"Kring kring kring" bunyi ponsel. Danil menyisiri saku bajunya untuk mengambil ponsel "Halo ada apa Ira?." Jantung ku berhenti berdetak kencang, aku benar-benar lega ketika Danil berhenti berbicara. Syukur saja karena Ira menelpon diwaktu yang tepat. Danil menatapku dengan amarah, mungkin dalam benaknya ia sangat membenci kelakuanku. Ibu sepertinya agak kecewa karena dia tak dapat mendengar penjelasan dari Danil.
"Danil ada apa?" ucap Ibu.
"Maaf Tante, kayaknya aku belum bisa jelasin sekarang. Soalnya Ira pengen aku kerumahnya" sahut Danil.
"Ohh, tapi Ira nggak apa-apa kan?. Tumben ngajak kamu kerumah sendiri, biasanya bareng Jisrah" balas ibu yang nampak curiga.
"Nggak tau juga nihh Tante, mungkin ada hal penting kali. Yaudah Tante aku permisi dulu yahh" sambil melangkah keluar.
Setelah Danil pulang ibu terus menatap ku, mungkin saja ibu ingin secepatnya aku menjelaskan semuanya. Apa yang ibu lakukan memang wajar, karena orang tua diluar sana pasti akan khawatir jika melihat anaknya sakit. Tapi, sepertinya ibu enggan untuk bertanya padaku akibat kondisi ku yang masih lemah.
"Jisrah lu istirahat ajah, kalau besok lu belum ngerasa baikan nggak usah ke sekolah" ucap Ira sambil menggenggam tanganku.
"Cuman pingsan ajah, Insyaallah besok aku baikan"
"Aamiin, tapi lu nggak usah maksain diri ke sekolah"
"Iya, tapi kalau besok gue nggak sekolah tolong ya izinin gue ke guru. Tenang ajah besok gue titip surat ke Danil"
"Yaudah besok gue nunggu Danil di gerbang ajah. Kalau gitu gue pulang yahh, soalnya udah sore nihh"
"Mm sekali lagi makasih udah nolongin gue"
"Iya deh, gue permisi dulu Jis" sambil mengambil tasnya.
"Yaudah, ayo Tante antar sampai depan" ucap Ibu.
Mereka telah keluar dari kamar ku dan sekarang hanya aku sendiri berbaring tak berdaya. Sekitika air mata menetes begitu saja akibat penyesalan yang amat besar. Bagaimana tidak, seumur hidup aku tidak pernah berbohong pada ibu apalagi menyembunyikan hal besar seperti ini. Sejak kecil aku dididik dengan baik dan diberi kasih sayang, namun sekarang seperti ini balasan ku?. Dalam hatiku merontak tak karuan, sedih, marah, benci dengan diriku sendiri. Walaupun bukan sekarang aku memberitahu yang sebenarnya pada ibu, tapi suatu saat aku pasti akan jujur tentang semuanya. Hanya menunggu waktu yang tepat karena aku tidak ingin ibu mengetahui hal sebesar ini dari orang lain. Ibu pasti akan sangat kecewa ketika mengetahui kebenarannya, namun aku harus siap menanggung resikonya.
**************
"Tok tok tok, Assalamualaikum" ucap Danil. Menunggu beberapa saat terdengar dari dalam rumah menjawab salamnya. Krek, pintu terbuka dan sekarang dihadapannya berdiri seorang gadis mungil yang akrab dengannya. Yah dia Ira, mereka sudah mengenal satu sama lain sejak dulu. Walaupun baru saja mereka bertetangga tapi sudah lama saling mengenal. Ira pun mengajak Danil duduk di teras, untuk menghindari gunjingan dari tetangga.
"Emangnya ada apa Ira? Tumben ngajak gue sendiri kesini"
"Gue to the point ajah, lu bantu gue jauhin Jisrah dari Kak Aska!"
"Ide yang bagus, gue setuju sama ide lu"
"What? lu nggak kaget dengar ucapan gue?"
"Ngapain kaget? Udah gue tau kok semuanya. Emang dari pertama gue ketemu tuh sama Aska, kek ada yang nggak bener sama dia"
"Nggak bener gimana sih maksud lu?"
"Aduhh lu kan cewek, sedangkan gue cowok"
"Lahh emang, terus hubungannya apa?"
"Gue jelasin yah, tatapan matanya itu aneh banget kalau liatin cewek, apalagi Jisrah"
"Lu sotoy banget, perasaan biasa ajah kok"
"Gue cowok, pastinya dengan mudah gue tau tatapan kek gitu. Dia kalau natap Jisrah beda banget, pokoknya gitu susah ngejelasinnya"
"Serius? Gini nih cowok yang matanya lelayapan"
"Emang dasar cowok br*n*sek. Gue harus beri dia pelajaran, gara-gara dia sekarang sahabat kita sakit"
"Benar tuhh, tapi lu jangan emosi gitu dong"
"Iya dehh, sekarang rencana lu apa buat jauhin mereka?"
Akhirnya mereka pun berdiskusi tentang rencana. Hampir setengah jam mereka berbicara di teras. Hari telah petang, suara klakson kendaraan berbunyi akibat gang mereka tidak jauh dari jalan raya. Jalanan mulai macet karena kebanyakan orang kantoran telah pulang. Danil pun bergegas pulang kerumahnya.
************
Aroma masakan yang lezat membuat perut ku lapar. Dengan berhati-hati melangkah di tangga untuk menuju dapur, karena badanku masih lemas. Di dapur aku melihat dua orang wanita yang sibuk memasak. Aku menghampiri mereka, dan langsung memeluk salah seorang wanita yang sangat aku sayangi.
"Assalamualaikum Mbak Nabila"
"Ehh, wa'alaikumsalam. Kok lu turun sendirian sih, kenapa nggak nunggu Mbak ajah. Lagian juga masakannya belum jadi."
"Gimana aku nggak turun? Aromanya itu lohh Mbak bikin perut aku keroncongan"
"Hehehe yaudah lu nunggu ajah, bentar lagi masak kok"
"Iya Mbak, terus Ting-Ting dimana?
" Lagi main sama papanya diluar, lu kesana ajah"
Akupun kesana untuk bermain dengan keponakanku yang lucu. Mbak Nabila menikah dengan seorang keturunan Tionghoa. Sebelum menikah, suaminya sangat berjuang untuk meminta restu dari orang tuanya akibat keyakinan mereka berbeda. Namun, usahanya tidak sia-sia akhirnya mereka direstui. Sebelum menikah Kak Aanzhiyuu, ia menjadi mualaf dan merubah namanya menjadi Syafar. Tak berselang lama, hanya 2 tahun setelah menikah lahirlah buah hati mereka bernama Tina Arsyila Syafar yang biasa dipanggil Ting-Ting. Aku berharap keluarga mereka akan tetap bahagia selamanya.
Setelah 10 menit bermain dengan Ting-Ting, Mbak Nabila memanggil kami untuk menyantap makanan yang telah dibuatnya bersama ibu. Kami makan bersama, aku yang sempat khawatir jika saja ibu atau Mbak Nabila bertanya padaku tentang kebenaran semuanya. Namun, sepertinya mereka sengaja untuk tidak bertanya sekarang agar tidak menggangu makan malam ini.
**************
"Bu aku permisi dulu, nanti telat" ucapku.
"Kamu yakin ke sekolah? Besok ajah kalau belum baikan" balas ibu yang sedang menggendong Ting-Ting.
"Iya Bu, aku udah baikan kok" sambil mengikat tali sepatu.
"Yaudah Jis, biar Mas Syafar ajah yang nganter" ucap Mbak Nabil sambil menyapu.
"Mm iya Mbak. Aku pergi dulu yahh, Assalamualaikum" sambil salim pada Ibu dan Mbak Nabila.
"Wa'alaikumsalam" ucap mereka.
Saat tiba di depan gerbang sekolah, Mas Syafar memberiku uang jajan, aku sempat menolak tetapi dia memaksaku untuk mengambilnya. Akupun turun dari mobil, dan Kak Syafar langsung saja pulang ke rumah. Berat kaki ku untuk melangkah, rasanya aku sangat malu dan takut akan reaksi teman sekalasku karena mereka pasti telah mengetahui kejadian kemarin.
Saat aku berada didepan pintu dan mengucap salam, tiba-tiba semua diam dan menatapku dengan sinis. Sekarang yang ku khawatirkan telah terjadi, tak ada satupun seseorang yang mengajakku berbicara. Bahkan Ira dan Salsa seolah-olah tak menganggap kehadiran ku. Mungkin ini balasan dari apa yang ku perbuat. Aku hanya duduk terdiam di kursi. Terdengar ketukan pintu sambil mengucap salam. Dia seorang siswi namun aku tak mengenalnya. Mungkin dia murid yang pindah kelas. Perhatian tertuju padanya, bagaimana tidak jika dia sedari tadi hanya berdiri di pintu.
Entah kenapa dia hanya berdiri sambil melihat meja yang kosong. Dia menoleh kearah ku sambil tersenyum, aku sempat heran apa mungkin dia mengenalku. Aku menghampirnya "Lu murid baru ya?." Dia menatapku dengan bola mata yang besar, dia menunduk sedikit karena aku lebih pendek darinya "Nggak kok, gue sakit waktu MOS. Cuman 2 hari ajah gue ikut MOS dan baru sekarang gue datang lagi ke sekolah." Aku hanya mengangguk berusaha mengingat wajahnya. Namun, aku tetap tidak dapat mengingatnya. Karena berhubungan kursi dan meja telah penuh, aku mengajaknya ke ruang staf TU untuk melapor agar dia dapat bergabung dengan kami. Saat melangkah keluar terdengar suara sindiran "Caper tuhh cewek yang udah buat ulah kemarin." Hatiku sangat hancur mendengar suara itu, aku menoleh ke siswi disampingku tetapi dia tetap santai ajah atau mungkin dia cuman pura-pura tidak mendengarnya. Aku berusaha tidak peduli dengan ucapan itu dan bergegas ke ruang staf TU.
"Assalamualaikum"ucap ku. Ku mencari staf TU untuk melaporkan kekurangan meja pada kelas kami. Setelah melapor kami disuruh kembali ke kelas dan staf TU telah menelpon untuk memesan meja dan kursi. Sedari tadi kami hanya diam sambil berjalan, aku sedikit malu karena dia terlihat sangat PD. Dengan memberanikan diri aku memulai pembicaraan "Oh ya nama lu siapa?." Dia menatapku sejenak "Nama gue Maharani, lu?." Ternyata dia orangnya ramah dalam benakku "Gue Jisrah, lu emang sakit apa sampai nggak ikut MOS?." Belum menjawab pertanyaan ku, Maharani tiba-tiba terhenti ketika melihat seseorang yang duduk menyendiri dibawah pohon "Jisrah bukannya itu kakel yang bina kita waktu MOS?." Aku kaget mendengar ucapan Maharani berarti yang dia maksud adalah Kak Aska.
Dia sendiri duduk dan bersandar sambil menutup wajahnya menggunakan topi. Hidungnya yang mancung sangat jelas terlihat dari kejauhan. Entah apa yang dipikirkannya, hatiku sudah terlanjur kecewa dengan perbuatannya walaupun itu demi diriku. Seketika ia membuka topinya dan menatap ke langit dengan tatapan kosong. Rasanya aku sedikit sedih melihat tatapannya mungkin dia menyesal dengan perbuatannya kemarin. Tiba-tiba ia menatapku dari kejauhan, aku tersenyum begitu melihatnya. Dia berdiri menghampiri kami, spontan Maharani heran melihat Kak Aska. Belum tiba Kak Aska, datang seorang wanita menamparku "Dasar j*l*n*, gara-gara lu adik gue sekarang dirumah sakit"