Selalu begini, kau dan aku tercipta untuk bersama dalam suka maupun duka di antara kisah kita.
~~~~
"Gara-gara elo sih Ga, kita dikeluarin kan dari kelas!" rutuk Risya yang kini berjalan dengan hembus kasar napasnya.
Dirga mendengkus. "Nggak semuanya salah gue kalik Ris, salah lo juga! Salah siapa nginjeknya tiba-tiba, kan mulut gue refleks bilang gitu aja!"
"Iya intinya kan gara-gara mulut kaleng rombeng lo itu kita dikeluarin dari kelas. Awas aja kalau minggu depan nilai gue cuma dapet sembilan, lo harus tanggung jawab loh ya!"
Tanggung jawab apaan? Gue berasa abis ngehamilin anak orang macam lo, Ngil, sampai bawa-bawa tanggung jawab segala!
Dirga mendengkus. "Nilai sembilan itu udah banyak, Ngil! Gue dapet lima aja udah sujud syukur!"
Iya sujud syukur, mengingat betapa jeleknya nilai matematika Dirga selama ini. Memang benar tampangnya oke, tingginya mantaplah, postur tubuhnya juga siplah pokoknya. Namun, otak Dirga sama matematika dan kroco-kroconya nggak pernah bisa sehati. Sama kayak doi yang hilang ketelan bumi.
"Lah elo belajarnya aja kagak niat, makanya cuma dapet segitu."
Enggak niat gimana? Dia belajar udah tiap hari, tiap malem, bawa buku sama mantranya. Nggak lupa sama doanya juga,
doa sebelum tidur maksudnya.
"Penghinaan! Gue belajarnya pakai niat bangsat, enggak kayak lo!"
Kening Risya bertaut. Ia berhenti melangkah. Tubuhnya menghadap Dirga yang kini ikut menghentikan langkah. Mereka saling bertatapan.
Mata keduanya bersibobrok. Menilai satu sama lain tentang keseriusan ucapan masing-masing.
Tentang Dirga yang belajar matematika sampai jungkir balik kanan kiri, tapi hasilnya nihil,
masih tidak menghasilkan sesuatu yang pasti.
Dan Risya yang tak pernah belajar giat, tapi ia bisa memahami matematika dengan mudah. Sayangnya, memahami hati doi masih tidak semudah memahami angka-angka dalam matematika.
"Coba aja, lo nggak usah belajar minggu depan. Nilai lo dapet berapa coba?"
"Yang jelas nggak sampai kepala dua."
Iya jelas. Dapet dua aja mungkin sudah alhamdulilah daripada hanya dapet telor ceplok yang hanya bisa didadar di alam mimpi saja.
Risya mendecakkan lidahnya. "Kasihan!" katanya dengan suara menyebalkan.
Dirga membuang muka, dia marah. Ngambek ceritanya. Dia memang tahu, kalau otaknya sama matematika itu nggak pernah bisa sehati. Namun dikasihani dengan nada ejekan dari Risya, berasa hina gitu menurut Dirga.
"By the way Ga, kita lama-lama kayak anak kembar ya?"
Risya kembali melangkah dan Dirga mengikutinya.
"Kembar? Kok bisa bilang kalau kita kayak kembar?"
Risya menolehkan wajahnya. Menatap Dirga yang menatap jalanan yang dilaluinya.
"Kita sama-sama jomblo, walaupun lo jones dan gue jomblonya karena milih jomblo aja."
Dengkusannya keluar lagi. Sepertinya mereka berdua suka menistakan satu sama lainnya. "Lupa, lo kan jongil, Ris! Jomblo tengil!"
"Ya... nggak papalah, daripada jones. Jomblo, ngenes."
Dirga tidak menjawab lagi. Karena ia sadar, semakin ia menjawab maka semakin berani pula Risya membalasnya.
"Ga, lo kok nggak jawab."
"Nungguin lo kelar ngomong aja, baru gue mau jawab. Terus kenapa lo bilang kita kayak anak kembar?"
Karena dalam hatinya, Dirga ogah mempunyai kembaran semacam Risya. Udah narsis, sok pinter, sombong pula, belum ketengilan dan sifat menyebalkannya.
"Ya gimana nggak kembar, lo di mana gue di sana. Lo di sini, gue di sini. Dari yang dihukum sampai main ke mana-manapun, gue pasti ada di belakang lo, mengikuti atau sebaliknya."
Dirga berhenti melangkah. Jika dipikirkan lebih lanjut ada benarnya juga ya?
Dia dihukum, Risya pasti ikut. Dirga di manapun, pasti ada Risya juga yang ngikut. Dan mereka ke mana-mana, pasti salah satunya akan mengikutinya.
Dan di situlah ia menundukkan wajahnya kecewa.
Mengapa ia baru menyadarinya sekarang?
Mengapa ia baru sadar, bahwa ia dan Risya seperti saudara kembar yang tak terpisahkan?
Dan kenapa, sekarang Dirga merasa, ia tidak mau diikuti oleh Risya lagi?
"Ga, lo kenapa berhenti?"
"Ris, kita putus ya?"
"Hah!"
"Gue nggak mau jadi kembaran lo lagi."
Lalu Dirga berbalik meninggalkan Risya dengan mulut menganga dan tampang begonya. "Hah!"
Kok gue berasa abis diputusin sama doi, ya?