Eve mengerjap saat tersadar. Ia berada tepat di pelukan seorang Rey,
Jantungnya berdegup tak beraturan. Cepat-cepat dilepaskannya lengan Rey dari tubuhnya. Namun, saat Eve mengendorkan lengan Rey dari tubuhnya, lengan Rey tak bergerak.
"Nangis aja dulu sepuas lo." tahan Rey sambil kembali mengeratkan pelukannya, ia sadar perbuatannya ini akan membuat dia dan Eve canggung setelahnya, itu bisa difikirkan nanti.
Eve diam membisu, tak dapat mengatakan apapun lagi kali ini, ia tersadar air matanya sudah keluar sejak tadi tanpa ia sadari. Rey pun tak berkomentar apapun akan hal itu, entah karna apa, ia bersedia meminjamkan bahunya untuk Eve bersandar.
Akhirnya Eve tetap diam tak berkutik di dalam pelukan Ret kali ini, memang aneh. Tapi rasanya sangat nyaman, ia merasa sedikit kekacauan difikirannya mereda.
"Sorry!" Suara Eve yang parau terdengar di Telinga Rey. Meskipun, Rey tak melihat bagaimana Eve tiba-tiba mengatakannya.
Rey mengelus pucuk kepala Evelyn dengan lembut, ia memang tak tau banyak tentang perempuan aneh ini. Namun, setidaknya saat ini ia tau, ternyata Evelyn yang keras kepala juga sama dengan wanita kebanyakan. Lemah, hatinya juga mudah rapuh, hatinya tersakiti.
Eve menghentikan tangan Rey yang asik bermain di pucuk kepalanya, setelah tangannya menangkap jemari Rey dan mencengkeramnya, ia pun melepaskan pelukan Rey yang hangat.
"makasih buat hari ini." jelasnya sedikit agak kesal, entah kenapa.
Rey nyengir saja melihat mata Evelyn yang sembab, andai Eve tidak dalam keadaan galau kronis. Mungkin dia sudah tertawa lepas.
Rey mengusap pucuk kepala Evelyn sekali lagi. "Udah puas nangisnya?" tanya Rey sambil menyunggingkan senyuman. Sedangkan Evelyn, ia malah memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Gue gak nangis, tadi cuma kelilipan. Lah lonya malah sok dramatis gtu meluk meluk." jawab Eve sewot. Namun, keliatan sekali jika itu berbohong. "gue mau liat papa, loe pulang gih, udah malem." Setelah mengatakan hal itu, Evelyn pun beranjak dari tempat duduknya, dan begitu saja meninggalkan Rey.
Rey mengejar langkah Eve yang mulai menjauh, di pegangnya bahunya yang sebelumnya ia pinjam kan pada Evelyn. "basah." gumamnya sambil nyengir, ia tau Evelyn malu mengakuinya.
Atas dasar apa Rey ingin sekali menyusulnya? atas dasar apa pula Rey memeluknya? mengapa Rey selalu membuat hatinya bergetar tak karuan? mengapa harus Rey? mengapa Rey harus hadir dalam hidupnya yang kacau,
berantakan, membosankan.
Ia tak ingin Rey terus-menerus ada disaat ia terluka. Ia takut sebuah rasa hadir diantara mereka. Lalu, dengan mudah satu sama lain saling melukai, ia tak ingin mencintai Rey. begitupun sebaliknya, ia tak mau rey mencintainya.
"Eve gue pulang dulu gak papa kan?" tanya Rey yang saat itu sudah berada di hadapan Eve.
Evelyn cukup menganggukkan kepalanya pertanda iya. Lalu setelah itu, tangannya mulai mendorong pintu kamar rawat papanya.
"Eve!" panggil Rey lagi. Sadar bahwa seseorang memanggil namanya, Eve pun menghentikan gerakan tangannya pada knop pintu. lalu menoleh kebelakang, dimana seorang Reyberdiri menghadapnya.
Rey mengacak rambutnya yang tak gatal tersebut, lalu tersenyum. "Besok tetep hadir ke sekolah kan?" tanya Rey sedikit canggung. Andai Rafael belum pulang lebih dulu, mungkin ia bisa menyuruhnya untuk menanyakan hal ini.
Evelyn hanya mengangguk, dan begitu saja meninggalkan Rey yang masih berdiri mnghadapnya.
Setelah tubuh Eve benar-benar hilang dari pandangan matanya. Rey pun melangkah kan kakinya menyusuri koridor rumah sakit. Hari ini cukup melelahkan, ia ingin istirahat dengan cukup malam ini.
"drrd drrd"
Rey merogoh ponselnya yang bergetar di saku celana seragamnya. Satu panggilan dari Rafael.
"Yoi ada apa men!" jawab Rey begitu bersemangat. Ia tak mau Rafael bertanya soal Evelyn jika ia memakai nada sedih dalam suaranya.
"Alhamdulillah lo gak marah-marah sama gue." balas rafa lega. Tak lupa dengan kekehannya yang garing.
Sedangkan Rey, ia tampak bingung karenanya.
"marah kenapa sinting?" balas Rey lagi, suaranya tampak bingung.
"Besok gue jemput deh. Mobil loe dirumah gue?"
Seketika itu pula wajah Rey berubah menjadi masam. Lebih masam dari mangga muda.
"Anjir lo! Gue pulang pake apa goblok?!" sejuta sumpah serampah dilontarkannya asal asalan. sedangkan Rafael malah semakin terkekeh mendengarnya.
"Kan lo sendiri yang nyuruh gue pulang duluan. Nah, kunci mobil lo gue yang bawa. Yaudah berarti itu kebetulan yang tidak disengaja iyakan?"
Rey merutuki kebodohannya sendiri. Tapi sudah terlanjur, lagian Rey memang hanya menyuruh Rafa pulang, tidak mengatakan Rafael harus meninggalkan kunci mobilnya.
Dirogohnya saku celana seragamnya lagi. Kebodohan kedua yang ia sesali lagi, dompetnya tertinggal dimobil, sedangkan kartu kredit, dan uang tunai ada disana.
"Loe bego banget hari ini reyy ...!" Sesalnya lagi, semua memang kesalahannya.
Ruang rawat vip 25
Evelyn meraih tangan papanya yang pucat di atas ranjang, matanya yang sembab kembali menumpahkan cairan bening lagi. Ia benci saat-saat tidak bisa menahan tangisannya sendiri.
Ia tak sanggup kehilangan papanya, bahkan sekedar membayangkannya pun tak sanggup.
"Pa ..., papa tau gak? Eve kangen sama suara papa, kangen main bareng sama papa, Evelyn pingin makan satu meja lagi sama papa, Evelyn kangen segalanya tentang papa. Papa cepet sadar ya? papa cepet sembuh, papa gak mau kan liat Eve ngelawan sakit eve sendiria? Pa, rasanya Eve pingin banget gantiin posisi papa sekarang. kalau boleh, Eve udah gak tahan lagi hidup di dunia ini, Eve udah capek nutupin kelemahan Eve dari semua orang, capek harus berpura-pura bahagia didepan semua orang, Evelyn capek banget pa!" Eve mengeluh sejadi-jadinya pada seseorang yang tak dapat memberi solusi atas apa yang ia alami. Bagaimanapun juga, lelah ini sungguh membuatnya tak berdaya.
Eve kembali merangkul lengan papanya yang lemah,ia lelah menangis hari ini. Sudah berapa kali ia hilang kesadaran, hatinya kacau tak terarah saat mengingat papanya yang hampir saja tak tertolong. Andai saja tadi Rey tak menyusulnya, dan tak menahannya dalam pelukan. Mungkin ia sudah merogoh silet yang ada disaku roknya, dan dengan brutal menyayat lengannya sendiri tanpa sadar.
"Papa! Kenapa ya, Rey selalu ada saat Eve butuh pertolongan? Apa dia jelmaan malaikat?"
Entahlah, mungkin Evelyn terlalu naif untuk mengetahui alasannya.
Eve menjatuhkan kepalanya di atas ranjang papanya. Matanya terpejam karena kelelahan. Lelah menangis dan lelah berfikir.
Sedangkan Rey menatapnya dari balik kaca jendela pintu rawat. Entah apa yang membuatnya melangkah kembali pada Evelyn.
Mungkin saja tuhan memiliki takdir agar ia mendengar Evelyn mengeluh kan kesedihannya hari ini.
Rey tak mengerti sepenuhnya tentang apa yang Eve katakan. Eve memang terlalu rumit untuk dimengerti dan ditebak, tapi jujur saja ia kasihan.