"Plak" suara pukulan meja. Kami serentak kaget mendengar suara itu. Suasana canggung akibat Risfan yang menatapku dengan tatapan sinis " Jis lu nggak tau etika makan apa? Kalau lu makan nggak usah ngelakuin aktivitas lain. Dari tadi lu main hp, noleh kesana kemari, terus makanan lu biarin gitu ajah" dengan nada tinggi. Farid berusaha menenangkan Risfan dengan memegang pundaknya "Udah Rid, malu tau diliatin yang lain. Lu juga nggak usah bentak cewek kayak gitu".
Aku yang tak habis pikir melihat tindakan Risfan membuat emosiku melonjak "Lu punya hak apa ngelarang gue? Terus lu sok-sokan ngajarin tentang etika. Lu nggak ingat apa, semenjak kita sekelas udah 2x bikin malu diri lu sendiri. Lahh sekarang ngajarin gue etika, apa lu sakit" dengan nada menyindir ucapanku tak dapat terkontrol. Ekspresinya tak berubah mungkin dia sadar akan ucapan ku, namun dia tetap membalas hujatanku "Aku memang nggak punya etika ketika didalam kelas. Setidaknya aku bisa ngajarin seseorang untuk menjaga etikanya agar tak seperti diriku dan ini juga caraku agar aku bisa merubah diri menjadi lebih baik." Aku hanya terdiam mendengarnya, emosi ku mulai meredam. Membereskan sampah wadah makanan Risfan dan Farid berdiri "Maafin gue karna udah ngebentak lu. Gue nggak bermaksud buat lu marah apalagi buat maluin lu ditempat ramai kayak gini, cuman ngingetin ajah kok. Permisi yahh semuanya gue sama Farid ke kelas duluan." Farid hanya mengangguk kepada kami.
"Gila tuhh bocah, berani amat ngebentak gue" sambil mengepalkan tangan.
"Udah Jis, lagian lu yang salah. Kan dia niatnya baik" ucap Ira.
"Ohh lu belain dia. Sahabat lu emangnya siapa dia apa gue?" sambil nunjuk Risfan yang melangkah jauh.
"Aduhh kok malah kalian sihh yang bertengkar" ucap Salsa yang melerai kami.
"Iya nihh, nggak usah diperpanjang dehh masalahnya" ucap Armi dengan nada membujuk.
"Kalian kenapa sihh? Ohh atau jangan-jangan kalian naksir sama Risfan" ucap ku.
"What? Gue nggak nyangka Jisrah lu bakal berfikir begitu ke kita" ucap Ira sambil berlari meninggalkan kami.
"Jis lu udah benar-benar kelawatan" ucap Armi sambil memegang tangan Salsa untuk beranjak meninggalkan ku.
Terjadi penyesalan dalam hatiku namun tetap ada tanda tanya mengapa semua ini terjadi, aku hanya merasa mereka yang tak mengerti keadaan ku saat ini.
*************
Beberapa guru telah masuk dalam kelas kami. Mereka menjelaskan cara menilai siswa termasuk akhlak dan hal yang lainnya. Aku dan Ira hanya duduk terdiam mendengar guru yang sedang menjelaskan. Kami seperti tak menganggap keberadaan satu sama lain. Entah apa yang dipikirannya, tak sekalipun melirikku pandangannya hanya mengarah ke papan tulis dan guru. Rasanya aku ingin lari saja dari kelas ini tak satupun teman sekelas yang mengajak ku berbicara semenjak dari kantin.
Akhirnya pukul 2 siang, kami bergegas membereskan buku. Saat bel pulang berbunyi semuanya berhamburan menuju pintu. Ira yang biasanya menunggu yang lain keluar terlebih dahulu, malah tergesa-gesa keluar ruangan. Aku hanya duduk dengan beberapa siswi lain yang sibuk bertukaran nomor wa. Pemandangan yang membuat ku kesal, rasanya aku tak bisa lagi mempercayai yang namanya teman maupun sahabat. Dengan melangkah cepat aku pergi meninggalkan kelas. Kelas ku adalah kelas yang paling dekat dengan gerbang utama sekolah.
"Buk buk buk" suara pukulan. Semua murid yang berada di sekitar gerbang berlari menuju suara itu berasal. Aku bingung apa yang terjadi dan seketika melihat gerombolan murid. Bergegas aku berlari menuju tempat tersebut. Pot bunga berserakan dan disampingnya terdapat seorang siswa dengan wajah babak belur, baju acak-acakan, serta terlungkai tak berdaya. Dengan berusaha menyelinap diantara murid yang lain aku berhasil melihat siapa yang telah dihajar. Terkejut bukan main dia adalah teman kelas ku Risfan. Tak ada yang menolongnya, semua siswa hanya menjadi penonton disaat Risfan benar-benar sudah tak berdaya. Aku kasihan melihat keadaannya sekarang walaupun tadi kami habis bertengkar. Terdengar suara bisikan beberapa murid.
"Lu mau bantuin dia nggak? Kasian tau dia udah berdarah gitu."
"Gue sihh mau, tapi mana ada yang berani kalau mesti berlawanan dengan dia."
Bingung dengan ucapan murid tersebut siapa yang mereka maksud. Berada diantara kerumunan ini membuat ku sesak, pusing, dan mataku berkunang-kunang. Kesadaran ku hampir saja hilang namun dengan suara teriakan seorang siswa membuatku sadar kembali.
"Lu lemah banget jadi cowok, baru 8x tonjokan ajah udah kek gitu. Gini nih cowok yang cuman berani sama cewek."
Aku terkejut mendengar suara itu seperti tak asing ditelinga ku. Saat mata berusaha mencari siapa gerangan yang mengatakan itu diantara sekian banyak murid bergerombolan. Akhirnya aku menemukannya, bagai disambar petir siang bolong ternyata dia Kak Aska.
"Ayo berdiri, cemen banget lu" sambil menarik kerah baju Risfan.
"Allahuakbar" dengan nafas tersengal dan mata tertutup.
Tak kusadari beberapa tetes air mata mengalir tiba-tiba. Dadaku sesak menyaksikan hal ini entah karena kasihan melihat temanku yang teraniaya atau terkejut melihat seorang yang ku puja melakukan hal tak terduga seperti ini.
"Andai ajah lu nggak buat pujaan hati gue malu saat di kantin. Mungkin lu nggak akan kek gini. Apa salahnya kalau dia cuman noleh? Dia itu cuman liatin gue, yang salah itu kalau lu yang liatin Jis..." belum selesai ucapannya aku menarik tangannya. Tak peduli lagi dengan batasan diantara kami yang bukan mukhrim. Saat itu aku hanya memikirkan keselamatan temanku dan harga diri Kak Aska.
Ku memegang tangannya sambil berlari menuju tempat yang sepi. Aku menatapnya dengan penuh amarah disertai butir air mata yang terus menetes. Rasanya aku ingin menamparnya serta memakinya. Namun aku teringat kejadian di kantin, aku tak boleh membiarkan emosi mengendalikan ku kembali dan membuatku menyesal.
Dia memegang wajah ku dengan telapak tangannya "Kamu baik-baik saja kan?." Menahan getaran bibirku, aku berusaha berbicara "Kenapa kamu menanyakan keadaan ku. Sudah jelas aku baik-baik saja sebelum kejadian ini. Aku benar-benar khawatir jika saja Risfan menghajar mu" dalam hati aku benar-benar membencinya kali ini dan terpaksa berbohong agar Risfan tak dihajar lagi. Membasuh airmata ku "Maafkan aku, emosi ini mengendalikan diriku. Aku hanya ingin melindungi mu dari cowok berengsek itu." Menghelah nafas aku berusaha tegar "Besok kamu harus minta maaf dengan Risfan, tenang saja aku bakal nemenin kok dan bantu jelasin."
Aku meninggalkan Kak Aska sendiri dan berlari menuju gerbang untuk menemui Risfan. Namun dia sudah tak ada lagi, mungkin seorang murid membawanya ke RS. Mataku sembab dan kepalaku kembali pusing, semua terlihat gelap.
*************
"Sayang bangun, ibu mohon" sambil mengelus kepalaku. Perlahan mataku terbuka dan tersadar ternyata aku telah di rumah. Aku berusaha bangun namun rasanya kepalaku masih sakit. "Ya Allah terima kasih" sambil memelukku. Menatap disamping ranjangku ternyata ada Armi. Dia hanya tersenyum padaku seolah-olah bersyukur melihatku telah sadar. "Rah kamu beruntung nak, untung ada Armi yang nolongin kamu" ucap ibu. Melihat ke Armi akupun tersenyum "Makasih Armi, maaf gue tadi egois sama kalian." Armi memegang tanganku "Gue juga minta maaf, seharusnya kami bisa ngerti keadaan lu." Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk duduk.
"Ohh ya Armi, lu tau alamat gue darimana?"
"Tadi gue udah panik banget waktu lu pingsan. Terus gue ambil hp lu, nahh gue cari nomor buat dihubungin karna saking paniknya gue asal telpon ajah. Gue lupa namanya, Tuhan masih bantu lu Jisrah untung yang gue telpon teman lu. Nggak tau kebutulan atau takdir ternyata dia barusan ajah lewat depan sekolah kita, terus dia balik lagi dehh"
"Emangnya dia siapa ibu?"
"Alhamdulillah, untung ajah Armi telpon Danil terus dia ngenterin kamu kesini"
"Ohh Danil, terus sekarang dia dimana bu?"
"Tunggu sebentar ibu panggil"
Tak berselang beberapa menit Danil masuk kedalam kamar ku dengan ibu. Danil sepertinya tidak kasihan padaku atau mungkin saja dia udah tau kejadian yang sebenarnya. Aku pun merasa sangat khawatir jika saja dia sudah menceritakan semuanya ke ibu.
"Rah terima kasih sama Danil! Kok malah bengong" ucap ibu.
"Makasih Danil, gue nggak tau keadaan sekarang kalau ajah lu dengan Armi nggak ada waktu itu" ucap ku dengan tersenyum.
"Sama-sama Jis" tanpa menatap ku.
"Rah kok kamu bisa pingsan sih nak? Kan kamu tuhh fisiknya kuat, seumur hidup kamu baru ngalamin ini"
Pertanyaan yang membuat aku bingung harus menjawab apa. Aku dididik sejak kecil untuk tidak berbohong tapi belakangan ini aku mengabaikan prinsip dalam hidupku. Keringat dingin bercucuran dan jantungku berdetak kencang akibat deg-degan. Tiba-tiba Danil berbicara kepada ibuku.
"Maaf Tante, bukan bermaksud buat ngecewain Tante tapi sebenarnya Jisrah pingsan karena...." sambil menatap ku dan Armi.
"Danil, lu nggak usah jelasin biar gue ajah bentar" sambil mengkode Danil untuk berhenti berbicara.
"Udah Rah biar Danil ajah, kamu juga belum bisa bicara terlalu lama"
"Tapi Bu....." belum selesai ucapku Danil berbicara.
"Sebenarnya Jisrah tadi......."