"Jangan pernah jatuh hanya karna kehilangan satu-satunya harapan."
Chelsea mendengus kesal saat melihat Evelyn dengan sembarangan memainkan akun instagramnya. Tapi, mau di hentikan bagaimana pun, Evelyn tak terkalahkan.
Dulu, saat gadis jangkung ini masih berusia sekitar 13 tahun, ia bertemu dengan Eve. lebih tepatnya, Eve telah membantunya bangkit dari keterpurukan terbesarnya.
Harus kehilangan mama tercinta, adalah kesedihan paling abadi bagi Chelsea. Dan, setelah mama pergi, hidupnya terlalu hancur dan sangat sulit untuk disusun sendiri.
Sekarang ia bersahabat dengan Evelyn, banyak cerita memilukan yang Chelsea tau tentang Eve.
Ia sadar, kesedihannya tak separah kesedihan Evelyn, Dan Evelyn pandai untuk menyembunyikannya lewat senyuman. oleh karenanya, ia bertekad untuk melanjutkan hidupnya dengan membuka lembaran baru dibantu dengan kehadiran Evelyn.
"Chel," panggil Eve sambil memukul bahu Chelsea yang melamun.
"kemaren papa colapse!"
Chelsea langsung terkejut senang
"Syukurlah. Terus, gimana sekarang keadaan om Darren?"
"Masih stabil sih, tapi belum sadar juga!" jelas Eve. wajahnya malah menunjukkan kekecewaan.
"Sabar ya, kalo gitu, nanti gue ikut loe jenguk om Darren ya?"
Eve mengangguk saja. jujur ia berharap papanya cepat sadar, ia selalu berharap seperti itu selama hampir 3 bulan.
"Papa loe chel?"tanya Evelyn balik. Mengingat, sekarang Chelsea tak mau tinggal bersama papanya. ia malah memilih untuk tinggal dirumahnya sendiri.
Chelsea memalingkan wajahnya dari Eve, ia paling tak mau membahas soal keluarga dengan siapapun. tapi, jika Eve yang bertanya, entahlah.
"Chelsea ..., loe masih gak mau pulang dan kumpul lagi bareng keluarga loe?"
"Keluarga kata loe?" tanya Chelsea. Ia masih tak mau memandang wajah Eve disampingnya. "Papa selalu sibuk, bahkan waktu upacara kematian mama, papa malah masih mentingin meeting perusahaannya, dari pada mama!"
"Chel ..., sekarang papa loe udah makin tua, dia butuh perhatian loe!"
Chelsea mendengus kesal. "boleh gue tanya satu hal lagi sama loe?" tanya nya pada Evelyn. dan Eve hanya mengangguk setuju.
"Kalo elo jadi gue, apa loe mau hidup diantara orang-orang yang pernah buat kita teringat hal-hal yang menyedihkan?" jelas Chelsea tak ada konsekuensi lagi.
"dulu, gue berharap papa bisa jadi penawar kesedihan gue, tapi kenyataannya. Harapan satu-satunya malah menambah rasa sedih!"
"jangan pernah jatuh hanya karena kehilangan satu-satunya harapan, chelsea, kita masuk dalam persoalan yang hampir sama. Bedanya, gue gak sekuat loe untuk menahannya!" tambah Evelyn dengan matanya yang mulai berair.
Chelsea memeluk sahabatnya dengan erat. Sadar akan kondisi Eve yang jatuh bangun itu, ia ingin melindungi sahabatnya dengan sepenuh hatinya.
"Eve," panggil Chelsea yang masih menyandarkan dagunya dibahu Evelyn, "maafin gue!"
"Slow aja!" balas Evelyn. Eve pun melepas pelukannya, ia membuka jaket yang menutupi seragamnya.
ya, semenjak ditegur jadul oleh Rey. ia memilih untuk memakai seragam berlengan pendek dan dibalut oleh jaket, daripada harus seragam berlengan panjang.
"Kemaren mama dateng, gue gak bisa nahan." Chelsea paham, jika soal mama. Evelyn akan melukai dirinya sendiri tanpa sadar.
"Seharusnya gue yang minta maaf sama lo, iyakan? Gue belum bisa menuhin janji-janji gue ke elo!"
Chelsea menutup lengan jaket Evelyn dengan lembut. tak sepantasnya ia marah pada Evelyn. Evelyn adalah segalanya, ia tak bisa marah atau hanya sekedar kecewa.
"Balik ke kelas yuk," ajak Evelyn sambil mengulurkan tangannya pada Chelsea, mengajaknya untuk berjalan bergandengan.
Chelsea mengangguk, pertanda ia setuju, lalu mengulurkan tangannya.
Masih disekolah kebanggaan.
High School Noah
Keduanya berjalan melewati koridor belakang sekolah. sengaja Evelyn mengajak nya jalan-jalan dulu. katanya, "biar semangat buat pelajaran ketiga nanti dan otak jadi lebih fresh." Padahal itu cuma modusnya saja.
"Berenti Chel," Tahan Eve sambil memerhatikan suasana ganjil tak jauh darinya.
"Ngapain?" Chelsea malah kebingungan. Namun, tak lama ia juga melihat suasana ganjil itu.
Mereka penasaran dan berniat mendekat.
"Jangan deket'deket woy!" pekik seseorang yang sepertinya tak asing lagi. Dan setelah beberapa kali mereka coba untuk mengingat-ingat. ternyata orang ini,
"Elo cowok yang tadi jalan kekelas bareng Rey kan?" tanya Evelyn memastikan praduganya.
"Eh iya, nama gue Rafael" jelasnya seraya menyunggingkan senyuman.
"Gue Evelyn."
"Chelsea."
Malah pada kenalan gini sih?
"Oh ya kalian bisa pergi dulu," pinta Rafael. ia tak mau melibatkan orang asing.
"Kenapa?" tanya Eve. Rasa penarasannya semakin bertambah saja.
Eve memaksa maju, sedangkan Rafael, ia tak tega jika harus mendorong cewek semanis Evelyn.
"Rey?" Tak sadar ia menyebut nama itu, lalu tak sadar pula, ia mendekat. seseorang yang merasa dipanggil namanya itu pun menoleh.
Rey masih terduduk diatas rerumputan hijau. pelipisnya berdarah, tangannya juga, nafasnya ngos-ngosan. Membuat Evelyn panik.
Mungkinkah Rey berkelahi dengan Rafael? Dan karna Rey sudah hampir kalah Rafael tak mengizinkannya untuk melihat? Agar sekalian saja Rey mati ditangannya? Hal ini yang pertama kali muncul di difikiran Evelyn.
Mungkin dia harus sedikit mengurangi nonton sinetron.
"Eve!" teriak Chelsea dan Rafael bersamaan. Evelyn tak menghiraukannya, ia malah semakin dekat. Dan sekarang, ia berdiri tepat di sisi kanan Rey.
"Ngapa loe kesini?" tanya Rey. Darah dipelipisnya masih mengalir.
"Ayok kerumah sakit!" ajak Evelyn, tangannya meraih tangan Rey yang lemas.
Sedangkan Rafael segera menahannya.
"Gak usah! Dia gak kenapa-napa!" tahan Rafael sambil melepaskan genggaman tangan Evelyn dari tangan Rey.
"Loe? Gak liat Rey sekarat? loe yang bikin dia kaya gni, kan?"
"Eve kita pergi aja yuk," sergah Chelsea, tangannya menarik tangan kanan Evelyn. Namun, tanpa sadar, Rey menahan tangan kirinya.
"Gue butuh loe bentar!"
Ketiganya bengong sesaat. Sampai akhirnya, Rey meminta waktu untuk ngobrol berdua.
"Jadi, bukan Rafael yang bikin loe kaya gini?" tanya Evelyn. Ia memandang heran wajah Rey yang lebam.
"Lu masih aja bego ya? Dia sahabat gue, gak mungkin bikin gue kaya gini!" Rey terkekeh pelan. Tapi, langsung disambut dengan nyeri di pelipisnya.
"Jujur, tadi loe keliatan khawatir banget sama gue!"
Evelyn tersipu, jujur tadi memang ia sangat khawatir.
"Gue cuma kasian ...!" elaknya, meski sebenarnya ia memang khawatir.
"Disini gue cuma mau bilang sama loe," Rey menahan nafasnya sebentar. Dan setelah itu, ia lanjutkan kembali kata-katanya, "cuma Rafael yang tau kebiasaan buruk gue ini, gue menderita BPD sejak smp, (BPD:bordeline personality disorder: yaitu gangguan kepribadian mental yang ditandai dengan suasana hati serta citra diri senantiasa berubah-ubah). Tapi, karna ada Rafael. gue bisa nyembunyiin ini semua dari banyak orang, dan hari ini, loe dan temen loe mergokin gue kumat, gue minta tolong buat rahasiain hal ini, please."
permintaan Rey bukanlah hal yang sulit bagi Eve. Semua orang memiliki kelemahan yang harus dirahasiakan. Mungkin benar, berpura-pura menjadi kuat lebih baik, daripada menunjukkan kelemahan yang ia miliki.
Evelyn mengangguk, sebenarnya ia ingin tau alasan mengapa Rey kumat di sekolahan, dari sedikit pengalamannya tentang BPD, penyakit seperti ini datang ketika seseorang tak sanggup lagi mengendalikan emosinya.
"Makasih ya!" Rey meraih tangan Evelyn, menggenggamnya beberapa detik. Dan Evelyn hanya membeku. tak dapat lagi bicara, ia merasakan Sesak di dadanya, dalam kata lain, ia nervous.
Evelyn merasakan genggaman tangan Rey yang hangat. Jujur, ia juga nyaman, namun rasa nyaman itu hanya sebatas saling menenangkan antara dua orang yang berteman.