~~~
Rasa memang terlihat sederhana dan biasa saja, tapi siapa yang tahu? Cara memaknai rasa itu sulitnya bisa luar binasa.
~~~~
Sekolah. Dirga tahu ia akan kembali ke tempat ini. Bertemu dengan si Jongil yang pasti siap mengganggu hari-harinya lagi. Ya begitu, tidak akan berhenti, walau Risya telah menemukan penggantinya yang baru.
Hembusan napasnya terdengar berat dan kasar saat telinganya menangkap suara langkah berderap mendekat ke arahnya.
Dirga tahu pasti itu Risya, jadi ia bersiap-siap saja. Topinya ia lepas dan ia pegang di tangan kanan sambil berjalan.
Tepat ketika suara langkah itu seperti berada di belakangnya. Dirga berniat menoleh, tapi tepukan di punggungnya lebih cepat.
Ia berjengit, melompat ke depan dan memegangi punggung yang baru saja mendapat pukulan maut ala Risya di pagi hari. Wajahnya terlihat kesal saat berbalik menghadap gadis yang kini menunjukkan cengiran ke arahnya.
"Pagi Dirga!" sapa Risya dibuat semanis mungkin.
Dirga melihatnya jijik. "Pagi juga Ngil, apa kabar?" sahutnya yang dibalas Risya dengan bibir mengerucut.
"Kabar baik. Lo sendiri?"
Dirga mengangguk-angguk. "Kelihatannya gimana?"
"Dih... Ga, pinjem topinya dong!" ujar Risya tiba-tiba.
"Mau lo apain topi gue? Mau lo jual ke pasar loak?" tanya Dirga waspada.
Kan bisa saja? Topinya cukup laku di pasar loak, kalau dijual seribu perak kan lumayan ... tapi, bisa dapet apa kalau duitnya cuma segitu?
"Pinjemin aja apa susahnya sih? Gue lagi bahagia ini, sekaligus penasaran juga. Ada yang aneh masa sama hidup gue," curhatnya yang mendapat kenyitan alis dari Dirga.
"Masalah apa? Soal si Daffa yang tiba-tiba PDKT ke elo? Atau masih ada masalah lainnya?"
Mata Risya memincing tajam. "Loh, elo kok tahu?" tanyanya curiga.
" Ya, kalian kemarin pulang barengan, kan? Kali aja ada masalah sama dia?"
Risya mengerucutkan bibirnya. Dengan cepat ia merampas topi Dirga dan membawanya berlari dengan memakainya di atas kepala.
"Topinya gue pinjem dulu ya!" teriak Risya yang kini menyisakan Dirga yang menganga menatap kepergian sahabatnya.
***
"Elo beneran udah mulai PDKT sama dia?" tanya Dirga sewaktu mereka tak sengaja berpapasan di koridor.
Keduanya berhenti, berdiri dengan punggung menghadap punggung. Tak ada niat satu pun dari Daffa maupun Dirga untuk berbalik dan menghadapkan muka.
"Kenapa? Apa lo berubah pikiran?"
Dirga terkekeh. "Lebih baik, lo cepetan dapetin dia-nya, mumpung rasa dia ke elo belum sirna sepenuhnya!"
"Gue masih butuh waktu buat milikin dia, tapi yang pasti ... Risya bakal jadi milik gue. Jadi, kalau lo sampai berubah pikiran. Mending lo buang jauh-jauh aja perasaan lo itu!"
Dirga tertawa. "Nggak akan ada rasa yang berubah di hidup gue. Risya bukan apa-apa, dia hanya temen, nggak lebih."
Daffa tersenyum sinis. "Siapa yang tahu rasa seseorang, kecuali saat dia telah menyesal?"
Dirga berbalik. Menghadap punggung Daffa yang berjalan menjauhinya. "Maksud lo apa?"
Tak ada jawaban, Daffa telah pergi meninggalkan Dirga dengan ribuan tanya di dalam pikiran.
Rasa memang terdengar sederhana, tapi sebenarnya ia sangat rumit jika mereka berani menelusurinya.
Namun Dirga bukan orang yang terpaku pada rasa, lebih lagi rasanya pada Risya.
Ia sangat yakin, di antara mereka berdua tidak akan menghasilkan apa-apa, tapi mengapa kini ia mulai gelisah?
Ia merasa takut jika Risya meninggalkannya. Ia mulai merasa bahwa hidupnya akan sepi jika Risya tiada. Padahal mereka hanya teman biasa? Ya, Dirga akan pastikan bahwa mereka berdua hanya teman.
Risya dan Daffa boleh bersama, tapi Risya tidak boleh melupakannya sebagai temannya. Itu adalah tekad Dirga yang sebenarnya.
Untuk kali ini.