Hanya misteri yang tahu bagaimana kisah kami bisa menjadi seperti ini.
~~~~~
Risya dan Dirga tengah berjalan berdampingan menuju atap sekolahan. Tinggi Risya yang hanya sebahu Dirga itu membuat mereka terlihat layaknya pasangan kekasih yang mau pacaran di atap sekolah.
Padahal aslinya ... mereka cuma teman yang enggak tahu kapan mereka mulai berteman.
"Ris, lo bisa nggak kalau ngomong agak dijaga sedikiiittt aja?" tanya Dirga sewaktu mereka menaiki undakan tangga.
Risya menoleh. Wajah polosnya menatap Dirga tanpa kedip sebelum membalas, "Emang gue ngomong apaan sih, Ga? Soal yang manggil lo jones tadi? Mau dipanggil jones beneran?"
Mata laki-laki itu melotot, bahkan rasanya mau melompat keluar. Risya sudah biasa memanggilnya jones ketika keduanya bersama. Bertengkar atau terlibat percakapan.
Dan sekarang Risya bertanya pada Dirga seperti itu?
Mau dipanggil jones beneran?
Dirga tidak gila. Dia waras. Seratus persen dia bukan jones. Dia itu ganteng, cogan nomor satu di sekolah ini dan Risya berniat memanggilnya dengan kata sapaan itu?
Ayolah, jangan gila. Mana ada cogan yang mau dipanggil jones ke mana-mana?
Dasar gila! Mana mau gue dipanggil kayak gitu!
"Ya kagaklah, maksud gue tuh--"
"Maksud lo apa? Udah nggak mau jomblo lagi dan mau ngajakin gue pacaran begitu? Ah sorry yah, nggak level gue sama elu!"
Mereka sampai di atap. Dirga menghentikan langkahnya. Membiarkan Risya berjalan meninggalkannya, sebelum berhenti dan berbalik menghadap dirinya.
"Kenapa berhenti?" tanya gadis itu masih dengan nada polos tak berdosa.
Dirga merasa harga dirinya sebagai cogan nomor satu seantero sekolah perlahan memudar hanya karena kata-kata ajaib dari Risya.
"Ngil!"
"Ngil?" tanya Risya dengan alis terangkat sebelah dan bibir berkedut menahan sebuah umpatan keluar dari sana.
"Lo kayaknya perlu kaca deh. Jangan narsis gila kayak gitu, sok jual mahal segala pula!"
"Ih maksud lo apaan sih, Ga?" tanyanya kebingungan. Apakah Dirga mendadak kesurupan?
"Lo tadi bilang apa? Nggak level sama gue? Lah yang suka sama lo juga siapa. Narsis tingkat dewa ya lu!"
"Ih anjay, gue bercanda doang tadi!" balas Risya tidak terima. "Terus apaan tadi lo manggil gue 'Ngil-ngil' segala? Lagi ngejek nih ceritanya?"
"Kenapa kalau iya? Marah apa nggak terima?" balas Dirga tersulut emosi juga.
"Ya kagaklah, gue emang pendek tapi gue nggak mau lo panggil 'Ngil', gue enggak mungil. Yang mungil tuh debay, bukan gue!"
Dirga mengangkat satu alisnya. "Yang bilang kalau Ngil itu dari kata mungil emangnya siapa?"
"Lah terus apaan?"
"JONGIL!"
"WHAT IS JONGIL?"
"Jomblo Tengil." Dirga mengangkat bahunya tampak puas.
Jika Risya biasa memanggil semua orang yang belum punya pacar dengan kata 'jones', bahkan Daffa pun mengalami hal serupa--Dirga jadi tersenyum miris ketika mengingat peristiwa pagi tagi. Maka, Dirga punya panggilan baru buat cewek itu.
Jongil. Alias jomblo tengil.
Julukan khusus dari Dirga untuk Risya yang mulutnya agak tidak sinkron dengan isi otaknya. Untuk Risya yang selalu menjahilinya dan juga sangat menyebalkan untuknya.
Si Jomblo Tengil alias Jongil yaitu Clarisya Zella.
"Gue jongil? Lo jones?" Risya berkata dengan nada terbata dan pelan sebelum mendongak untuk menatap wajah Dirga.
Gadis itu terseyum. Senyum gila yang malah diartikan Dirga sebagai senyum psikopat dan membuatnya melangkah mundur tanpa sadar.
Risya tertawa. "Gue jongil, lo jones! Aaaa...."
Dan gadis itu berlari menubruk Dirga dan langsung memeluk sahabat yang kini terjatuh di atas lantai atap sekolah.
"Ris, Ris... jangan kumat Ris! Gue lupa nggak bawa obat lo Ris!" teriak Dirga panik.
Lebih lagi gadis itu kini menindih perutnya dan masih tertawa menyeramkan layaknya psikopat.
"Gue jongil, lo jones! Sesama jomblo. Mari kita berteman dan rayakan!" teriak Risya yang langsung menabok pipi Dirga hingga memerah.
"Tapi gue nggak tengil, Ga! Gue cuma ngeselin, wleee!"
Setelahnya ia bangkit, meninggalkan Dirga yang meneguk ludahnya susah payah. Posisinya masih sama. Kaku seperti tak bernyawa.
Perasaan, tadi Dirga mau membawa Risya kemari karena mau menegurnya soal kata-kata gadis itu pada Daffa. Lalu kini?
Apa yang berakhir padanya malah terlihat layaknya bencana.
"Ingatin gue supaya nggak mengundang sisi tengilnya bangkit lagi ke permukaan!"
Ya ingatkan Dirga. Agar ia tidak membangunkan sisi terdalam perempuan itu dan membuatnya ketakutan seperti tadi.
Dan entah mengapa kini ia berpikir.
Bagaimana awal mereka bisa berteman sampai seperti ini ya?