~~~
Mencari, menyelidiki, dan temukan ... kenyataan yang tersembunyi.
~~~~
Topi Dirga masih ada padanya. Ia sengaja meminjam topi itu tadi pagi, karena Risya tidak mempunyai topi selain topi yang menunjukkan almamater sekolahnya.
Risya butuh topi itu untuk membuntuti Daffa. Kedekatan mereka yang secara tiba-tiba tidak membuatnya bahagia, malah ia merasa gundah juga gelisah. Ia bertanya, alasan apa yang membuat Daffa berubah? Namun ia tidak bisa menanyakan semua itu secara langsung kan?
Ia butuh mencari tahu. Menyelidiki semua itu dan mendapatkan jawaban atas soal-soal di dalam kepalanya.
Nanti atau besok. Ia harus mendapatkannya.
Karena bagaimanapun juga, Risya tidak mau dipermainkan. Walau orang yang mempermainkannya adalah Daffa. Cowok yang notabenya adalah orang yang ia suka.
Namun, siapa yang mau dipermainkan? Apalagi isi perasaannya sendiri?
Tidak ada. Tidak ada orang yang mau dipermainkan, termasuk Risya.
Pulang sekolah, ia berjalan di samping Dirga yang terus menerus melirik kepala dan jalan di hadapannya seraya bergantian. Tangan Risya berada di ujung depan topi dengan bibir mengerucut yang malah kelihatan imut.
Andai yang melihatnya hanyalah orang yang ngefans sama Risya.
"Ngil, itu topi gue kenapa dipegang terus? Balikin bisa?" tanya Dirga.
Risya melirik laki-laki itu sinis. "Pinjem bentar apa susahnya sih? Takut kelihatan fans lo, kalau kepala lo itu aslinya botak?"
Mata Dirga melotot tajam. Memang rambutnya tidak panjang layaknya anak SMA. Tidak jabrik apalagi sampai ngecat rambut warna-warni. Rambut Dirga biasa saja, tapi tidak ada yang botak seperti kata Risya sebelumnya.
Dia pakai topi karena memang dia suka saja, memang apa salahnya? Toh, hanya topi bukannya kacamata hitam yang biasa dipakai artis-artis itu kalau keluar rumah?
"Kepala gue nggak ada yang botak, Ngil! Cuma rasanya dingin aja nggak ada topinya," elaknya. Memang rasanya dingin sih, apalagi kena sepoi-sepoi angin begitu.
"Ke lapangan sana! Biar nggak kedinginan."
"Lah, apa hubungannya?"
"Lo ke lapangan, di tengah lapangan kan panas. Ada matahari yang terus bersinar dan moga aja kepala lo panasan sampai kulitnya lepas."
Dirga bergidik. "Sialan! Lo pikir gue apaan sampai kulit kepalanya bisa lepas segala!"
Risya tak menjawab, matanya langsung melihat Daffa yang kini berada di depan ruangan perpustakaan bersama anak sekelasnya.
Cewek yang duduk di sebelah Daffa. Cewek yang merona sewaktu Risya menelak Daffa dulu dengan kata-kata 'jones'nya.
Mereka tampak asik berbicara berdua. Risya terdiam, ini saatnya ia mulai mencari jawaban dari apa yang ia pikirkan.
"Kenapa Ngil?" tanya Dirga tiba-tiba. Matanya ikut melihat ke arah mana Risya memandang, dan ia menemukan Daffa dengan anak sekelasnya. "Cemburu?"
"Sstt... gue mau nyelidikin mereka, lo pulang duluan aja sana!" ujar Risya yang kini semakin menurunkan topi Dirga untuk menutupi wajahnya.
"Nyelidikin?" ulang Dirga dengan wajah nggak paham.
"Iya nyelidikin, lo tahu kan Daffa kemarin kayak ngasih kode mau deketin gue gitu, kan? Nah, kalau dia cuma mau mainin hati gue doang gimana? Capek hati dede, luka juga Bang! Bisa sampai menanah kalau tahu dede cuma dimainin!" katanya lebay yang membuat Dirga bergidik sendiri mendengarnya.
"Najong gue dengernya, Ngil!" makinya yang membuat Risya langsung menginjak kakinya.
"Kenapa elo yang najong, gue yang bicara aja biasa aja. Udah deh yah, gue nggak mau dimainin. Jadi gue mau nyelidikin mereka! Apalagi kalau kita beneran sampai jadian, eh guenya cuma dijadiin selingkuhan?"
Dirga menggeleng-gelengkan kepalanya saat membalas. "Gini ya, ada kalanya hubungan itu harus dilandasi dari rasa percaya. Lo suka sama dia, berarti lo harus percaya sama dia. Terlepas dia mau mainin lo atau enggak, setidaknya kan perasaan lo pernah berbalas, Ngil!
"Dan lagi, pacaran boleh, tapi jangan sampai lupain gue gitu aja!"
Risya menatap Dirga sinis. "Kenapa nggak boleh lupain lo, apalagi lo masih jones. Ntar lo jadi obat nyamuk lagi, kan kasian elonya juga Ga!"
Lagi-lagi Dirga harus memelototinya. "Pacaran boleh, tapi jangan sampai lupa temen. Nanti nyesel pas putus, lo udah nggak punya pacar, temen juga engg---AAA!"
Risya kembali menginjak kaki Dirga, kali ini lebih keras. "Lo nih ya, gue pacaran aja belom, doa lo udah sampai putus-putus aja! Udah ah, gue mau ngedeketin mereka!"
Dan Risya pergi meninggalkan Dirga yang meringis sambil memegangi kakinya.
"Gue cuma nggak mau sedia bahu buat lo kalau lagi patah hati, Ris!"