aska karena dia juga terlibat dalam kejadian ini, namun dia juga tidak ingin menyalahkan sepenuhnya kepada Jisrah karena ini adalah takdir.
Kalau saja aku yang mendapatkan hati Kak Aska maka semuanya akan baik-baik saja, gumam dalam hatinya. Dia terus berpikir mengapa Jisrah dapat menaklukkan hati Kak Aska? Mengapa Jisrah tega melakukan ini, sedangkan dia sudah memberitahukan kepada Jisrah sebelumnya jika dia jatuh hati kepada Kak Aska?. Tapi, dia merasa egois jika menginginkan pria yang dimana sahabatnya juga menyukainya. Yang dia harapkan sekarang agar semuanya segera membaik dan tidak ada lagi kesalahpahaman antara dia dengan sahabatnya. Ira berpikir kenapa tidak jika dia menelepon Jisrah untuk memastikan keadaannya walaupun dia kesal padanya, namun tetap saja Jisrah adalah sahabatnya. Beberapa kali menelpon Jisrah namun tidak diangkat, ia terus berusaha hingga Jisrah mengangkat telponnya. Setalah hampir 10x, akhirnya Jisrah mengangkatnya.
"Halo Jis, lu lagi dimana"
"Kak Aska, mau bawa gue kemana? Aku mohon turungin aku sekarang!"
"Halo Jis, lu lagi ngapain? Dengar gue nggak?"
"Kak udah berhenti jalan, turungin aku di depan sana"
"Woy Jis, lu kenapa? Ada apa disana?"
Belum sempat terjawab oleh Jisrah, panggilan dimatikan olehnya. Ira semakin kesal dengan semua ini, dia yang tadinya mengkhawatirkan keadaan Jisrah malah semakin membenci Jisrah. Dia tidak menyangka akan mendengar obrolan Jisrah dengan pujaan hatinya melalu ponsel. Sangat geram akan sifat sahabatnya yang berubah, rasanya dia ingin menampar Jisrah jika saja dia bertemu dengannya.
**************
Aku turun dari motor Kak Aska saat sampai di parkiran RS. Setelah dia membuka dan menaruh helmnya, aku langsung menamparnya "Apa-apaan ini? Kak seenaknya bawa aku lari gitu ajah dan ninggalin teman aku disana sendirian." Kak Aska memegang rahangnya yang tampak memerah "Aku pengen ngajak kamu Jisrah buat jelasin semuanya ke kakak kamu. Soalnya gue yang udah buat semua ini terjadi dan sebagai laki-laki gue pengen tanggung jawab." Aku hanya berbalik mengacuhkannya "Terserah."
Kami menuju kamar dimana ibu dirawat, aku berjalan duluan dan dia mengikuti ku dari belakang. Saat menuju lift, Kak Aska menarik lengan ku sehingga aku berhenti melangkah.
"Ada apa lagi sih? Kok aku ditahan kek gitu?"
"Shuttt diam, jangan ribut!" sambil menarik ku keluar.
"Emang ada apa sih? Nggak usah buang-buang waktu, kita naik ajah"
"Aduh, kamu nggak liat apa disana?"
"Apaan sihh? Liatin apa coba?"
"Itu disana, kamu lupa kalau dia itu kakak nya Risfan? Yang ngelaporin kita ke guru BP" sambil menunjuk wanita yang berdiri di depan lift.
"Astaga, untung ajah Kak liat dia. Kira-kira dia ngapain disini yah?"
"Mungkin Risfan dirawat disini juga, kalau gitu kita tunggu ajah sampai dia pergi"
"Kok malah nunggin dia pergi? Kita langsung ajah ke dia sekalian buat jengukin Risfan"
"Ckckck, kamu mau dimarahin lagi apa? Sebelum kita jenguk Risfan, sebaiknya terlebih dahulu kita minta maaf sama kakak kamu, terus itu kita semua barengan jenguk Risfan"
Aku hanya mengangguk dan menyetujui rencana Kak Aska. Akhirnya kakak Risfan masuk ke dalam lift. Kamimi pun masuk kembali dan memilih untuk menggunakan tangga saja. Kami hanya diam dan tak ada sepatah kata pun terucap hanya keheningan diantara kami. Hanya beberapa orang saja yang berlalu lalang memakai tangga sebab kebanyakan orang memilih menggunakan lift. Setelah berjalan dari lantai pertama, kami pun tiba ke lantai 4. Aku sangat tegang melangkahkan kakiku menuju kamar ibu. Dengan yakin aku mengetuk pintu kamar tersebut.
"Tok tok tok, Assalamualaikum Mbak"
"Wa'alaikumsalam, tunggu" sahut dari dalam kamar.
Ternyata yang membukanya adalah Mas Saya. Aku tersenyum kepadanya setelah pintu kamar terbuka. Dari dalam terdengar Mbak Nabila "Mas, siapa yang datang?." Mas Syafar dari tadi menatap tajam Kak Aska menghiraukan ucapan Mbak Nabila. Aku langsung menyahut dari luar "Ini aku Mbak, Jisrah." Seketika Mbak Nabila juga menghampiri kami dan membentuk "Ohh sudah berani kamu bawa cowok kurang ajar ini. Udah nggak tau malu kamu Jisrah, seenaknya kamu berduaan diluar sana dengan cowok sedangkan ibu sakit." Setelah Mbak Nabila mengatakan tersebut, Mas Syafar menarik kerah baju Kak Aska dan mendorongnya sehingga dia terhempas ke tembok. Aku terkejut melihat reaksi mereka dan menghampiri Kak Aska "Astagfirullah, kepala Kak berdarah."
"Lu jangan pernah muncul dihadapan aku lagi. Dan kamu Jisrah, kalau masih pengen ketemu dengan ibu hentikan hubungan kalian!" bentak Mas Syafar.