Mata Evelyn yang sembab melirik ruang rawat yang baru saja terbuka, seorang dokter keluar dan menghampiri Evelyn yang masih tampak mencemaskan papanya.
"Kondisi papa kamu sudah mulai stabil, kamu bisa lebih tenang sekarang." jelas dokter Mira dengan lembut. Ia dapat memahami Eve yang saat ini terlihat sangat rapuh.
Eve mengangguk pelan, ia melirik kearah Rey dan Rafael yang masih setia menemani Eve menjaga papanya. Kemudian, ia tersenyum, senyum yang sama sekali tidak bahagia, namun tulus.
"Makasih dok." balas Eve lagi.
"Tapi Evelyn, apakah kamu memilik sanak keluarga yang mungkin bisa menyumbangkan salah satu ginjalnya?" tanya dokter Mira. Dan hal itu langsung disambut dengan wajah murung Evelyn.
"Atas tes kesehatan kamu Evelyn, ginjal kamu tidak sehat. Kami tidak bisa mengambilnya karena berbahaya bagi diri kamu sendiri," tambahnya lagi. Hal itu membuat Evelyn semakin putus asa. Tidak! demi papa ia tak boleh putus asa seperti ini.
Ia tak memiliki keluarga lagi selain papa. Ya, Evelyn memang masih memiliki mama kandung, papa tiri, dan kakak tiri. Namun, Eve tak sudi meminta apapun dari mereka.
"Saya bisa nyumbangin salah satu ginjalnya saya dok." Sebuah suara menghentikan pembicaraan keduanya. Evelyn menoleh kearah suara tersebut, suara yang pernah ia dengar sebelumnya.
"Dokter bisa cek kesehatan ginjal saya sekarang." tambahnya lagi.
Evelyn mendekat pada sosok yang entah sejak kapan muncul ditempat papanya dirawat.
"Apa maksud lo?" tanya Eve dingin. Ia malas berurusan dengan cowok di hadapannya.
"Dia papa gue juga." balasnya cepat. Membuat darah di kepala Evelyn ingin meluap.
Evelyn mendengus kesal mendengar seseorang itu mengakui papa sebagai miliknya juga.
"Anak papa cuma gue! Ngerti loe?"
"Eve! Sampe kapan loe nolak gue di hidup lo?"
"Keenan!" Seru Eve geram. ia ingin mencopot bibir kakak tirinya ini agar diam. Selain itu, fikirannya juga sedang kacau karna kondisi papa.
"Gue masih bisa cari pendonor lain, lo gak usah ikut campur!" balasnya lagi. Sepertinya sifat Eve yang keras sudah kembali.
Rey dan Rafael yang tak tau apa-apa hany diam. mematung, dan mendengarkan tanpa mengerti.
"Loe gak usah sok kasian sama hidup gue!" Eve geram. Ia benci dikasihani, apalagi oleh keluarga mama. "gue masih punya segalanya. Gue masih mampu, dan inget, gue bahkan masih bisa beli harga diri lo!" jawaban telak Evelyn sangat mengejutkan. Tapi, gadis itu tak peduli, ia malah pergi dari ruang tunggu pasien, entah kemana.
Yang jelas, ia malas melihat wajah yang baru saja membuatnya naik darah.
Dokter Mira tercengang mendengar perkataan Eve tersebut, sebelum ia pamit untuk undur dari pertikaian keduanya.
Keenan menghembus kan nafas beratnya, ia tau sifat Eve yang keras kepala,. Tapi, begitu keterlaluannya dia sampai menyebutkan tentang harga diri seseorang. Biarlah, Keenan tak apa jika memang Evelyn mampu membeli harga dirinya sekali pun.
Mata sayu itu kemudian menatap dua orang yang masih berdiri mematung dibelakangnya. Ia tak pernah melihat orang-orang ini sebelumnya, apalagi bersama dengan Evelyn. terlebih laki-laki.
"Kalian siapanya eve?" tanya Keenan penasaran. Tak sedikitpun raut wajahnya tampak marah karna dihina oleh Eve sebelumnya.
"Kami temen Evelyn kak!" jelas Rafael dan Rey bersamaan. Hal itu membuat Keenan terkekeh kecil.
"Ooh, bagus lah. Ternyata sekarang dia mulai bisa akrab sama banyak orang."
"Maksud kakak?" tanya Rey heran. setau dia, Eve sudah akrab dengan banyak orang di sekolahnya, Seperti Chelsea misalnya.
"Ah, panggil aja gue Keenan, gue gak suka di panggil kakak, soalnya keliatan tua jadinya." jawab Keenan sambil merapikan baju kemejanya.
Rey mengangguk paham, "lo kakaknya Evelyn?" tanya Rey lagi. di otaknya kini hidup Evelyn mulai terdaftar, untuk ia pikirkan.
Keenan mengangguk pertanda iya. Namun, raut wajahnya tampak tidak bersemangat. "kakak tiri lebih tepatnya!"
Rey dan Rafael ber"ooh" secara bersamaan, sebelum akhirnya Keenan minta undur diri dari hadapan keduanya.
"Gue ada urusan sama dosen di kampus, kapan-kapan kita ngobrol lagi tentang eve," jelas Keenan. Dan kedua cowok di hadapanya mengangguk mengerti.
"oh ya satu lagi, gue minta tolong sama kalian berdua buat bujuk Evelyn, gue gak main-main buat donorin ginjal gue ini. oke,makasih bantuannya, gue permisi."
Rey dan Rafael melongo beberapa detik karna ucapan Keenan barusan.
"Bujuk?" gumam Rey dalam hatinya. Ia tak mengerti mengapa ia harus masuk ke dalam kehidupan Evelyn yang rumit.
Taman belakang white hospital.
Senja menunggu di ujung sana.
Evelyn mengayunkan kakinya dari atas bangku taman yang tinggi. Pikirannya terpecah-pecah menjadi bebeberapa bagian, membuatnya semakin pusing. Mencari pendonor untuk papanya bukanlah hal yang mudah, semua orang didunia ini ingin hidupnya bahagia, salah satunya memiliki anggota tubuh yang lengkap. Tapi, Keenan malah menyerahkan dirinya sendiri untuk menolong papanya. Menurutnya, itu malah penghinaan besar untuknya. Selama ini, ia tak mengenal sosok keenan. Ia hanya tau dari cerita mama. Mama sangat sering membanggakan sosok Keenan yang sempurna dihadapan Evelyn. Tapi tetap saja, ia benci dengan sesuatu yang berkaitan dengan mama.
Evelyn merogoh ponsel di saku rok nya, setelah ia tersadar bahwa tadi Rey dan Rafael ada bersamanya.
Pikirannya terlalu kacau hingga tidak lagi mengucapkan terima kasih pada keduanya dan pergi seenaknya.
Pesan whatsapp
Rey hero
Evelyn menghentikan jemarinya diatas layar ponsel. Ia bingung, mengapa harus rey, padahal ia bisa mengkontak Rafael yang namanya berada paling atas, diurutan kedua setelah Chelsea.
Eve
Rey, makasih buat hari ini.
pesan langsung terbaca, membuat Evelyn melebarkan matanya heran. Namun setelah itu pesan dari Rey masuk
Rey hero
lo dimana?
Eve
Ditaman belakang, lo udah pulang kerumah ya? Sorry gak sempet ngucapin terima kasih. salam sekalian buat Rafa, gue males ngetik.
Rey hero
Gue kesana sekarang, jangan kemana-mana.
eve bengong sesaat, kesini? tunggu?
Apa Rey belum pulang juga sejak tadi? Ah ..., Evelyn semakin serba salah jadinya, mungkin saja Rey akan marah-marah karna ia terlalu memperbudaknya hari ini.
Tapi sungguh bukan kesengajaan, Rey hanya berada tepat disaat ia membutuhkan pertolongan.
"Eve?" panggil Rey yang sudah muncul dari balik dinding rumah sakit, ia mendekat kearah Evelyn, sedangkan Eve hanya terdiam sambil mengucap istigfar.
"Ngapa sih ni cowok dalam keadaan kacau begini masih aja kliatan keren." Aku Evelyn dalam hati.
Rey duduk disisi kanan Evelyn, matanya memandang lekat kearah mata Evelyn yang bulat, tapi disisi lain, Evelyn malah sedikit takut melihat cara cowok ini menatapnya.
"Loe tau berapa jam gue nunggu loe balik?" tanya Rey sambil mendekatkan wajahnya pada Evelyn.
Sedangkan Evelyn, ia hanya diam tanpa bisa bicara apa-apa, tenggorokannya terasa tercekat, sampai tak mampu lagi bersuara.
Evelyn menunduk, mengalihkan pandangan tajam Rey dari yang menakutkan dari matanya. Detak jantungnya bergemuruh, ia takut jika Rey bisa mendengarnya.
dalam keadaan seperti ini, dalam suasana seperti ini, dalam kondisi seperti ini, hidup semakin kacau baginya. Membuat ia ingin berhenti bernafas secepatnya. Namun, dalam kekacauan yang ia alami mengapa Rey selalu hadir untuk menolongnya? Kenapa harus Rey yang ada disini untuk menyusulnya? Kenapa Rey harus hadir?
Ia tak ingin ada orang lain yang bisa membuatnya ingin melanjutkan hidup. Ia tak ingin hidupnya terasa berarti lagi.
"Eve lo gak papa?" Suara Rey terdengar lagi, secara tak sadar Eve mengangkat kepalanya yang tertunduk, sebelum ia menyesal karna tak lagi mampu melihat wajah Rey yang begitu khawatir padanya.
Mata eve berair. Ia tak Sadar akan hal itu, sampai pada akhirnya kedua tangan Rey mulai meraih tubuhnya, lalu, secara otomatis meletakkannya di pelukannya yang hangat.