"Ibu, aku ingin bicara dengan ibu sebentar." ucap Kinasih saat sarapan pagi dengan Arimbi ibunya.
"Mau bicara apa?" tanya Arimbi tanpa sebuah senyuman menatap Kinasih.
"Hari Minggu besok tepatnya sore, ada seseorang yang datang ke rumah bersama dengan keluarganya." ucap Kinasih dengan suara pelan.
"Maksudmu apa Kinasih? bicara yang jelas." ucap Arimbi dengan tegas dan jelas.
"Aku sudah punya kekasih Bu, dan aku berhubungan serius sudah tiga bulan lamanya. Besok hari Minggu sore mas Bara akan kemari bersama dengan kedua orangtuanya untuk melamarku kemudian kita akan segera menikah secepatnya." jelas Kinasih berusaha untuk tenang.
"Dan kamu yakin, laki-laki itu menikahimu bukan karena harta kamu? kenapa kamu tidak mau dengan pilihan ibu saja Kinasih?" ucap Arimbi dengan perasaan sedikit kesal karena keras kepalanya Kinasih.
"Bukannya aku tidak mau dengan pilihan ibu, aku hanya tidak mencintainya saja? dan itu akan menjadi masalah kalau kita menikah bukan karena cinta." ucap Kinasih dengan tersenyum.
"Dan apakah kamu benar-benar mencintai pacarmu yang sekarang? ibu pikir malah kamu mencintai Arya dulu?" ucap Arimbi menatap Kinasih sekilas, kemudian melanjutkan makannya.
"Sepertinya aku mencintainya Bu, mas Bara kalau bicara sangat menentramkan hati. Dan soal Arya, aku dan Arya memang saling menyayangi tapi kita sebatas sahabat saja Bu." ucap Kinasih berusaha menjelaskan pada ibunya yang menginginkan dirinya menikah dengan laki-laki yang kaya raya.
"Ya sudah, ibu setuju saja. Untuk acaranya biar ibu saja yang menyiapkannya. Kamu lebih baik ke salon untuk perawatan." ucap Arimbi yang sudah selesai dengan makannya.
"Baiklah Bu, hari ini aku memang rencana ke salon bersama Arya sekalian mau bertemu dengan investor baru." ucap Kinasih kemudian meninggalkan Arimbi dalam kediaman.
Tampak terlihat jelas kedua mata Arimbi di penuhi sinar kemarahan dan kebencian. Tangan Arimbi terkepal dengan erat seolah-olah Ingin menghancurkan sesuatu yang ada di hadapannya.
***
Dengan wajah ragu Kinasih keluar dari butik untuk pesan pakaiannya yang akan di pakainya besok sore.
"Arya, aku bingung..apa benar kamu yakin pakaian tadi akan bagus untukku?" tanya Kinasih seraya mengusap wajahnya dengan tissue.
"Kamu pasti cantik memakainya Ay." ucap Arya dengan tersenyum.
"Kamu kenapa tadi tidak ikut perawatan?" Tanya Kinasih sambil menatap wajah Arya yang memang sudah tampan dari sananya.
"Aku tidak terbiasa Ay, aku sudah cukup bersyukur dengan wajah yang seperti ini. Dan lagi aku sudah tampan bukan?" tanya Arya dengan sebuah senyuman.
"Ya juga sih, tapi sayangnya wajah tampan seperti ini tidak ada yang mendukung. Masih saja jomblo dari dulu." ucap Kinasih seraya memicingkan sebelah matanya.
"Karena aku belum mau saja Ay, aku sedang menunggu cinta sejatiku. Tapi entah sampai kapan aku harus menunggunya. Mungkin keinginanku tidak akan pernah terwujud." ucap Arya dengan suara lirih.
"Sudahlah Ar, jangan bersedih seperti itu. Aku yakin suatu saat kamu akan mendapatkan cinta sejatimu." ucap Kinasih dengan wajah serius.
"Terimakasih Ay, ucapanmu saat ini telah membuat semangatku kembali menyala, aku tidak akan putus asa untuk mendapatkan cintanya." ucap Arya dengan wajah yang kembali gembira.
"Nah begitu dong, jangan takut dengan takdir. Semua pasti akan indah pada waktunya." ucap Kinasih dengan senyum manisnya.
"Kita harus cepat ke kantor Ay, tamu kita sudah menunggu." ucap Arya setelah membaca pesan dari Satpam kantor.
"Ya sudah kita berangkat sekarang." ucap Kinasih masuk ke dalam mobil duduk di samping Arya.
Beberapa kali Kinasih menarik seatbeltnya namun tak kunjung ketarik.
"Rusak apa ya seatbeltnya Ar?" tanya Kinasih masih berusaha menariknya dengan keras.
"Ay... jangan seperti itu nariknya? sini biar aku bantu." ucap Arya seraya mendekati Kinasih yang sedang duduk agak bersandar.
Tubuh Arya sedikit condong ke tubuh Kinasih saat hendak menarik seatbelt Kinasih yang berada di sebelah kiri Kinasih.
Aroma parfum Army yang menyeruak dari tubuh Arya membuat dada Kinasih berdebar-debar, entah karena bau aroma parfum yang masuk ke dalam rongga dadanya ataukah karena gesekan lembut dari kulit dada Arya yang menyentuh kulit lengannya.
"Nah mudah kan? kalau melakukan sesuatu itu harus dari hati jangan setengah hati." ucap Arya menggoda Kinasih.
"Siapa memang yang melakukan setengah hati? aku melakukannya sepenuh hatiku tahu tidak Ar?" ucap Kinasih dengan bibir cemberut.
"Aku tidak percaya, kalau sepenuh hati? buktinya dari tadi tidak terpasang seatbeltnya." ucap Arya dengan tertawa lirih.
"Kamu! selalu saja tidak percaya!" ucap Kinasih tiba-tiba meraih tangan Arya dan meletakkan tangan Arya di dadanya.
"Bisa kamu rasakan sekarang, kalau aku melakukannya sepenuh hati." ucap Kinasih dengan tatapan kesal.
Jantung Arya berdetak kencang, apa yang di lakukan Kinasih membuatnya terpaku dan tidak bisa bergerak apalagi untuk berkata-kata.
"Ay, hubungannya apa dengan sepenuh hati dengan tanganku ada di sini?" tanya Arya dengan perasaan gugup.
Kinasih diam sejenak, kemudian dengan cepat melepas tangan Arya yang ada di dadanya.
Wajah Kinasih bersemburat merah menahan rasa malu.
Sambil mengusap tengkuk lehernya Kinasih mengalihkan pandangannya ke samping jalanan.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku Ay? hubungannya apa?" tanya Arya lagi dengan senyum tertahan.
"Tidak ada hubungan apa-apa, pemikiranku tadi lain. Bukan ke masalah seatbelt." jawab Kinasih dengan jujur setelah sekian menit terdiam.
"Terus memikirkan apa?" tanya Arya penasaran dengan apa yang di pikirkan Kinasih.
"Tidak ada Arya, ayo cepat jalankan mobilnya sedikit cepat! kita sudah terlambat." ucap Kinasih dengan menahan nafas, entah kenapa dalam pemikirannya tadi tiba-tiba dia ingin membuktikan pada Arya jika hatinya sepenuhya untuk Arya dan untuk itu tanpa sadar tangannya meraih tangan Arya dan di letakkan di dadanya agar Arya percaya hatinya yang berdebar-debar kencang.
Setelah kedua terdiam dalam keheningan, terdengar suara Arya memanggil.
"Ay, sudah sampai...jangan melamun terus nanti cepat tua." ucap Arya menatap wajah Kinasih sekilas kemudian keluar dari mobilnya.
Kinasih yang masih di rundung rasa malu, terpaksa keluar masih dengan wajah yang memerah.
Tiba di kantornya Kinasih di lantai lima belas, Arya dan Kinasih cukup terkejut dengan kehadiran seseorang yang tidak mereka berdua bayangkan. Karena selain dua tamu investor ada Barata yang juga duduk dengan wajah terlihat masam.
"Mas Barata? kok ada di sini?" tanya Kinasih sambil meletakkan tas kerjanya di atas meja.
Arya yang bisa membaca situasi kurang baik segera membawa dua tamu investor itu ke ruang meeting.
"Mas Barata, belum menjawab pertanyaanku? kenapa mas Bara tidak bilang kalau ada mau ke sini?" tanya Kinasih duduk di hadapan Barata.
"Kalau aku memberitahumu, apa kamu akan pergi bisa bersamaku?" tatap Barata dengan suara penuh tekanan.