"Ya Allah, ibu kenapa Mbak?"sambil terisak.
"Shuut, jangan berisik ibu lagi tidur! Sekarang kamu lihat kan? Akibat perbuatan mu ibu jadi seperti ini" ucap Mbak Nabila.
"Maafkan aku Mbak, kata dokter ibu kenapa?"
"Ibu kena stroke akibat emosinya tidak terkendali. Kalau saja saat itu kamu nggak menghilang, ini nggak bakal terjadi Jisrah!"
Aku tersungkur di kaki Mbak Nabila sambil meminta maaf. Namun, Mbak Nabila tidak memperdulikan ku. Hatinya sudah sekeras batu, ia sangat benci dan marah padaku. Armi dan Salsa membangunkan ku untuk berdiri.
"Jis, udah jangan nangis lagi!" ucap Salsa sambil memeluk ku.
"Maaf Mbak, aku teman sekolah Jisrah. Tapi, menurut ku Mbak nggak seharusnya menghakimi Jisrah seperti ini. Mbak belum tau yang sebenarnya terjadi" ucap Armi.
"Ckckck, aku nggak peduli dengan kebenaran apapun yang kalian maksud. Intinya ini terjadi akibat Jisrah!"
"Tapi nggak ada yang pengen ini terjadi Mbak, bahkan Jisrah. Jadi, aku mohon Mbak biarkan Jisrah jelasin semuanya"
"Terserah kamu mau bilang apa, aku udah capek dengarnya. Sekarang daripada ribut terus kayak gini mending kalian duduk disana" sambil menunjuk sofa.
Kami pun duduk disana dan Mbak Nabila menyuguhkan Teh Kotak serta makanan ringan. Armi dan Salsa berusaha menenangkan ku agar berhenti menangis. Bagaimana bisa aku hentikan semua tangisan itu jika melihat ibu yang sakit akibat diri ini?. Setelah mengirim pesan kepada Kak Aska untuk menyuruhnya pulang, aku berdiri dari sofa dan menuju balkon. Balkon yang menghadap pantai, membuat ku menatap pemandangan lautan yang indah dan luas. Ombak yang tenang disertai burung yang terbang bebas diatasnya. Aku jadi iri pada makhluk Tuhan itu, mereka dapat terbang bebas kemana pun yang dinginkan seperti tak ada beban dalam kehidupan segerombolan burung tersebut. Apakah aku dapat terbang seperti mereka? Hanya dengan melompat dari balkon ini? Ku pejamkan mataku seketika dan menghirup nafas dalam-dalam. Kaki kanan ku telah naik di batas balkon. Ya Allah maafkan hambaMu ini, dalam benak ku.
"Tok tok tok, permisi" suara dari luar kamar.
Aku tersadar dan terhentikan oleh suara itu, spontan aku mundur dan berbalik melihat siapa gerangan tersebut. Seorang berjas putih dengan stetoskop yang melingkar di lehernya membuat wanita dengan rambut hitamnya yang ia ikat kuda tersebut terlihat cantik dan elegan. Dia seorang dokter muda menghampiri ibuku dengan langkahnya yang sangat anggun. Aku sangat senang ketika melihat seorang dokter sehingga membuat ku membayangkan jika itu adalah diriku nanti di masa depan. Namun apakah impian itu dapat ku raih atau hanya menjadi angan-angan belaka saja?.
Mbak Nabila membangunkan ibu karena akan diperiksa oleh dokter tersebut. Aku melihat dokter itu menyenter mata ibu dan menyuruh ibu untuk berbicara. Namun, ibu terlihat sangat sulit untuk melakukannya. Aku menghampiri dokter tersebut lalu bertanya padanya.
"Permisi dokter, ibu aku bisa sembuhkan? Tolong bagaimanapun itu aku mohon lakukan agar ibu bisa seperti dulu lagi"
"Saya tidak bisa menjamin jika ibu anda akan sembuh, tapi karena sekarang teknologi telah mengalami kemajuan, ibu anda akan melakukan terapi yang memungkinkan dapat menyembuhkan beliau"
"Alhamdulillah, tapi sampai kapan ibu aku melakukan terapi dok?"
"Kalau tentang waktu kami tidak tahu sampai kapan berlangsungnya terapi tersebut hanya bergantung pada tingkat stroke pasien, terapi akan berlangsung sampai keadaan pasien membaik"
"Makasih dokter, tolong lakukan yang terbaik untuk ibu aku"
"Iya, itu tugas kami sebagai dokter. Saya sarankan kalian sering untuk mengajak beliau berkomunikasi. Kalau begitu saya permisi"
Setelah dokter keluar kamar, aku memang tangan ibu dan salim kepadanya "Ibu, maafin Jisrah. Gara-gara aku, ibu sekarang begini. Jisrah udah banyak dosa ke ibu, tolong maafin aku." Ibu hanya dapat menatap ku karena badannya tidak dapat digerakkan. Mbak Nabila hanya diam menatap ku dan tertampak jelas matanya berkaca-kaca menahan tangis.
**************
Ira yang sedang bersantai menonton tv sambil memakan kripik. Dia terlihat sangat asyik menyaksikan sinteron remaja favoritnya. Sesekali ia mengecek hpnya dan terlihat gelisah, entah apa yang Ira khawatirkan. Sekarang pukul 19.30, sebentar lagi Kakak Ira pulang dari kerja. Kakak Ira sangat sibuk karena harus bekerja dari pagi hingga malam untuk membantu ekonomi keluarganya. Umurnya hanya selisih 2 tahun dengan Kakak Jisrah yang kedua dan mereka juga saling akrab. Keluarga Jisrah dan Ira memang sangat dekat karena dulunya ayah mereka merupakan mitra bisnis di Perusahaan masing-masing. Hingga mereka berkeluarga hubungan tetap terjalin hingga sekarang.
Bundanya memasak di dapur untuk dibawa saat menjenguk ibu Jisrah. Beberapa kali Ira dipanggil oleh bundanya namun ia tidak mendengarnya. Sampai ketika bundanya memukul panci hingga terdengar sangat bising.
"Bun, kenapa sih? Kok berisik amat?"
"Kamu kalau dipanggil nyahut dong! Bunda udah manggil dari tadi tapi diem ajah, makanya mukul panci supaya kamu dengar"
"Astaga bunda, nggak harus sampai mukulin panci kek gitu. Kan ribut apalagi nanti di dengar tetangga, sangkanya nanti kenapa-kenapa lagi"
"Yaudah, nggak usah ngecoteh disitu. Sini bantu bunda buat masak!"
"Yaelah Bun, kok masaknya banyak banget. Lagian kita kan cuman 3 orang di rumah, ayah lagi ngedinas terus Abang pasti udah makan di luar"
"Siapa juga yang mau masak banyak banget kalau cuman disia-siain. Ini tuh bunda mau bawa ke RS"
"Bunda masak buat keluarga Jisrah?"
"Nah kamu tau, sekarang bantu bunda masak keburu Abang kamu datang"
"Iya deh Bun"
Bunda Ira mahir memasak, masakanya sangat khas dengan makanan Nusantara yang menggunakan rempah-rempah. Ira tidak terlalu pandai memasak karena ia lebih sibuk dengan sosial media. Dia seorang selebgram dengan followers hampir mencapai sejuta. Foto-fotonya bagai model dengan wajah cantiknya beserta postur tubuh yang langsing membuat banyak yang tertarik untuk menfollow akunnya. Banyak pria yang tertarik padanya namun kini ia tidak seberuntung biasanya. Dulu ia sangat mudah memikat hati pria, tapi sekarang pujaan hatinya malah tidak pernah melirik sekalipun kepadanya.
Setelah memasak Ira kembali nonton dan ibunya memasukkan makanan ke dalam rantang. Terdengar dari luar suara motor yang sedang memarikir. Diketuknya pintu rumah "Assalamualaikum, Ira buka pintunya." Ira beranjak menuju pintu sambil cemberut karena terganggu yang sedang asyik nonton "Wa'alaikumsalam, sabar Bang." Kakak Ira berjalan masuk ke rumah dan langsung naik ke kamar. Dia telah mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke RS.
"Ira, lu kok masih nonton sih? Kita udah mau pergi nih!"
"Bentar, nanggung nih dikit lagi udah hampir selesai filmnya"
"Eh bocah lu nggak usah nonton kek gitu deh. Unfaedah banget, cepetan ganti baju sana"
"Ihh lu sewot banget, lu itu nggak gaul sih"
"Aduh, kok malah berantem sih? Ira nggak boleh kasar sama Abang kamu, udah ganti baju sana nanti kemalaman lagi!"
"Iya deh Bun, tunggu aku ganti baju dulu"
"Cepetan sana" seru Abang.
Mereka pun pergi ke RS, Bunda dan Abang Ira naik motor bersama dan Ira sendiri mengendarai motor. Tak lama kemudian mereka pun tiba di RS, saat mereka menuju pintu masuk tiba-tiba dari dalam berjalan 2 orang wanita. Dia adalah Maharani dan seorang wanita paruh baya disampingnya. Ira agak canggung menyapanya karena tadi saat di sekolah mereka bertengkar. Namun, dengan berani ia menyapa Maharani duluan.
"Hai Maharani"
"Eh Ira, lu baru datang?"
"Iya nih gue telat, lu udah jenguk ibu Jisrah belum?"
"Udah nih, kami barusan ajah dari atas sekarang gue mau pulang"
"Yaudah kalau gitu hati-hati di jalan, gue keatas dulu yah. Bye"
*************
Sekarang hanya ada kami berempat dalam kamar, sejak tadi Salsa dan Armi telah pulang ke rumah mereka. Mbak Nabila duduk di samping tempat tidur ibu sambil memegang tangannya. Menurut ku ini waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepada mereka. Lalu akupun mengambil kursi dan duduk di samping Mbak Nabila. Selalu saja seperti ini, disaat tekad ku sudah bulat dan aku mulai berani melakukan yang ku rencana kan. Nyaliku yang membara malah mengeciut, rasanya bibirku kaku setelah berada di dekat Mbak Nabila. Aku malah bingung akan mulai menjelaskan dari mana. Itu saja jika Mbak Nabila ingin mendengarkan ku. Ini hanya membuat ku dilema, bimbang apa yang akan kulakukan sekarang. Dengan mengucap basamalah akupun berbicara.
"Mbak, sebelumnya aku minta maaf. Aku mau jelasin ke Mbak, Mas, dan Ibu"
"Mm, mau jelasin apa" sahut Mbak Nabila.
"Sebenarnya ini bermula saat aku makan di kantin bareng teman. Disana terjadi salah paham Mbak, antara aku dengan teman sekelas ku"
"Terus hubungannya itu cowok kurang ajar sama masalah kamu apa?"
"Dia malah ngehajar teman aku, karena dia pikir udah buat malu aku di kantin. Terus besoknya kakak dari teman aku yang dihajar datang buat ngelapor ke guru BP, jadi aku dan Kak Aska diberi hukuman skorsing"
"Oh gitu, jadi ini cuman masalah sepele tapi itu Aska malah ngebesar-besarin masalahnya. Sudah Mbak duga dia itu biang dari semua ini"
"Aku mohon Mbak maafin aku dan juga Mbak jangan nyalahin Kak Aska, karena sebenarnya ini salah aku"
"Yaudah Mbak maafin tapi kamu harus janji jangan berhubungan lagi dengan Aska"
Mendengar persyaratan Mbak Nabila membuat aku pasrah. Dengan berat hati aku menyetujuinya, walaupun mungkin ini sangat berat ku jalani tapi aku akan berusaha menerima kenyataan. Kini aku dan Kak Aska telah terpisahkan oleh jarak yang dibuat oleh Mbak Nabila. Namun, sekarang aku sangat bersyukur karena Mbak Nabila telah memaafkan ku.
Terdengar suara ketukan pintu, Mas Syafar kemudian membukanya. Ternyata Ira, Bang Ibnu, dan Ibu mereka datang, aku sangat senang melihat mereka. Mbak Nabila beranjak dari kursi dan mempersilahkan mereka masuk. Aku mengambil cemilan yang telah dibeli Mas Syafar di kantin RS. Ibu hanya dapat mentap kami dengan keadaan yang belum dapat bergerak. Mereka berngobrol panjang lebar selain aku dan Ira, kami menuju balkon. Pemandangan yang sangat indah dengan suara desir ombak yang tenang dan angin-angin sepoi-sepoi, walaupun kini lautan biru sudah tidak nampak jelas namun akibat sinar rembulan yang memancar masih terlihat air laut yang terhempas dibatas pantai. Langit hitam terhisai kelap-kelip cahaya bintang yang menjadi saksi bisu kehidupan setiap insan yang berjalan dibawahnya. Keheningan menghias diantar kami, tak ada yang memulai pembicaraan sejak kami di balkon yang menikmati melihat ciptaanNYA. Ira menghela nafas lalu menatapku "Jis, gue minta maaf sama lu. Selama ini gue selalu nyalahin lu, tapi gue serius bukan nuduh lu betulan. Gue cuman pengen mastikan kalau teman-teman yang lain nggak mikir kalau lu yang salah." Akupun langsung tersenyum pada Ira dan memegang tangannya "Makasih Ira, gue percaya kok sama lu." Ia memastikan ku lagi "Gue selama ini takut kalau rencana gue gagal. Nanti mereka ke makan betulan sama ucapan gue. Untung saja mereka tetap percaya sama lu Jis. Tapi, lu tau nggak Danil sampai gambek, dia kira gue serius nyalahin lu." Aku pun tertawa "Haha, Danil emang orangnya nggak pernah berubah selalu ajah mudah dibohongin sama lu Ira. Kayak nggak kenal lu ajah." Kami pun tertawa, bahagia rasanya karena semuanya kembali seperti semula. Aku dan Ira berpelukan serta mengucapkan janji persahabatan kami.