Sekarang tepat pukul 10.45, sisa 1 jam lebih waktu istirahat tiba. Terdapat 6 kelompok dalam kelas telah terbagi dengan masing-masing anggota berjumlah 6. Disela waktu tersebut sebelum istirahat, waktunya mata pelajaran Bahasa Inggris diisi oleh Mrs. Syaidah di kelas 10 MIA 2. Sebagai murid baru tentu saja mereka belum terlalu mengenal banyak guru apalagi dengan karakter guru masing-masing. Namun, berbeda dengan Mrs. Syaidah hampir seluruh siswa baru telah mengetahui keberadaannya sebagai guru. Walaupun namanya telah populer dikalangan para siswa baru, tetapi hanya beberapa diantara mereka yang mengenal wajahnya dan selebihnya mereka hanya mengetahui rumor-rumor beliau. Murid di kelas 10 MIA 2 sangat gugup menunggu kehadiran guru tersebut. Dia dikenal oleh siswa dengan julukan guru killer, bukan sebab ia dijuluki seperti itu karena memiliki kasus kriminal. Akan tetapi, karena sikapnya yang dingin dan jarang berbicara membuat siapapun enggan berinteraksi dengannya. Ini adalah tahun keduanya sebagai honorer, sikapnya yang dingin bagai kan es membuatnya tidak mudah bergaul. Bukan karena angkuh atau apapun itu, dia hanya orang yang memiliki tingkat malu sangat tinggi. Sehingga dia sangat susah berinteraksi dengan siapapun bahkan jika dia memberanikan diri untuk mengajak siswanya bercanda itu terdengar sangat garing.
"Aduh Ira, lu kok santai amat sih?" ucap Maharani.
"Loh emang gue harus ngapain? Gue juga harus niru loh, sampai gemetaran kek gitu?" dengan meledek.
"Idih, songong amat nih bocah. Lu udah tau kan sekarang guru siapa yang bakal masuk di kelas kita?"
"Iya, gue tau kok, Mrs. Syaidah yang katanya guru killer itu"
"Sumpah! Nih bocah PD nya tingkat dewa. Awas ajah lu bentar kalau Mrs udah masuk, terus lu gemetaran. Gue jitak kepala lu!"
"Siapa takut! Gue nggak seperti lu kok, guru cuman pengen masuk ke kelas ajah sampai gemetaran. Dia nggak bakal makan lu kok, jadi nggak usah nervous kek gitu"
"Shutt! Udah diam! Kalian bisa berhenti nggak berantem? Bentar lagi Mrs bakal datang loh" ucap Sultan sambil menegur.
"Iya nih kalian diam ajah! Coba bayangin kalau tiba-tiba Mr datang, terus dia hukum kita karena ribut. Kelompok kita ini sisa 4 orang, Jisrah sama Risfan nggak ada. Kalian mau apa kalau kita dihukum?"
Tiba-tiba seorang datang dari luar yang berperawakan wajah datar tanpa ekspresi dan berjalan dengan tegap tanpa melirik ke arah mereka seolah akan melakukan ujian militer. Seketika suasana kelas menjadi hening tak ada lagi suara bisikan dari murid, tatapan mereka tertuju pada wanita tersebut. Mereka menunjukkan ekspresi tegang dan penasaran.
Apa yang akan dilakukan wanita tersebut yang sedari tadi hanya berdiri diam layaknya patung?. Beberapa murid mulai heran dan bertanya-tanya siapakah gerangan yang ada disana?. Tanpa basa basi seorang siswa yang duduk di bangku terdepan yang berhadapan dengan meja guru, berjalan menghampiri beliau lalu berbicara dengannya.
"Maaf ada yah? Mungkin anda mencari seseorang kalau bisa aku bantu"
"Assalamualaikum" ucap wy tersebut.
Hal yang tidak terduga terjadi, beliau menghiraukan siswa tersebut seakan-akan dia tidak ada dihadapannya. Wanita tersebut hanya berlalu disampingnya dan masuk ke dalam kelas begitu saja bagai angin yang berlalu, sepatah kata pun ia tidak merespon pertanyaan siswa tersebut. Spontan saja siswa itu terkejut lalu kembali ke kursinya sambil menundukkan kepala.
Mereka pun semakin penasaran dan memasang mimik wajah heran, jika saja dia guru tapi mengapa dia sangat aneh dengan sikap serta tindakannya?. Apakah dia Mrs. Syaidah yang di kenal sebagai guru killer?. Wanita tersebut duduk di kursi guru yang berhadapan dengan siswa di kelas tersebut. Selama 7 menit hanya keheningan yang terjadi, mata pria tersebut hanya menyisiri masing-masing wajah siswa. Sepertinya ada sesuatu hal yang menjanggal padanya, mendadak bibirnya yang sedari tadi diam setelah mengucapkan salam mulai bergerak.
"Assalamualaikum, baiklah perkenalkan saya Mrs. Syaidah selaku guru mata pelajaran Bahasa Inggris"
"Wa'alaikumsalam" suara terdengar samar.
"Baiklah saya tidak suka dengan basa basi, jadi saya akan menjelaskan cara penilaian saya terhadap kalian selama proses pembelajaran"
Setelah menjelaskan singkat dan padat, ia pun mengambil sebuah pena dan membuka buku absen, lalu menyebut nama siswa satu persatu.
"Ahmad Fauzi"
"Yes, Mrs" sambil mengangkat tangan.
"Akmal Sulfian"
"Yes, Mrs"
"Ervan"
"Yes, Mrs"
"Farid Arfian"
"Yes, Mrs"
"Hanifa Tri Ariani"
"Yes, Mrs"
"Jisrah Haraini"
Seketika seluruh siswa diam tak ada satupun yang angkat bicara. Mereka seharusnya memberitahu kepada Mrs. Syaidah, tapi mungkin karena ketegangan yang terjadi diantara mereka dengan guru tersebut sehingga mereka enggan berbicara.
"Bukannya ini siswi yang diskorsing itu?" ucap Mrs. Syaidah"
"Iya Mrs, dia siswi yang diskorsing selama 2 minggu"
"Baiklah kalau begitu, saya harap kejadian seperti ini tidak terulang kembali di kelas ini maupun kelas lain"
"Iya Mrs" serentak menjawab.
Setelah mengabsen, dia memberikan tugas dan sedikit penjelasan. Para siswa terlihat sibuk di kelompok mereka masing-masing. Mendiskusikan tugas bersama memanglah efektif agar lebih mudah diselesaikan. Namun, itu tidak sependapat dengan Mrs. Syaidah ia tidak menyukai kelas yang ribut akibat diskusi dalam proses pembelajaran. Sentak ia berdiri dari kursi dan menatap tajam terhadap mereka. Plak, suara pukulan meja.
"Bukannya saya sudah jelaskan tadi? Saya tidak ingin mendengar suara yang ribut dalam berdiskusi kelompok, ini kelas apa pasar?"
"Kan bisa kalau volume suaranya direndahkan, itu juga agar membantu kalian dalam mengerjakan tugas dengan konsentrasi. Dan juga agar kelompok lain tidak terganggu dengan suara kalian"
Sekali lagi kelas menjadi hening, mereka terkejut dengan reaksi Mrs, Syaidah. Wajahnya yang berkharisma dan anggun itu bertolak belakang dengan sifatnya. Bukannya siswa mengerjakan tugas dengan konsentrasi tetapi sekarang mereka dipenuhi rasa ketegangan akibat bentakan guru tersebut. Apa yang dilakukan Mrs. Syaidah memang wajar. Hal tersebut tentu saja akan dilakukan oleh guru siapapun, mereka ingin ketenangan dalam proses belajar. Namun, terkadang siswa sering memasukkan ke hati akan teguran yang dilontarkan oleh seorang guru. Mereka tidak berasumsi jika teguran itu sebenarnya hal yang baik untuk mengubah diri menjadi disiplin.
***************
Aku bersiap untuk pergi bersama Mbak Nabila mencari kamar tempat dirawatnya Risfan sembari ingin meminta maaf. Aku sangat gugup akan bertemu dengan kakak Risfan, entah apa yang akan aku katakan? Apakah dia akan menerima permintaan maaf ku? ucap dalam benak. Sebenarnya aku khawatir akan keadaan Risfan. Mengingat kejadian saat Kak Aska meninju Risfan sehingga babak belur membuat hati ini semakin sakit dan membenci Kak Aska. Walaupun kenyataannya dia hanya melindungi tapi aku tetap tidak menerima jika tindakannya seperti itu. Tidak seharusnya ia melukai Risfan hingga tersungkur tak berdaya.
Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia telah sembuh? Atau dia?. Sekarang aku mulai berpikiran macam-macam, namun ku hilangkan pikiran tersebut. Aku tidak boleh berpikir buruk tentang keadaannya sekarang. Yang harus kulakukan adalah menjenguk dan memastikan keadaan Risfan. Setidaknya dia orang yang baik, namun karena keegoisan diri ini ia menjadi korban kekerasan fisik oleh Kak Aska. Aku harap dia baik-baik saja dan menerima permintaan maaf ku.
"Jis, kamu udah siap nggak?"
"Aku nggak tau Mbak, rasanya ragu banget kalau aku kesana"
"Kok kamu ragu sih?"
"Nanti kalau disana aku cuman dimarahin lagi gimana?"
"Yah, kamu harus terima itu"
"Aduh Mbak, bukannya buat aku tenang malah makin buat khawatir"
"Mbak bercanda kok, sekarang kamu tenang ajah dan yakin kalau semuanya akan baik-baik saja. Kalau kamu memang udah berniat dengan ikhlas untuk meminta maaf, Insyaallah akan dipermudah kok"
"Yaudah deh Mbak, bismillah ajah"
"Nah gini dong adik Mbak"
"Kalau gitu kita pergi sekarang ajah sekarang!"
"Kamu yakin? Jangan sampai sebentar kamu nggak tau pengen bilang apa lagi"
"Insyaallah aku udah siap Mbak"
"Yaudah kalau gitu. Bu, Mas aku sama Jisrah pergi dulu yah"
"Iya, ingat kamu jangan kebawa emosi!" ucap Mas Syafar.
"Iya Mas kalau gitu Mas jaga ibu dulu yah, Assalamualaikum"
"Iya Wa'alaikumsalam"
Kamipun keluar dari kamar lalu menuju ke lift. Di dalam lift aku kembali tegang dan ragu akan bertemu kakak Risfan. Mengingat kejadian saat kakak Risfan menampar ku di depan umum membuat ku semakin khawatir. Namun, sepertinya Mbak Nabila menyadari sikap ku sehingga ia menggenggam tanganku. Dia menatapku dengan lembut seakan meyakinkan ku jika semuanya akan baik-baik saja. Dengan apa yang dilakukan Mbak Nabila membuatku tenang. Akupun mulai merancang apa yang akan kukatakan sebentar. Setelah tiba di lantai pertama kamipun menuju admission center.
"Permisi, aku pengen nanya kamar Risfan Adijaya yang dirawat 5 hari lalu dimana" tanya ku.
"Tunggu saya cari dulu, di kelas Rajawali nomor 9 lantai 3"
"Makasih"
Sebelum pergi ke kamar Risfan Mbak Nabila mengajak ku ke kantin RS untuk membeli buah-buahan. Setelah membeli buah kamipun naik ke lantai 3, sempat bingung mencari kelas Rajawali karena RS ini sangat luas. Akhirnya, kamipun menemukan kelas tersebut tepatnya berada di ujung koridor lantai 3. Ternyata kelas Rajawali ini memiliki kamar berstandar kelas 2 dan 3. Akupun melihat kamar bernomor 9, dengan menghelah nafas aku mengajak Mbak Nabila kesana. Dengan bismillah aku meyakinkan diri mengetuk pintu.
"Tok tok tok, Assalamualaikum" ucap ku.
"Wa'alaikumsalam" ucap Kakak Risfan.
Dia terkejut melihat ku berdiri di depan pintu sehingga matanya melotot. Tangannya mengepal saat menatapku namun, ia menyadari ada seorang wanita disamping ku dengan melontarkan senyum padanya. Mendadak ia terlihat tenang dan membalas senyum Mbak Nabila, ia pun mengajak kami masuk.
"Maaf Mbak, sepertinya kita pernah ketemu?" ucap Mbak Nabila.
"Oh iya? Dimana"
"Itu loh, waktu aku nggak sengaja nabrak kamu di koridor"
"Benar, gue baru ingat"
"Maaf yah waktu itu soalnya aku buru-buru banget"
"Iya nggak masalah kok"
Untung saja Mbak Nabila sudah mengenal kakak Risfan sehingga kami tidak canggung. Saat kami masuk aku melihat ada 2 tempat tidur. Namun hanya 1 yang terisi pasien karena tirainya terbuka sedangkan disebelahnya tertutup. Saat kakak Risfan membuka tirai, aku terkejut melihat Risfan yang terbaring dengan selang pernapasan dan di tepat disampingnya tabung oksigen. Di wajahnya masih nampak lebam berwarna merah keunguan akibat pukulan Kak Aska. Entah kenapa hatiku serasa sakit melihatnya terbaring seperti itu. Mungkin ini akibat penyesalan dan rasa bersalah ku terhadapnya. Aku mendekatinya dan menatap matanya yang terpejam. Rasa bersalah ku semakin berkecamuk bagaimana tidak jika sekarang aku sedang menatap teman ku yang sakit akibat diriku sendiri. Aku pun berbalik dan menghampiri kakak Risfan dan meminta maaf kepadanya.
"Aku benar-benar minta maaf, gara-gara aku Risfan jadi seperti ini"
"Iya Mbak, tolong maafkan adik aku. Dia sangat menyesal akan semua ini"
"Bukannya gue tidak bisa maafin dia, tapi kamu liat sendirikan adik gue gimana keadaannya sekarang?"
"Aku minta maaf kak, dia jadi korban karena keegoisan ku" sambil berlutut.
"Tapi semuanya terlambat, walaupun kamu menyesal dan minta maaf nggak ada gunanya lagi. Adik gue hampir mati akibat lu!"
"Mbak aku mohon maafkan kami, apapun aku lakukan demi Mbak memaafkan kami"
"Mbak bisa gantikan posisi adik gue sekarang? Nggak kan?" sambil terisak.
"Kak tampar aku ajah sekarang sampai kayak Risfan. Aku siap kok asalkan Mbak maafin aku"
"Lu yakin?"
"Iya kak aku siap nanggung semuanya"
Saat kakak Risfan mengangkat tangannya tiba-tiba terhenti. Ternyata Risfan telah bangun dan menghentikan kakaknya dengan menggenggam tangannya.
"Stop! Tri apa yang lu lakuin? Kok lu tega amat sih?"