Chereads / ROSE (Hurt RelationShip) / Chapter 7 - Yang Mulai Patah

Chapter 7 - Yang Mulai Patah

Hujan mulai turun perlahan, udara dingin menyelinap sampai ke pori-pori kulit. Eve merangkul tubuhnya yang menggigil, sudah hampir setengah jam ia duduk di pos jaga sendirian, sedangkan mobil jemputannya belum juga tiba.

Beberapa siswa sudah meninggalkan Noah. Mungkin, tinggal beberapa orang yang masih tinggal karena mengikuti kelas tambahan dan extra kulikuler. Sedangkan Evelyn, ia tak berminat mengikuti keduanya. Baginya, belajar seperti biasanya saja sudah bikin pusing, apalagi mengikuti kelas tambahan, Mungkin jaringan otaknya akan mengeluarkan asap bakaran dan hangus.

Evelyn mendengus kesal, geram karna jemputannya belum juga tiba, pdahal ia ingin segera melihat kondisi papa dirumah sakit.

"Awas aja kalo pak dadang udah nyampe, bakal gue ulek buat sambel pecel, huffh" Eve merutuk karena ketidak disiplinan sopir pribadi keluarganya. Awalnya, Evelyn sempat meminta untuk berangkat sendiri, jika tak diizinkan membawa mobil, ia masih bisa naik bis, tapi papa melarang keras hal itu.

"Eh, ada yang kesel kayanya."

Eve menoleh kearah suara yang tiba-tiba, membuatnya yang semula kesal menjadi sangat kesal.

"Ngapain lo?" tanya Evelyn pada seseorang yang duduk di depan kemudi mobilnya, Rey.

Rey tersenyum geli melihat wajah kesal Evelyn hari ini. Ecelyn memang selalu terlihat menggemaskan dimata Rey akhir-akhir ini. Apalagi ketika gafis itu sedang panik.

"Lagi nunggu rafael," jelas Rey. Sedangkan Evelyn tak merespon apa-apa lagi.

"Lo mau pulang bareng gue?" tawar Rey yang langsung disambut dengan gelagat jual mahal dari Evelyn.

"Gak usah sok jadi pahlawan lo!" Sewotnya.

"Siapa juga yang mau jadi pahlawan?

Gue cuma mau nolongin orang yang lagi kesusahan aja tuh."

"Gue gak sesusah yang lo pikir!" geram Evelyn. Matanya kembali melihat jam di tangannya, hampir jam 16:00.

"Yaudah!" balas Rey menyerah. Lalu kembali menutup kaca mobilnya.

"Iih"

Masih disekolah kebanggaan Noah.

Musical room

Disana Jasmine mengikuti extra kulikuker musik.

Jasmine menarik nafasnya yang lelah. Ia baru saja menyelesaikan beberapa tes yang menjemukan. Dan sekarang, ditambah lagi kehadiran Rafael di akhir kegiatannya.

"mau apa?" tanya Jasmine. sebisa mungkin ia akan tetap merespon kehadiran orang ini dengan baik dengan suaranya yang lembut.

Rafael nyengir saja mendengar pertanyaan Jasmine barusan, ia tau Jasmine sedang muak padanya.

"Kalo gak ada apa-apa, gue mau permisi!" tambah Jasmine.

Rafael pun menghentikan tingkah konyolnya itu.

"eh bentar gue mau ngomong!" cegah Rafael sambil mengejar langkah Jasmine. Jasmine pun berhenti.

"Gue lagi gak nerima salam, surat atau apapun itu." jelasnya, sepertinya ia benar-benar ingin menjauhkan Rey dari hidupnya. Sedangkan Rafael tersenyum saja mendengarnya. Memang, dari dulu tingkah Jasmine yang seperti ini selalu membuatnya ingin tertawa.

"Enggak, gue gak bawa salam, surat, atau apapun itu seperti yang loe duga."

Rafael memandang Jasmine dengan tatapan seriusnya kali ini.

"Loe beneran udah tau tentang penyakitnya Rey ?" tanya Rafa to the point.

Jasmine hanya mengangguk. Tak ada jawaban yang bisa ia ungkapkan saat ini.

"Dari mana loe tau?" tanya Rafael lagi. seingatnya, hanya dia, Evelyn, dan Chelsea, yang sudah mengetahui hal ini. Sedangkan kedua cewek itu sudah diperingatkan untuk merahasiakannya.

"Gak perlu tau dari mana gue dapet informasinya. tapi emang kenyataannya gitu kan?"

"Jas loe gak ngerti!" balas Rafa sedikit kesal.

Jasmine menaikan sebelah alis matanya.

"Gak ngerti? Loe bilang gue gak ngerti Raf?" Rasa muak menjalar saat mendengar kata Rafael barusan. Ya, Jasmine sudah sangat muak karena kebohongan ini.

Rafael terdiam, ia bingung harus menjelaskannya dari mana.

"semula gue gak masalah kalo Rey gak pernah mau ngasih alasan dan penjelasan atas perasaanya terhadap gue. tapi, untuk hal yang semacam ini,-" Jasmine menunduk. Benar, ia kecewa.

"Jas!" potong Rafael , membuat Jasmine seketika itupun diam.

"Loe gak terima atas apa yang menimpa Rey?"

"Tanpa loe tanyakan aja. Loe udah tau sendiri jawaban gue, iyakan?" tambah Jasmine lagi. kesal, melihat cara Rafael menyalahkannya. "dua tahun, bukan waktu yang sedikit, dalam banyaknya waktu, yang selama itu aja, dia masih bisa nyembunyiin rahasia terbesarnya dari gue! Loe pikir lagi deh, kalo loe jadi gue apa loe bisa terima?"

"Rey rahasiain ini dari loe, karna dia gak mau kehilangan loe jas!"

"Stop!" pinta Jasmine. Ia ingin menyudahi adu mulut ini sekarang.

"Gue emang gak bisa nerima kenyataan, kalo keadaan dia seperti itu. Puas loe!?"

Rafa yang kali ini mendengus kesal, "jangan salahkan keadaan, semua orang didunia ini pun gak bersedia hidupnya menderita. gue permisi!" kali ini Rafael yang memulai undur diri.

Eve memandang kembali jam tangannya, sudah pukul 16:30, kesabarannya benar-benar diuji kali ini. Sopir pribadinya belum juga datang, Rey masih sesekali menawarinya untuk bergabung di mobilnya. Namun, ia terus menolak. Selang beberapa saat kemudian,

"Drrd drrd"

Cepat-cepat Eve mengeluarkan ponsel disakunya, ada satu panggilan masuk dari mama.

Wajahnya tampak kecewa, dia pikir, akan ada bantuan untuknya atau sekedar kabar baik dari dokter yang mengobati papanya.

"Hallo!?" suara Eve mulai serak karena cuaca yang dingin. Namun, mama pastinya tak akan peduli.

"Maaf ya, mama tadi minjem sopir kamu buat nganter mama ke bandara." Pernyataan dari mama barusan benar-benar membuat Evelyn naik pitam.

"Apasih maksud mama kaya gtu?"

"Mama ada urusan sayang, suami mama mau pulang dari New York, mama harus jemput dia dibandara."

Hal semacam ini yang membuat Evelyn semakin muak. Ia tak senang mamanya seakan tetap menjadi seperti nyonya di rumahnya, dan seenaknya memerintah.

Padahal yang selalu ia prioritaskan adalah suami barunya, anak tirinya dan harta. Bukan Evelyn maupun papa.

"Mama!" pekiknya dengan bentakan super dahsyat, tak ayal membuat Rey membuka kaca mobilnya dengan diliputi rasa penasaran.

"Eve benci sama mama!" geramnya bukan main. Ia menatap kearah Rey dengan buas, padahal Rey tak salah apa-apa.

Tak lama setelah itu. Rafael muncul, ia memergoki Evelyn mengamuk di depan Rey.

"Eve?" sapanya dari samping, meskipun melihat ekspresi Evelyn saat itu, ia merasa sedikit takut.

Eve tidak menoleh, ia masih malas memerdulikan orang lain.

Rafael meminta penjelasan pada Rey dengan isyarat matanya. Namun, jawaban Rey sungguh mengecewakan. Hanya ada gelengan kepala disana.

"Loe lama banget konsul sama pak doni?" tanya Rey kesal. Ia menunggunya sangat lama, tapi tak apalah, sekalian menemani Eve, pikir Rey seadanya.

"Tadi pak doni ngajak gue curhat dulu, makanya lama." jelas Rafael. Pastinya, itu adalah kebohongan yang ia buat sendiri.

Eve membuka ponselnya lagi.

matanya mencari nomer telpon yang mungkin bisa menolongnya, tpi ...,

sebelum ia memencet tombol calling, Sebuah telfon masuk ke ponselnya. Panggilan dari rumah sakit.

"Hallo dok?"

"Hallo Evelyn, ini saya dokter Mira."

balas suara di dalam panggilan tersebut.

"Ada apa dok? apa papa sudah mulai sadar?" tanya Evelyn dengan penuh kekhawatiran. dan kali ini, kekhawatirannya tidak membuat seorang Rey tertawa.

"Evelyn, papa kamu tadi kritis. detak jantungnya berhenti beberapa detik, tapi sekarang sudah lebih baik, masih akan dilihat perkembangannya nanti. Dan semoga saja, tidak mencapai hal yang tidak diinginkan."

"Apa dok?"

"Ya, saya harap kamu bisa segera datang, kami masih mencari pendonor yang tepat."

Evelyn memucat, ia tak pernah sekalipun berfikir untuk kehilangan papa.

"Jadi? Pendonor belum ditemukan dok?" tanya Evelyn panik.

"Maaf Evelyn, kami sudah melakukan sebisa yang kami mampu!"

"Terima kasih dok!"

"Sama-sama Evelyn"

Evelyn menggigit bibir bawahnya yang memucat, teringat tentang pernyataan tadi membuatnya ingin sekali mati.

"Eve loe gak papa?"tanya Rafael, Rey pun juga cukup khawatir dengan ekspresi wajah Eve.

"Papa ...," Sebutnya pelan. hanya ia yang mendengar.

Beberapa saat kemudian, Eve pun terduduk lemas di atas trotoar yang ia pijak.

"Eve lo gak papa?" tanya Rey panik. Dengan cepat ia keluar dari mobilnya, Rafael pun ikut panik melihatnya.

"Papa kritis!" ulangnya lagi. sebelum akhirnya ia memeluk tubuh Rey dan minta untuk diantar kerumah sakit.

Rey panik. baru kali ini ia melihat Evelyn serapuh ini, mungkin ini yang dimaksud Evelyn tempo lalu. senyuman tidak bisa memastikan seseorang baik-baik saja.

"Raf bawa mobil! kita ke white hospital!" Perintah Rey kepada Rafael. Sedangkan Evelyn masih memeluknya erat. Dalam keadaan ini, Evelyn seperti sangat shock, ia tak menyadari perlakuannya sama sekali terhadap orang yang tengah ia peluk seenaknya.

"Kita pergi sekarang ya?" jelas Rey disisi kanan telinga Evelyn. Ia hanya ingin menenangkannya, itu saja.