"Fan lu udah sadar? Syukurlah kalau gitu"
"Tri udah deh lu nggak usah kelewatan kek gini!"
"Maksud lu apaan sih Fan?"
"Gue nggak pengen lu balas dendam dan gue juga nggak pernah nyuruh lu buat ngelakuin ini"
"Tapi seharusnya dia terima ganjarannya dong, karena dia lu sakit Fan"
"Kok Lu jadi agresif sih? Gue mohon jangan sakiti dia lagi, cukup dia menderita dengan semua ini. Terlalu banyak ujian yang sudah ia hadapi"
"Apa? Sekarang lu malah biarin dia? Apa yang ia alami itu nggak sebanding saat lu hampir meninggal Fan" sambil membentak.
Aku hanya dapat terdiam mendengar mereka bertengkar. Lagi dan lagi semuanya kejadian pasti terlibat dengan ku. Mengapa ini terjadi?. Mengapa mesti diri ini yang menjadi biang dari setiap permasalahan?. Apakah takdir tak pernah memihak padaku?. Pertanyaan itu berputar di pikiranku, jika saja ada pilihan akan kehidupan maka aku akan memilih agar tidak terlahir kan di dunia ini. Namun, sepertinya takdir kami telah terukir dan saling berhubungan antara satu sama lain.
Sepertinya Mbak Nabila sudah mulai muak dengan perkataan kakak Risfan yang sejak dari tadi tidak ingin memaafkan ku. Dia menatap tajam Kak Tri seolah ia akan menerkam mangsa. Perdebatan antara Risfan dan kakaknya tidak berhenti hingga Mbak Nabila angkat bicara.
"Mbak Tri, aku mohon tolong pengertiannya. Maafkan adik aku Jisrah" ucap Mbak Nabila.
"Maafin? Gue udah bilang berulang kali, kalau gue nggak bakal maafin dia bagaimana pun itu kecuali dia ngalamin hal yang sama dengan Risfan".
"Tri udah! Lu udah benar-benar kelewatan, sudah takdir gue seperti ini jadi nggak usah lagi nyalahin Jisrah"
"Takdir? Gue nggak bakal terima semua ini, kalau saja cewek ini nggak pernah bertemu lu atau kenal lu Fan mungkin semuanya akan baik-baik ajah"
"Gue udah capek debat sama lu Tri. Pokoknya gue udah maafin Jisrah dan gue ikhlas dalam keadaan seperti ini. Karena bagaimanapun usaha lu buat nyakitin Jisrah, nggak bakal buat keadaan kembali. Semua ini udah terjadi, jadi gue harap lu terima kenyataan Tri"
"Terserah lu pengen bilang apa, gue nggak bakal maafin dia"
Prak, suara bantingan pintu. Kak Tri keluar dari kamar dan membanting pintu sehingga menghasilkan suara yang keras. Dia tampak sangat marah setelah berdebat dengan Risfan. Sedangkan Risfan hanya diam dan tampak kebingungan. Aku sekarang tidak tau apa yang ia pikirkan dan dirasakannya. Seketika tatapan matanya berubah menjadi kosong, ia memandang lurus tanpa berkedip. Mbak Nabila menyuruhku untuk menyadarkan Risfan dari khayalannya. Tetapi aku ragu, jika saja nanti dia tersinggung bagaimana?.
Dengan berani aku mendekatinya dan memanggil namanya. Berulang kali aku memanggilnya namun ia tidak menghiraukan ku. Aku merasa tak nyaman jika mengganggunya terus. Dia tidak sama sekali berbicara setelah Kak Tri pergi. Mungkin dia sedang memikirkan kemana kakaknya pergi. Apa yang harus kulakukan sekarang?. Mana mungkin aku memegang tangannya, sedangkan dia bukan Kak Aska. Kenapa mesti aku harus ditakdirkan bertemu Kak Aska maupun Risfan?. Jika saja saat itu mata ku dan Kak Aska tidak berpapasan mungkin dia tidak akan mendekatiku. Walaupun aku senang karena orang yang pertama menaklukkan hatiku juga menyukai ku. Tetapi tetap saja aku merasa orang yang jahat, karena kebahagiaan ku membuat orang yang ku sayangi bahkan orang yang baru ku kenal malah terluka dan menderita. Aku benar-benar hina dalam kehidupan ini, tak ada gunanya lagi jika aku hanya berada di dekat mereka.
Aku pun mengajak Mbak Nabila pergi, untuk memberikan waktu luang untuk Risfan. Mbak Nabila sempat melarang ku dan berniat untuk menjaga Risfan hingga Kak Tri datang kembali. Tapi, aku tetap memaksa Mbak Nabila untuk pergi. Akhirnya Mbak sepakat untuk pergi saja dan sebelum itu kami berpamitan kepada Risfan. Tetap saja dia tidak merespon kami. Saat kami akan keluar menuju pintu, tiba-tiba Risfan memanggil kami.
"Jisrah, Mbak tunggu!"
Akupun berbalik "Ada apa Risfan? Lu baik-baik ajah?"
"Iya, gue nggak apa-apa kok. Makasih banyak yah udah jenguk gue"
"Kok lu makasih? Gue yang harusnya makasih sama lu, karena lu nggak sama sekali marah ke gue"
"Udah Jisrah lupain ajah! Ini udah takdir kok jadi siapapun nggak akan bisa ngerubah"
"Iya sih, tapi gue tetap merasa bersalah, karena gue lu jadi kek gini Risfan"
"Ini itu udah ketentuan Allah, jadi lu nggak usah nyalahin diri sendiri. Lagian juga gue yang salah kok, seharusnya gue nggak ngebentak lu di kantin. Gue minta maaf yah karena udah buat lu malu"
"Sorry, gue selama ini udah salah nilai lu. Ternyata lu itu orangnya baik banget, tapi dengan bodohnya gue malah marahin lu"
"Kalau gitu gue permisi dulu yah Risfan"
"Iya, sekali lagi makasih udah jenguk gue"
Setelah kami keluar dari kamar tersebut, ternyata Kak Tri sejak tadi menunggu dari luar. Aku langsung menghampirinya dan menggenggam tangannya. Dia terkejut akan reaksi ku dan seketika ia meneteskan air mata di pipinya. Mendadak ia memeluk ku dan minta maaf, aku tak percaya yang dilakukan dan dikatakannya. Ternyata sejak tadi ia mendengar percakapan ku dengan Risfan. Tuhan seakan menjawab doa Risfan, sebelum itu hati Kak Tri sangat keras bagai batu sehingga ia tak ingin memaafkan diri ini.
Aku berterima kasih padanya dan berjanji akan menjadi pribadi yang lebih baik. Dia menjelaskan semua tentang kehidupan keluarga mereka. Apa yang dikatakan Kak Tri membuat ku tak percaya. Ternyata Risfan bukan saudara kandungnya, Kak Tri adalah kakak angkatnya. Dia diasuh saat orang tua Risfan setelah sekian lama tidak memiliki momongan. Setelah 5 tahun Kak Tri diasuh barulah Risfan lahir dan kemudian orang tua mereka membuka Panti Asuhan. Itulah yang membuat Kak Tri sangat menyayangi Risfan dan tak sanggup melihat adiknya itu tersakiti.
Mungkin yang dirasakan Kak Tri sama halnya dengan Mbak Nabila. Sebagai seorang kakak tentu saja tidak akan tega melihat terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada adiknya. Aku tidak tahu bagaimana yang dirasakan mereka karena aku adalah anak bungsu. Aku hanya selalu mendapatkan kasih sayang dari keluarga ku. Syukur ku panjatkan akan semua ujian ini, setiap ujian yang dilalui memiliki hikmah. Kini aku dapat merasakan kembali kasih sayang dari Mbak Nabila setelah sekian lama ia pergi setelah menikah. Kini aku dan Mbak Nabila harus tangguh merawat ibu yang tengah dirawat.
*******************
Waktu istirahat telah tiba, Ira, Maharani, Salsa dan Armi menuju kantin untuk jajan. Mereka tidak lagi berselisih sepertinya mereka telah menerima kenyataan. Tak ada lagi yang perlu mereka permasalahkan. Semuanya telah jelas ini adalah takdir yang menghubungkan mereka. Banyak rintangan yang dilalui bersama sejak mulai masuk SMA. Ini juga merupakan story yang akan mereka kenang hingga rambut memutih. Masa yang paling dinanti setiap orang dan masa yang merangkum seluruh perasaan dimana ada cinta, kasih sayang, amarah, senang serta sedih tersimpan dalam sebuah memori kehidupan. Kesempatan yang hanya dialami dan dirasakan dalam sekali. Dimana puncak problem kehidupan seakan menyatu menjadi satu dalam kisah kehidupan. Mulai dari permasalahan keluarga, persahabatan, hingga cinta.
Seperti biasa mereka tidak suka ke kantin yang sangat ramai. Jadi mereka ke kantin dimana hanya sedikit siswa yang jajan. Mereka berbincang tentang keadaan kelas dan tak ada satupun diantara mereka yang membahas tentang Jisrah. Itu mereka lakukan bukan karena sudah tidak peduli lagi dengan Jisrah. Tetapi, agar tidak memulai lagi pertengkaran yang hanya akan membuat persahabatan mereka retak. Maharani yang memiliki porsi makan banyak itu selalu jadi korban candaan saat mereka jajan.
"Pengen banget kek Maharani, udah banyak makan terus nggak gemuk" ucap Salsa.
"Hahaha lu benar Sal, gue udah berusaha jaga pola makan tetap ajah timbangan gue naik terus" balas Armi tertawa.
"Ihh kalian apa-apaan sih. Enak ajah ngomong kek gitu, tapi asalkan kalian tahu yah. Seharusnya kalian itu bersyukur nggak seperti gue"
"Loh kok mesti bersyukur sih?" ucap Ira.
"Gue itu selalu lapar tau, bahkan walaupun gue makan banyak cuman bentar ajah bertahan. Eh pasti bentar lagi lapar deh"
"Emang gitu kok bisa sih?" tanya Salsa penasaran.
"Mana gue tau, yang jelas gue itu nggak nyaman banget"
"Lu nggak pernah apa periksa ke dokter, siapa tau lu itu punya penyakit" tanya Armi khawatir.
"Nggak sih, tapi gue pernah searching di google masalah ini. Terus gue baca tuh, ternyata ini masalah pencernaan. Gue sih nggak ngerti maksudnya apa tapi gitu deh"
"Yang sabar Maharani, ini tuh penyakit tapi anugerah juga buat lu" ucap Ira.
"Benar juga sih, tapi gue bodoh amat . Yang penting hidup bahagia"
Mereka tertawa mendengar gurauan Maharani. Persahabatan mereka terlihat semakin erat. Setelah makan mereka pun beranjak dari kantin. Sambil berbincang mereka berjalan menuju kelas. Di dekat tangga saat mereka ingin berbelok tiba-tiba saja Ira menghilang.
"Sumpah gue tadi kaget banget waktu Mr. Syaidah mukul meja" ucap Maharani.
"Gue juga sama, jantung gue hampir copot" ucap Armi.
"Gila! Nggak nyangka banget gue kalau yang orang bilang itu beneran. Ternyata Mr. Syaidah galaknya minta ampun" balas Salsa.
"Benar lu Sal, gue nggak habis pikir. Soalnya Mr. Syaidah itu cantik banget tapi sifatnya itu loh" ucap Armi.
"Udah, nanti di dengar guru lagi. Tapi, kalian tau nggak? Ira nggak sama sekali ada mimik takutnya tau, kek sok berani ajah. Benarkan Ira?" tanya Maharani.
Namun, pertanyaa Maharani tidak terjawab. Mereka tidak menyadari jika Ira sejak tadi telah pergi meninggalkan mereka. Salsa yang sadar jika Ira tidak ada bertanya "Guys wait! Ira kemana kok dia nggak ada sih." Mereka pun menoleh dan mencari disekitar namun tidak nampak batang hidung Ira "Udah biarin ajah palingan dia pergi ke kantin lagi atau nggak ke toilet." Armi yang mulai khawatir pun menyuruh yang lain menuju ke kelas "Kalian ke kelas ajah duluan, bentar gue nyusul. Soalnya gue mau cari Ira dulu, takutnya nanti dia di culik pocong." Armi berusaha agar temannya yang lain tidak khawatir akan Ira. Salsa pun tertawa mendengar apa yang dikatakan Armi "Hahaha lu ada-ada ajah, mana ada tau setan di siang hari. Yaudah kalau gitu gue sama Maharani duluan yah. Eh awas nanti lu juga diculik pocong."
Armi pun meninggalkan mereka dan berkeliling sekolah mencari Ira. Dia khawatir jika terjadi sesuatu dengan Ira karena sejak tadi di kantin ia memperhatikan Ira seperti sedang gelisah dan memikirkan sesuatu. Apapun ia akan lakukan untuk sahabatnya, Armi telah mencari Ira di kantin, toilet, dan lapangan namun tak kunjung ia menemukannya. Dalam benaknya ia semakin khawatir akan keselamatan Ira.