Cinta tak selamanya bisa dilihat. Kadang mereka hanya menyiratkan, bukannya menyuratkan rasa.
~~~~
Ia hanya sanggup melihat mereka dari kejauhan. Dengan mata tertutup rapat dan telinga yang sibuk mendengarkan.
Caci maki, ejekan, bahkan semuanya yang dilontarkan untuk mereka yang menjauhi tempatnya.
Daffa tersenyum sinis saat telinganya menangkap kata-kata menyakitkan tersebut.
"Mereka kayaknya pacaran deh?"
"Lihat tuh si Risya, deket amat sama Dirga?"
"Katanya naksirnya ke Daffa, kok deketnya sama Dirga sih. Dasar munafik!"
Risya nggak munafik, dia hanya berlaku apa adanya, belanya di dalam hati.
Namun semua itu hanya pembelaan hati, bukan lisannya yang berani membalas suara-suara mereka ini.
Daffa berdiri, berjalan pergi. Meninggalkan kelasnya yang lagi-lagi penuh bisikan sana-sini.
Ia ingin pergi dan menyendiri. Menikmati sepi juga kekagumannya pada Risya yang tak pernah berhenti.
Daffa mengakui, ia menyukai Risya.
Gadis jahil dan menyebalkan yang memiliki kata-kata tanpa alat penyaringan.
Risya yang menurutnya lucu juga menyenangkan.
Ia tersenyum sendu. Karena Risya tidak mungkin menyukainya.
Dalam hidup Risya, yang ia punya hanyalah Dirga dan Dirga. Dirga yang selalu ada di sisinya, menemaninya, dan melindungi Risya tanpa gadis itu ketahui.
Sedangkan Daffa?
Ia bukanlah apa-apa. Ia hanyalah pemain figuran yang tak akan menjadi pemeran utama. Senyum sinis kembali ia ukir di bibirnya saat ia merebah dan menghadap angkasa.
Atap sekolah. Dengan mata memejam. Ia menikmati terik panas mentari di siang hari.
"Daffa ngapain di sini? Bolos juga ya?"
Matanya yang semula memejam perlahan terbuka. Seperti ironi, ia melihat wajah polos itu berada di atasnya. Menutupi cahaya matahari yang sejak tadi dicarinya di sana.
"Daff, lo kesurupan setan ya?"
Bahkan kata-katanya terasa nyata.
Ia tersenyum sinis. Mengapa Risya harus muncul juga di mimpinya?
Tidak cukupkah hanya pikirannya saja yang teracuni oleh tingkah gadis itu padanya?
"Dia kayaknya lagi mimpi indah tuh, lihat aja wajahnya. Kayak ayem banget ngelihat lo di atas muka dia!"
Suara Dirga.
Daffa langsung menoleh ke sumber suara. Dirga di sana.
Dengan kening mengerut, bibir mengatup rapat, dengan geraman pelan yang kini membuat Daffa langsung terbangun dari rebahannya.
"Ngapain lo di sini?" tanyanya tanpa sadar ke arah Dirga.
Dirga mendengkus. "Lo pikir ini tempat pribadi?"
Risya sendiri hanya mundur selangkah dan menatap dua laki-laki itu secara bergantian. Ia merasa ada yang aneh, tapi apa itu?
Dirga menaikkan satu alisnya sebelum bertanya, "Lo bolos nih ceritanya? Tumben amat?"
"Lagi pengin aja."
Daffa membuang muka. Enggan melihat wajah Dirga yang lama-kelamaan bisa membuatnya sakit mata, juga rasa sepet tanpa alasan.
Jadi ini bukan mimpi. Ini nyata. Mereka di sini bersamanya.
Mata Daffa menghadap Risya yang kini tersenyum malu-malu menatapnya. Tangannya meremas ujung rok pendeknya dengan erat, bahkan sampai terangkat sedikit.
Banyak juga nggak papa kek, ini namanya rezeki!
Pipi Daffa tanpa sadar memerah melihatnya. Membayangkan jika rok itu terangkat sedikit lebih tinggi lagi dan--
"Cuitt... cuitt...."
Bangsat lo Ga!
Risya menoleh dengan cepat, menatap Dirga dengan alis terangkat. "Kenapa Ga? Nemu burung pipit?" tanyanya penasaran sembari mendekati Dirga yang berdiri agak jauhan dengan tempat duduk Daffa.
"Burung apaan? Nggak ada burung lewat!"
"Lah, elo ngapain siul-siul kalau nggak ketemu sama burung!"
"Ya, lagi pengin aja. Emangnya masalah gitu buat lo?"
"Dih, ya enggak masalah sih, tapikan anu--"
"Anu apaan lagi? Dasar si jongil tukang menganu!"
"Apaan lo, dasar jones!"
Dan keduanya kembali bertengkar. Menyisakan Daffa sebagai penonton kisah mereka.
Sudah ia bilang kan sebelumnya?
Daffa itu bukan apa-apa di antara mereka. Daffa tidak ada artinya, dan tidak akan pernah menjadi pemeran utama seperti mereka.
Ia hanya penonton. Pengagum Risya dari jauh dan keheningan yang ia ciptakan.
Walau ia bisa berharap memiliki Risya, tapi ia tahu ... hasilnya akan sia-sia.
Karena Risya bukan ditakdirkan untuknya, melainkan untuk Dirga.