Kenyataan terkadang memang menyakitkan, tapi itu lebih baik daripada kita hidup dalam kepura-puraan.
~~~
Mereka keluar dari bioskop ketika film telah berakhir. Dirga baru menyadari adanya keanehan di mimik sahabatnya.
Risya banyak terdiam. Bahkan sejak memasuki studio, gadis itu hanya bungkam, tak banyak berbicara. Matanya menatap lurus pada layar, tapi tak ada satu pun ekspresi ia tunjukkan.
Bahkan Dirga ragu, Risya benar-benar melihat adegan demi adegan yang dipertontonkan di layar tadi.
Ia berdehem sesaat sebelum Risya memegang kenop pintu mobilnya dan membuat gadis itu menoleh. "Ada apa, Ga?"
"Lo kebanyakan diem, ada apa?" tanya Dirga tanpa basa basi lagi. Memang aneh jika Risya diam, terlebih ia adalah gadis yang terbiasa ramai dengan bahasan anehnya.
Risya menggelengkan kepala dan berbalik lagi, hendak masuk ke dalam mobil, tapi Dirga menahan lengannya. Membuat gadis itu tetap menatap kepadanya.
"Lo punya masalah? Ada apa? Cerita sama gue, jangan lo simpen semuanya sendiri!"
Risya menggelengkan kepala dan membuang muka lagi, tapi kini Dirga berani merangkum wajah sahabatnya. Membawa mata itu tetap tertuju ke arahnya.
"Jangan pura-pura, jangan bohong! Sebenernya lo kenapa?"
Risya mengembuskan napas kasar dan mengalihkan pandangannya untuk melihat rambut Dirga. Ia tersenyum tipis saat berkata, "Gue tadi kayak ngelihat bayangannya Daffa sama cewek lain di sini, waktu antre tiket. Menurut lo gimana?"
"Daffa nyapa lo?" tanya Dirga waspada.
Bukannya Daffa suka sama Risya ya? Kok dia ada di sini sama cewek lainnya sih?
Mungkin cuma sama saudaranya aja, katanya di dalam hati. Mencoba menenangkan diri sendiri.
"Enggak sih, makanya gue cuma bilang bayangannya aja."
Dirga entah kenapa mengembuskan napas lega. Setidaknya, apa yang baru dilihat oleh sahabatnya beberapa jam lalu bukanlah hal yang nyata.
Iya nyata. Cuma bayangan kan berarti masih setengah-setengah, antara pasti atau memang hanya ilusi.
Ia lega, karena masih ada lima puluh persen kemungkinan Risya bisa salah. Karena, kalau Risya benar-benar melihat Daffa dengan cewek lain, secara tidak sadar Daffa akan menyakiti Risya.
Dan ... yang membuat Daffa berani mendekati Risya adalah Dirga. Dirga yang memberi izin pada laki-laki itu. Bahkan ia yang menyarankannya untuk mendekati Risya.
Jika memang benar Daffa menyakiti Risya, secara tidak langsung bahwa Dirga pula yang menyakiti sahabatnya.
Hubungan rumit dan semoga saja jangan. Dirga pernah melihat keseriusan di mata laki-laki itu beberapa hari lalu, tapi beberapa hari lalu tetaplah sudah terlewati, kan?
Melihat Dirga yang mengembuskan napas lega, Risya pun berbalik dan hendak masuk ke dalam mobil lagi.
Namun bayangan itu kembali. Ia melihat Daffa di sisi yang jauh dengannya. Dia bersama seorang gadis yang sama, berduaan, berdiri, dan saling berhadapan.
Tiba-tiba Risya merasakan dadanya sesak. Ia merasakan sakit di ulu hatinya.
Baru saja beberapa hari lalu mereka dekat. Baru saja tadi siang ia memilih lebih memercayai laki-laki itu daripada siapa pun, bahkan Dirga sekalipun. Namun kini....
Rasa kepercayaan yang ia beri pada Daffa seketika harus luntur saat itu juga. Percuma. Itulah kenyataannya.
Daffa hanya berniat mempermainkannya dan memang seperti itulah laki-laki berengsek di dunia ini. Mata Risya terpejam, ia merasakan sesak perih yang semakin mendalam di hatinya.
Membayangkan semua kondisi terburuk, bila ia tidak mengetahui Daffa yang sebenarnya seperti apa untuk malam ini. Ia mungkin akan menjauhi Dirga, melupakan sahabatnya, lantas menjadi gadis tolol yang mengagumi seorang penghianat.
Dirga yang melihat Risya terdiam pun kembali bertanya, "Lo kenapa, Ngil?"
Risya lagi-lagi menggeleng. "Yuk pulang!"
"Heh?"
"Ayo pulang, lo mau disantet sama Papa kalau nggak nganterin gue pulang sekarang juga?"
"Lah emang kenapa sih? Kok tiba-tiba ngajakin pulang? Bukannya kita mau jalan-jalan dulu, makan gitu sebelum pulang?"
Namun Risya menggelengkan kepalanya lagi. Ia tidak mau ke mana-mana, ia hanya mau pulang.
Masuk ke kamarnya, mengunci pintu, lalu menangis di dalam sana sekeras-kerasnya. Ia perlu menyalurkan sakit di hatinya, dan di depan Dirga yang terbiasa menemui 'tawa'nya? Risya tak akan bisa berbuat apa-apa. Bahkan menangis di depan sahabatnya.
Ia tak bisa melakukannya.
"Ayo pulang aja, gue udah ngantuk!" Dan alasan adalah cara baginya melarikan diri. Dari rasa sakit menyesakkan hati akibat apa yang baru saja ia lihat di depan matanya.
Daffa yang kini tengah berciuman dengan gadis lain.