Ini yang terakhir.
Daffa terus mengulang kata-kata itu sejak tadi. Ia berada di sini bukan karena keinginannya, tapi gadis di hadapannya. Perempuan yang selama ini setia menemaninya dalam batas pertemanan dengan cinta busuk di baliknya.
Gadis itu ... dia yang terus mengharapkan dirinya sejak dulu.
Ini yang terakhir. Ia bersama gadis itu di sini untuk terakhir kalinya, untuk menjadi waktu yang tepat keduanya berpisah dan tak lagi berharap bisa bersama. Daffa ingin bersama Risya, bukan Cita.
"Ini yang terakhir, Ta! Lo tahu itu, kan?"
Cita tak menjawab, ia malah menarik kepala Daffa dan mendekatkan wajah keduanya hingga bertemu. Sebuah ciuman di pinggir jalan. Ciuman biasa, dan itu bukan keinginan Daffa. Dia sudah menolaknya karena hanya sekejap ciuman itu terjadi dan langsung terlepas lagi.
"Ini yang terakhir, seperti kata lo tadi."
Daffa menyeka bibirnya. Inginnya mengumpat, tapi ia belum sebiadab itu untuk mengumpati seorang perempuan. Setidaknya ini yang terakhir, baginya.
***
Air mata adalah hal yang biasa, mengalir begitu saja tanpa bisa dikendalikan tuannya. Sakit mendera di hati, seperti simfoni usang penuh luka yang coba untuk dinyanyikan kembali.
Risya tahu ini akhirnya. Ini akhirnya, ia tak akan pernah bisa bersama Daffa. Bukan karena laki-laki itu tidak bisa digapai olehnya. Namun, karena laki-laki itu bukanlah orang yang tepat untuk dipercaya.
"Baru kemarin kau mengatakan cinta, lalu sekarang kau melakukan hal ini. Lantas, bagaimana jika bulan bahkan tahun berlalu di antara kita berdua, Daffa?"
***
Dirga hanya melihat Risya dari balik pintu kamar gadis itu. Napasnya berembus kasar. Ia berbalik dan pergi meninggalkan kamar untuk menghadap kedua orang tua yang menanti penjelasannya.
Bibirnya tersenyum tipis saat menghadap mereka, sebelum ia menggelengkan kepalanya.
"Maaf, aku akan berusaha sekuat tenaga agar dia bisa kembali tersenyum seperti sedia kala. Itu sumpahku, sebagai teman yang selama ini hidup di sampingnya."
***
Siangnya, di sekolah. Daffa dengan gencar mendekati Risya, tapi sebaliknya, Risya sangat gencar melarikan diri dari laki-laki itu. Bahkan Risya harus bersembunyi di toilet saat jam istirahat tiba dan tidak kembali ke kelas hingga sekolah bubar.
Membolos, itu lebih baik. Risya tidak sanggup melihat mata Cita yang setiap saat menatapnya dengan luka. Ia bukan penghancur hubungan orang, ia pun tidak menginginkannya. Jika saja ia tahu sejak awal, ia tidak akan seberani itu mencintai Daffa.
Lebih lagi ... ia telah membuat satu hati kecewa dan terluka karena cintanya.
Daffa yang tahu Risya menghindarinya pun menatap Dirga dengan tajam. Namun, Dirga sama sekali tidak mengacuhkannya. Laki-laki itu menganggap Daffa seperti hantu yang tidak terlihat di matanya.
"Oi!" panggilan itu tak juga Dirga tanggapi. Daffa benar-benar transparan di mata orang itu. "Gue ngomong sama lo!"
Daffa menggebrak meja Dirga dengan kasar dan barulah Dirga mendongak untuk menatap wajahnya. "Ada apa heh?"
"Ada apa sama Risya?"
"Kenapa lo nggak nanyain ke diri lo sendiri?" Mata Dirga terhenti pada gadis yang diam-diam menoleh ke arah mereka berdua. "Lebih baik lo lupain Risya, gue nggak bakal nyerahin temen gue ke orang bajingan kayak lo!"
Bughh....
Daffa memukul Dirga. Sangat keras hingga Dirga terjatuh dari kursinya. Dirga berdecih lalu berdiri, wajahnya datar tak menunjukkan emosi.
"Risya nggak akan pacaran, gue yang bakal jadi jaminan buat ngelindungin dia. Dan elo! Lo nggak bakalan bisa deketin dia, nyerah aja buat deketin Risya, lalu fokus sama cewek lo yang di sana!"
Daffa menggeram. "Gue sama Cita nggak ada apa-apa, kita udah berakhir!"
Dan gue nggak peduli, batin Dirga dengan tawa busuknya.
"Terus apa yang mau lo lakuin sekarang? Nembak Risya? Dasar tolol!"
Daffa tersulut emosi, ia kembali melayangkan pukulan kepada Dirga yang masih setia menerimanya saja. Dirga tak memiliki keinginan untuk membalas, sekalipun kini ia terlihat menyedihkan di antara mata-mata yang menatap keduanya dengan wajah penasaran.
"Gue nggak masalah, mau lo nembak dia atau mau lo apain dia? Tapi, sekali aja lo buat dia nangis, gue nggak akan ngasih ampun gitu aja ke elo!"
Dirga menyeka darah di sudut bibirnya sebelum pergi keluar dari kelas itu. Menyisakan Daffa yang membeku di tempatnya.
Buat apa dia memukuli Dirga? Memang apa hubungannya kisahnya dengan Risya pada Dirga?
***
Risya tidak menyadari bahwa Dirga menemukan keberadaannya. Dia masih ditemani air mata di pipi saat berbalik dan melihat Dirga yang tersenyum miris ke arahnya.
"Dirga!" panggilnya terkejut.
Dirga tak menjawab, ia malah berjalan mendekati Risya hingga berdiri di sebelahnya. "Belum lelah lo nangis dari kemarin, heh?"
Risya mengusap matanya dengan kasar, walau ia masih sesegukkan kecil, tapi kini air matanya sudah berhenti mengalir.
Keduanya terdiam, mata terarah pada apa yang terlihat di balik jendela. Kelas kosong yang tak lagi digunakan sejak lama, karena sebuah alasan keangkeran.
"Kenapa lo nangis?" tanya Dirga ketika bel pergantian pelajaran kelima telah berbunyi.
Risya tak menjawab, matanya masih terfokus untuk melirik lapangan di bawah sana.
"Sebenernya, apa yang lo lihat malam itu?"
"Gue ngelihat mereka ciuman di pinggir jalan."
Dirga hanya menoleh sekilas, melirik gadis yang terbiasa tersenyum dan menjahilinya itu dari ekor mata. "Terus, masalah lo apa sampai nangis segala?"
Wajahnya yang datar saat mengatakan itu membuat Risya memiringkan tubuhnya. Menghadap Dirga yang babak belur karena pukulan entah siapa. "Ga, lo ... lo abis berantem sama siapa?"
Risya mencoba mengabaikan soal Dirga dengan tangan terangkat dan bersiap menyentuh luka lebam laki-laki itu. Namun Dirga segera menepisnya dengan kasar.
"Ini bukan masalah penting. Jawab aja pertanyaan gue, lo nangis karena apa? Karena Daffa ciuman sama cewek lain bukannya elo gitu?"
Bibir Risya terkatup rapat-rapat. "Gue nggak tahu Ga, rasanya gue kayak dikhianatin sama dia."
"Padahal lo sama Daffa pacaran aja kagak? Apa lo pengen dicium sama dia dan jadi gadis tolol juga?"
"Maksud lo apa?"
"Jujur aja gue seneng, lebih baik bukan elo yang ciuman sama dia malam itu. Karena apa? Ciuman itu nggak seharusnya dilakuin sama anak SMA."
Mata Risya membelalak menatap laki-laki di hadapannya. "Maksud lo ngomong ginian apa sih?!"
Dirga tersenyum tipis. "Gue suka sama lo, sebagai sahabat, sebagai teman, dan lebih dari itu. Gue sayang sama lo, maka gue bakal ngelindungin lo. Gue nggak pernah mau pacaran, bukan karena gue homo atau nggak doyan cewek, tapi gue punya prioritas utama selain pacar. Yaitu belajar, kita itu pelajar Ngil. Jomblo juga nggak berarti hina kan? Lalu buat apa lo pacaran?"
"Ga!"
"Dengerin gue," Dirga menangkup kedua pipi Risya dengan tangannya, "gue lebih suka lo yang biasanya, jahil, usil, tengil, dan bisa bikin gue marah-marah. Gue suka Risya yang itu, yang penuh tawa bukannya air mata. Gue suka sama diri lo apa adanya, Jongil kan? Lalu saat lo punya pacar, siapa yang bakal tengil lagi ke gue? Siapa yang bakal nyebelin kek elo lagi ke gue? Lo masih bisa kayak gitu, tapi nama lo bukan jongil lagi."
Dirga mencoba melucu, dengan tawa sumbang yang keluar dari mulutnya. Namun Risya malah menitikkan air mata. Haru menyelimuti hati dan membuatnya bahagia.
Ia menarik tubuh Dirga dan memeluknya. "Maaf, gue nggak bakalan gini lagi! Gue bakalan balik kayak dulu lagi, jadi jongil lo kayak biasanya."
Tangan Dirga terangkat, menepuk puncak kepala sahabatnya dan membelainya pelan-pelan. "Iya, iya... lagian kalau lo pacaran. Lo juga yang bakal rugi Ngil!"
"Kok bisa?"
"Coba bayangin, lo pacaran, lalu diajak pegangan tangan, besoknya ciuman, terus besoknya lagi anu-anuan, abis itu dilupakan. Balik lagi jadi ngenes, jones lo nemenin gue tapi nggak ada yang bisa lo banggain lagi abis itu. Udah bekas, udah sam--"
Plakkk...
"Dih, bibirnya kalau ngomong dih! Kek nggak punya rem. Yang jones kan elo Ga, jangan bilang lo udah jadi sampah orang lain juga ya!"
"Eh bangsat! Gue ini ngasih tahu malah gue yang kena hina!"
Plakkk...
"Tuh kan, ngomongnya ancat-ancatan! Dasar jones, bekas sampah cewek lo mah!"
"Anjuuuu, kok ganti gue yang gantian dibully mulu!"
Lalu Risya tertawa, disusul Dirga yang ikut tertawa. "Ngil, jangan pacaran dulu ya. Biar gue bisa puas manggil lo Jongil tiap harinya. Argghh!"
Risya menginjak kaki Dirga dengan sekuat-kuatnya. "Ah makasih kakak, kamu baik deh sampai ngingetin dedek unyu ini!"
Esoknya Daffa menghadap Risya yang membalasnya dengan senyuman manis seperti biasa. Daffa terheran dan salah mengartikan maksud senyuman itu.
Dia memutuskan untuk menyatakan perasaannya saat itu juga. "Sya, gue suka sama lo, kita pacaran ya?"
Risya mengerjap beberapa saat sebelum tertawa. "Ah enggak ah. Ntar lo selingkuh gue yang patah hati lagi!" balasnya sambil tertawa. "Gue mau belajar aja Daf, bentar lagi UNAS juga. Lo nggak kasihan kalau gue nggak lulus ujian karena patah hati?"
"HAH?"
"Udah ah, gue juga masih pengen dipanggil jongil lagi."
Daffa membeku, sedang Risya menatapnya dengan kepala yang dimiringkan lucu. Melihat Daffa yang seperti batu, Risya pun mengangkat tangan dan menepuk-nepuk pipi laki-laki itu tanpa dosa.
"Lo ngapain, Ngil?" Dirga muncul dari balik pintu dan menatap dua orang itu dengan kening berkerut.
"Ini si Daffa, kayaknya nyawa dia udah nggak ada deh!"
Dirga mendekat, tepat di depan wajah Daffa yang masih membeku menatap gadis di hadapannya.
"Gue bantuin nyadarin ya!" Tangan laki-laki itu terkepal dan---
Daffa menghindari pukulannya.
__TAMAT__