Chereads / 6400 m / Chapter 12 - Semuanya kacau

Chapter 12 - Semuanya kacau

Ibunya terkapar di atas sofa yang didudukinya. Mbak Nabila spontan memeriksa denyut nadi di tangan ibunya, ia mengucapkan Hamdallah karena ibunya masih hidup. Mereka langsung panik, Mbak Nabila meminta tolong agar suaminya mengangkat ibunya ke kamar. Aska sangat panik dan kebingungan melihat ibu dari pujaan hatinya pingsan. Mas Syafar keluar dari kamar setelah membawa ibu mertuanya. Dia menatap tajam sambil berjalan menuju Aska.

Buk buk buk, Mas Syafar menghajar dagu dan perut Aska sehingga darah keluar dari mulutnya "Kalau saja terjadi sesuatu dengan mertua ku, lu akan menderita selamanya." Menenangkan suaminya sambil memegang tangannya "Istighfar Mas, bukan dia yang salah." Dengan berusaha berdiri sambil menahan sakit Aska meminta maaf "Aku benar-benar minta maaf Mbak Mas, gara-gara aku semua ini terjadi." Mbak Nabila dengan sabar menahan emosinya mempersilahkan Aska pulang agar suaminya tidak lagi bertindak semena-menanya.

Setelah Aska keluar dari rumah, mereka langsung menuju kamar untuk melihat keadaan ibunya. Mbak Nabila memeluk ibunya sambil meneteskan air mata. Hatinya serasa tersayat akibat dua wanita yang sangat berharga dan ia sayangi menjadi korban dari pria yang tidak bertanggung jawab itu. Suaminya tak tega melihat istrinya yang menangis sambil terisak, menyaksikan semua itu membuatnya semakin benci terhadap Aska. Mencari ponselnya ia segera menghubungi ambulans untuk membawa ibu mertuanya ke RS.

Membutuhkan waktu hampir setengah jam karena jarak RS ke rumah mereka sangat jauh. Beruntung karena ukuran gang lumayan lebar sehingga ambulans dapat menuju langsung di depan rumah meraka. Banyak warga sekitar gang terkejut melihat ambulans yang tiba-tiba datang saat malam hari. Terdengar bisikan dari setiap rumah dan pejalan kaki yang heran dan bertanya apa yang terjadi?. Petugas ambulans mengangkat ibu Jisrah ke dalam mobil. Mbak Nabila berlari untuk menitip Ting-Ting di rumah tetangganya karena anaknya masih balita ia tidak dapat menjaganya sambil merawat ibunya di RS "Mbak Suriani tolong yahh, aku titip Ting-Ting di Mbak soalnya aku takut nanti dia rewel di RS." Mbak Suriani langsung menggendong Ting-Ting, karena dia juga mempunyai anak berusia 5 tahun yang biasa bermain dengan Ting-Ting makanya Mbak Nabila percaya untuk menitip buah hatinya.

**********

Ayam berkokok menandakan matahari telah terbit di ufuk timur, cahayanya yang mulai menyinari pelosok dunia. Terbangun akibat cahaya matahari yang menyinari mata yang berbentuk indah dan mirip dengan mata Ira walaupun diantara mereka tak terikat hubungan darah. Dengan membuka mata perlahan seiring senyum menghiasi wajah seakan menyambut cahaya sang fajar. Akibat terlalu lelah aku tidak dapat bangun sholat subuh, rasa menyesal begitu dalam karena seharusnya aku tidak lalai dalam hal mentaati perintahNYA apalagi keadaan ku yang sekarang. Hanya kepadaNYA aku dapat mengadu dan hanya kepadaNYA aku memohon ampun, pertolongan dan perlindungan. Tetapi aku malah mengsiasiakan waktu yang tidak dapat ku ulang kembali. Beranjak dari tempat tidur aku menuju kamar mandi, setelah itu aku merapikan tempat tidur. Aku hampir lupa ternyata ini hari pertama aku menjalankan hukuman skorsing selama 2 minggu. Penyesalan dalam diri berkecamuk bagai badai, bagaimana tidak jika aku yang baru masuk sekolah SMA telah mendapat hukuman skorsing.

Begitu rendahnya diriku sekarang apa yang aku akan lakukan ketika masa skorsing telah selesai, apakah teman sekelas akan menerima diriku kembali? Bagaimana reaksi keluarga ku?. Malu? tentu saja, aku bingung mau ditaruh dimana wajah ku ini? Bukan malu kepada teman atau siapapun itu tapi aku sangat malu kepada Allah akan perbuatan keji ku ini. Banyak pelanggaran yang telah aku lakukan, banyak ayat yang aku ingkari termasuk ayat yang selama ini aku pegang teguh dalam melangsungkan hidup dalam berinteraksi dengan pria dan ayat yang mengatur tentang ketaatan seorang anak pada orang tua. Pikiran ku begitu kacau, aku sangat benci dan jijik pada diriku sendiri. Diri yang berlumuran dosa ini masih berjalan dan menghirup udara yang diberikan pada kami. Hukuman yang diberikan pada ku ini tidak ada bandingannya dengan semua dosa akibat perbuatan ku.

"Tok tok tok, Jis lu udah bangun?" tanya Maharani dari luar kamar.

Aku langsung menyahut "Iya Maharani, gue udah bangun nihh."

"Yaudah lu turun ke ruang makan, kita sarapan bareng"

"Ohh iya, bentar kalau udah selesai ngerapiin tempat tidur gue"

"Ok kalau gitu, gue tunggu lu dibawah"

Aku turun menggunakan tangga yang terbuat dari marmer setelah semuanya telah ku rapikan. Menyaksikan keluarga yang lengkap sedang duduk bersama sambil tertawa membuat ku mengingat suasana di rumah. Namun itu hanya kenangan, semenjak ayah meninggal dan kakak-kakak ku melanjutkan kehidupan mereka masing-masing kesempatan kami berkumpul sudah sangat jarang. Tiba-tiba Maharani melihat ku dan melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil ku. Agar mereka tidak melihat kesedihan di wajahku, aku tersenyum sambil menuju mereka.

"Ayo nak, kita makan bareng" seru ibu Maharani.

"Iya Tante" jawabku dengan singkat.

"Ngapain cuman berdiri disitu? Lu juga sini duduk! Nggak usah malu-malu, anggap ajah kami keluarga lu" seru Maharani.

"Betul kak, nggak usah malu. Duduk dekat gue ajah" ajak adik Maharani.

"Iya, makasih udah banyak nolongin gue" sambil tersenyum menatap Maharani.

"Aduhh lu kenapa sih? Kita kan temenan" seru Maharani.

"Ckckck, udah nggak usah ngobrol terus. Tuh makanan malah dianggurin, cepat makan ajah nanti telat lohh" ucap ibu Maharani.

Mendengar ucapan ibu Maharani mengingatkan ku akan sebab mula kejadian ini. Harusnya saat itu aku tidak marah pada Risfan yang berniat baik padaku dan jika saja saat itu Kak Aska tidak menghajarnya mungkin semua ini tidak akan terjadi. Tapi apalah daya nasi telah menjadi bubur, semua tidak dapat diulang kembali. Walaupun sejuta kata maaf dan penyesalan tidak akan mengubah retaknya semua hati yang terluka atas kejadian ini.

Kami menyantap dengan nikmat masakan yang dibuat ibu Maharani. Rasanya begitu enak ditambah lagi sejak kemarin siang aku tidak makan. Suapan demi suapan masuk ke dalam mulut, namun terhenti ketika adik Maharani yang berumur 6 tahun dengan polosnya bertanya padaku "Kak nggak ke sekolah? Kok nggak pakai seragam sihh? Nanti dimarahin guru loh!." Aku terdiam dan menunduk mendengar ucapannya. Maharani mengkode adiknya agar berhenti berbicara "Eee kak Jisrah nggak bisa pergi sekolah dek, soalnya dia sakit." Terselamatkan oleh ucapan Maharani membuatku tenang. Ayah Maharani mengerti apa yang terjadi di meja makan, ia pun mencairkan suasana yang sempat membuat kami canggung "Cepetan gih makannya, papa juga mau ke kantor nanti jalan macet lagi."

Setelah kami selesai makan, kami beranjak dari kursi meja makan. Aku membantu untuk merapikan makanan dan menyimpannya di lemari. Pukul 06.25 mereka kecuali ibu Maharani, pergi melakukan aktivitas diluar rumah. Sebelum berangkat sekolah Maharani sempat menenangkan ku dan menyuruhku agar tetap dirumahnya sebelum dia pulang.

"Nak, kamu nggak usah khawatir. Sekarang kamu disini ajah temenin Tante" ucap ibu Maharani.

"Makasih banyak udah nolongin aku Tante, kalau ajah kemarin Maharani nggak liat aku, entah bagaimana keadaan ku sekarang"

"Iya nak, Maharani itu anaknya mudah bergaul kok tapi dia paling nggak suka sama cowok yang deketin dia, kalau ada yang mau deketin pasti ditonjok tuhh cowok" sambil tertawa.

"Enak yahh jadi Maharani, udah baik, cantik, tinggi, terus kuat. Nggak kayak aku lemah banget"

"Nggak gitu, setiap orang pasti punya kelebihan tapi kita tuh terkadang menganggap anugrah Tuhan tidak seberapa pada kita dibandingkan milik orang lain. Seharusnya kita bersyukur atas semua yang ada pada diri kita, diluar sana banyak orang yang nggak seberuntung kita"

"Makasih tante udah nasihatin aku, apa yang Tante bilang emang bener. Terkadang aku nggak bersyukur atas pemberianNYA"

"Nahh, sekarang kamu nggak boleh lagi liat orang yang diatas kamu tapi mulai sekarang kamu harus liat orang yang berada dibawah kamu. Karna yang diatas pasti ada lagi diatasnya seberapa besar usaha mu untuk jadi seperti mereka, nggak akan buat kamu puas karena semua itu nggak akan berakhir. Beda kalau kamu bersyukur atas yang kamu miliki, saat kamu liat orang yang nggak punya apa yang ada didiri kamu pasti kamu akan bersyukur tapi ingat nggak boleh sombong atau berbangga diri atas semuanya karena ini hanya titipan dariNYA"

"Ya Allah, Maharani pasti senang banget punya ibu yang baik dan bijak kayak Tante. Aku jadi ingat ibu di rumah, pasti dia khawatir mikirin aku"

"Astagfirullah, kok bisa-bisanya aku lupa hubungin ibu kamu. Sekarang sebutin nomor ibu kamu, nanti dia nyangka kamu kenapa-kenapa lagi"

"Tapi, aku takut nanti ibu marah"

"Ibu kamu akan lebih marah kalau nggak dihubungin sekarang. Udah nggak usah ditunda-tunda sekarang kamu sebutin ajah biar Tante yang telepon"

Setelah menyebutkan nomor ponsel ibu, langsung saja ibu Maharani menghubunginya. Berulang kali dihubungin namun tidak dijawab, hanya suara dering yang terdengar. Tiba-tiba perasaan ku tidak enak dan khawatir jika terjadi sesuatu pada ibu ku. Aku tidak akan memaafkan diriku ini jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Namun, aku berusaha menghilangkan pikiran buruk itu. Mungkin saja ibu tidak ingin mengangkat telponnya karena nomor yang tidak dikenal menghubunginya. Aku memberi saran sebaiknya aku saja yang menghubungi ibu. Dengan perasaan tegang aku mengambil ponsel untuk menghubungi ibu. Belum sempat aku menghidupkan ponsel, ibu Maharani berbicara melalui telepon rumah. Ibu Maharani sempat melirik ku beberapa kali seperti ada yang disembunyikannya.

"Tante ada apa?" tanyaku dengan cemas.

"Nak, kamu yang sabar yahh"

"Maksud Tante apa? Aku nggak ngerti"

"Ini kamu bicara dengan kakak kamu"

"Halo, Mbak ada apa disana?"

"Kamu tega banget Jis, sekarang gara-gara kamu semua ini terjadi!" bentak Mbak Nabila.

"Maafin aku Mbak, emangnya ada apa?"

"Santai yah kamu disana, udah berani dekat sama cowok!"

"Cowok? Maksud Mbak apa aku nggak ngerti"

"Sekarang kamu nggak usah pura-pura polos. Cowok yang namanya Aska datang ke rumah tadi malam"

"Apa? Dia ngapain kesana Mbak?"

"Yahh jelas dia cari kamu. Gara-gara dia ibu sekarang ada di RS dan sampai sekarang ibu belum sadar. Kalau sampai terjadi sesuatu sama ibu, Mbak nggak akan sudih liat wajah kamu lagi!!" sambil menutup telepon.

Air mataku sudah tidak dapat tertahan lagi, mengalir begitu saja dan membuatku tidak berdaya setelah mendengar ucapan Mbak Nabila. Rasanya aku ingin berteriak namun ibu Maharani memeluk ku. Semuanya telah hancur berkeping-keping masalah dimana-mana. Aku sangat takut kehilangan ibu ditambah lagi Mbak Nabila yang sudah sangat jelas telah membenci ku.