Chereads / Jongil : Jomlo Tengil / Chapter 3 - Bab 03

Chapter 3 - Bab 03

Kabarnya, cinta itu sederhana. Tumbuh kuat di dalam dada dan menjadikannya pondasi untuk bisa hidup di semesta.

~~~~

Cinta. Cinta.

Setiap memikirkan satu kata lima huruf itu pasti bisa membuat Risya berpikir macam-macam.

Apa itu cinta? Dan bagaimana rasanya? Yang ia tahu hanyalah rasa sukanya pada Daffa yang tak pernah terbalaskan.

Gadis itu melirik Dirga yang sibuk dengan bukunya. Sedang tangan kanan laki-laki itu berada di bawah meja, bermain handphone di tengah pelajaran matematika.

Ia mendengkus. Itu kebiasaan Dirga. Walau matanya kelihatan serius seperti lagi belajar matematika, tapi otaknya tengah melalang-buana entah sampai di mana.

Risya menarik napas dan mengembuskannya dengan kasar. Ia kembali menghadap papan tulis sebentar, sebelum menghadap Daffa. Laki-laki paling tampan dan baik hati menurutnya.

"Oi!" Satu sikuan di perutnya membuat Risya menoleh.

Melihat Dirga yang kali ini menatapnya dengan serius. 

"Ada apaan? Sibuk aja lo, urusin aja tuh hape lo di laci!" katanya cuek dan memalingkan mukanya kembali. Menghadap sang pujaan hati yang tiba-tiba izin pergi.

"Ajarin gue nomor empat, ini gimana caranya?"

Risya menoleh sekilas, melihat soal nomor empat sebelum mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia menaikkan tangan, dan bertanya dengan lantang ke arah guru yang tengah mengajar.

"Pak!"

Dirga merasakan firasat buruk. Entah mengapa kini ia merasakan sebuah aura iblis menguar di sekitarnya. Dan ia memperhatikan Risya tak berkedip.

"Ya Risya!"

"Pak, nomor empat gimana caranya? Dirga katanya belum bisa."

Glekkk....

Nah kan, aura iblis yang dirasakan Dirga beneran dari orang yang duduk di sampingnya, kan?

Guru tua botak itu menoleh ke arah Dirga. "Ya Dirga, mana yang belum kamu bisa?" tanyanya dengan kaki melangkah mendekati meja mereka berdua.

"Nomor empat, Pakkk!" kata Risya dengan nada mencicit di akhir kalimatnya, karena Dirga langsung menginjak kakinya.

Duh, emang dia pikir diinjak cowok itu nggak sakit apa ya?

Risya meringis menahan sakit. "Nomor empat yang mana, Ga?"

"Eh itu, anu Pak!"

"Anu apa Ga? Loh Risya, kamu kenapa? Kayak kesakitan gitu?" tanya Pak tua botak itu sembari melirik Risya yang menunduk.

Namun Risya tak menjawab, ia memilih menggelengkan kepalanya. Membungkam mulut dan diam. Ia membiarkan Dirga berlaku sesuka hatinya saja, daripada kakinya yang lain menjadi korban selanjutnya.

Bisik-bisik teman satu kelasnya pun mulai terdengar, tapi Dirga memilih mengabaikan semuanya. Ia menatap Pak tua botak itu dengan senyuman sebelum membalas, "Risya hanya bercanda Pak, dia bisa bantuin saya jawab semua soalnya kok. Makasih Pak!"

Dan Bapak itu mengangguk, lalu pergi meninggalkan Dirga yang menghela napasnya lega. Sebelum ia berbalik untuk menghadap Risya yang masih menunduk dengan ringisan sakitnya.

"Ris, lo nggak papa? Maaf deh ya, tadi cuma refleks aja!"

Risya mendongak. Wajahnya tampak marah saat menghadap Dirga yang langsung meringis tidak enak. "Lain kali mikir dua kali dong kalau mau nginjek sepatu orang! Lo nggak tahu apa, kaki cewek sama cowok itu beda! Kaki lo lebih gede. Lebih berat juga. Jadi, rasa sakitnya bisa berkali-kali lipat!"

"Iya, maaf ya Ngil!"

Risya membuang mukanya. Membiarkan Dirga merasakan rasa bersalah karena telah menginjak kakinya. Namun mata gadis itu langsung menangkap sosok yang kini masuk ke ruang kelas.

Laki-laki dengan wajah yang masih agak sedikit basah karena baru saja dibasuh. Tampan. Sempurna. Dan entah mengapa Risya jadi terpaku untuk melihat Daffa seorang di matanya.

"Andaikan cinta pangeran cuma untuk tuan putri seorang."

"Mulai deh ngelanturnya--WADOOHHH, KAKI GUE!"

Dan Risya menginjak kaki Dirga dengan sekuat tenaga. Sebagai pembalasan yang tadi, juga sebagai balasan akan kata-kata Dirga yang sukses membuat mood Risya memburuk.

Akan tetapi, Dirga berteriak saking kerasnya dan mengundang semua pasang mata melirik ke arah mereka berdua.

"Kalau kalian mau pacaran, di luar aja sana!" balas Daffa seketika.

Hening tercipta. Suara jangkrik beradu dengan detik jam di depan sana. Daffa membuang tatapannya dan Pak Tua itu kembali menatap Dirga serta Risya dengan amarah.

"Kalian berdua, keluar!"

Risya dan Dirga berdiri dengan berat hati. Terutama Risya, ia agak sakit hati akan kata-kata yang dilontarkan Daffa pada mereka beberapa saat lalu.