Angin dingin yang tidak ada sampai beberapa saat yang lalu, awan hitam yang tiba-tiba menutupi langit seolah menandai tanda-tanda turun hujan, kini muncul.
"Aruru, Meruru, aku harus membantu Lyria membereskan ini, katakan pada kak Claire di panti asuhan untuk menurunkan pakaian yang kita jemur tadi pagi."
Dengan "ya!" dan "seperti katamu, kak!" Aruru dan Meruru berlari kembali ke desa. Apa yang harus sisa tiga orang lainnya lakukan sudah jelas. Mereka harus cepat membereskan ini dan kembali sebelum hujan. meskipun mereka tidak yakin apakah sedang dalam kondisi untuk bisa melakukannya atau tidak, tapi setidaknya mereka bukan dalam keadaan untuk mengeluh.
Beberapa menit berlalu sejak mereka mulai membereskan semua peralatan dan makanan yang ada.
Syukurlah hujannya masih belum turun. Ikki berterimakasih dalam hatinya. "Lyria, Ren, kita harus kembali secepatnya." Katanya.
"aku tahu." Balas Lyria.
"tidak perlu kau suruh juga." kata Ren dengan muka tanpa sedikitpun kekhawatiran.
Ikki berlari dengan membawa tikar yang menjadi alas duduk mereka sebelumnya, Lyria dengan tempat bekal yang dia bawa, dan Ren dengan 2 pedang kayu di rangkulannya. Akan tetapi, entah itu Lyria, Ren, ataupun Ikki menjatuhkan semua barang itu seketika, di hadapan pemandangan yang seolah memberikan ratusan pukulan di dada mereka.
---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ---- ----
-- di hadapan mereka, terlihat pemandangan yang tidak seharusnya mereka lihat. Rasa panas yang tidak seharusnya mereka rasakan. Dan keputusasaan yang tidak seharusnya ada dalam diri mereka, tiba-tiba keluar.
"Aa--... AAAAAAAA!!!"
Tidak ada yang benar-benar tahu apakah apa mereka lihat di depan mata mereka bukanlah sesuatu seperti mimpi atau sekedar ilusi belaka, tapi dengan jelas terdengar teriakan seseorang.
"TIDAAAAKKK!!"
Suara teriakan itu terdengar sekali lagi, muncul dari seseorang yang sama, tidak ada yang berubah.
Benar, tidak ada yang berubah. Tidak peduli sekeras apapun pemuda berambut biru muda itu memukul pipinya sendiri, matanya tetap menampilkan pemandangan yang sama. Kenyataan di hadapan matanya tidak akan berubah menjadi baik.
Tidak peduli sekeras apapun laki-laki berambut merah itu berpikir dan bertanya-tanya di dalam pikirannya, kenyataan yang kesadarannya terima tidak akan berubah sama sekali.
Gadis berambut biru yang meneriakkan sesuatu beberarapa saat yang lalu seketika bergerak. "Aruru, Meruru... Claire...!"
gadis itu—Lyria, berlari melewati Ikki dengan kepanikan dan kegelisahan yang nyata di matanya. Tidak, Lyria, jangan kesana! Harap Ikki dalam hatinya, dengan mulut yang membeku seperti es, tanpa bisa mengatakan apapun.
"Tunggu! Lyria!" bentak seseorang yang dia lewati selanjutnya.
Tapi Lyria tidak menghiraukan peringatan itu bahkan setelah Ren menarik pundaknya untuk mencegah Lyria.
Ikki dan Ren tidak punya pilihan selain mengikutinya. Tapi tubuh Ikki membeku seperti telah dihantam dengan sihir pendingin skala besar. Pikirannya tidak mampu memikirkan apapun. Mulutnya Cuma cukup punya kekuatan untuk menggumankan beberapa kata "tidak mungkin... ini tidak mungkin...." beberapa kali.
"Ikki!" panggil Ren.
"...."
Tidak ada jawaban. Pemuda itu bahkan tidak yakin benar-benar mendengarnya atau tidak.
"Ikki!" panggilnya sekali lagi. "Ikki! Ikki"
*bak
Ren memukul pipi Ikki dengan setengah kekuatannya. Dia melihat laki-laki berambut merah itu setelah membelalakan matanya beberapa kali.
Ikki menggelengkan kepalanya untuk menarik kembali kesadarannya. Dia mulai menunjukkan tatapan mata serius, kemudian menangguk.
"Lewat sini!"
Ikki berlari mengikuti Ren, mengejar bayangan Lyria yang beberapa detik di depan mereka. kalau saja ini Cuma mimpi... harap Ren dalam hatinya.
" "Lyria!" "
Panas—adalah apa yang mereka bertiga rasakan di tempat itu. Rasa panas yang tidak akan menghilang bahkan jika seseorang mengambil seluruh air yang ada di desa untuk mengguyur mereka bersamaan. rasa panas yang akan mengubah semua bangunan di desa menjadi abu dalam beberapa jam ke depan. meski begitu, rasa panas itu bukanlah sesuatu yang dapat menyebabkan seseorang terpanggang hanya dengan diam tanpa melakukan apapun dalam beberapa menit setelah itu.
".... desanya terbakar... semuanya.... Aruru, Meruru, Claire.... tidak ada dimanapun..." gumam gadis berambut biru tersebut setelah mengamati sebuah bangunan tua sementara kedua kakinya kehilangan indera perasanya untuk beberapa saat.
Mereka berhenti setelah melihat panti asuhan yang berubah menjadi kayu-kayu hitam dan api kemerahan. Bangunan tua yang seharusnya berdiri di sini untuk beberapa tahun ke depan, rumah yang telah Ikki, Lyria, Aruru dan Meruru tinggali sejak kecil, dan sebuah tempat dimana Meruru dan Aruru dan Claire seharusnya berada di sana, sudah tidak ada lagi di tempat ini.
".... huaaaaa~ haaaa~."
Suara Lyria yang menangis terdengar bahkan setelah gadis itu menutupi tangisannya dengan telapak tangan yang menutupi wajahnya.
Desanya... terbakar. Benar, semuanya terbakar. Aroma daging yang berubah menjadi hitam dapat tercium di setiap tempat. Tapi siapa? Siapa yang melakukan ini?! bentak Ren dalam hatinya.
".... aah, aah, ternyata masih ada orang di sini."
Siapa? Suara siapa yang barusan itu? tanya Ikki sementara memalingkan pandangannya dengan panik.
Semua orang melihat pada seseorang yang menjadi sumber dari suara itu. Seorang manusia, bukan. laki-laki berambut merah. berjubah hitam setinggi lutut dengan garis-garis merah yang tertiup udara panas. Beberapa helai bulu burung jatuh dari sepasang sayap merah yang tumbuh di sekitar punggung pria itu.
"hei, Oriast, lihat ini. bukankah itu דער שליסל yang kita cari?"
Seorang lagi mengikuti di belakangnya, memiliki penampilan yang lebih tua dibandingkan rekan berambut merahnya. Dengan rambut putih yang menutupi mata kirinya, tatapan yang terlihat bosan dengan mantel hitam serta sarung tangan setengah jari berwarna hitam, yang kemungkinan besar ras manusia.
Jika laki-laki berambut merah itu berusia sekitar 25 tahun maka yang terlihat seperti manusia mungkin di usia sekitaran 40 tahun.
"tidak salah lagi, itu memang dia."
"siapa kalian?" tanya Ren dengan mata tanpa sedikitpun keramahantamahan, sebuah mata dingin dan tajam yang mengeluarkan kebencian terdalam dalam diri Ren.
"hmm.... maksudmu kami?" laki-laki berambut merah menyeringai seolah memandang ketiga orang di depannya secara rendah. Dengan punggung telapak tangan yang sengaja ditunjukkan pada mereka, dia berkata: "Namaku Zell Gran Vermillion. Seperti yang kau lihat, aku salah satu dari ke-13 Einherjar."
Ikki memandang dengan membesarkan kedua matanya seolah tidak dapat mempercayai apa yang baru saja dia lihat. Lambang itu... tato merah yang menjadi lambang dari sebuah kelompok dengan kekuasaan tertinggi di seluruh benua yang ada—Einherjar.
- keberadaan yang melindungi dunia ini dari kehancuran.
- keberadaan yang menyelamatkan orang-orang dari bencana.
- tanpa memandang rendah pada orang lain, tanpa mengorbankan siapapun untuk mencapai tujuan mereka.
Keberadaan yang seperti itu, sekarang sedang berdiri di hadapan Ikki.
"jika kalian benar-benar seorang Einherjar... artinya kalian menolong orang lain, ya kan?" dengan nada yang dipenuhi dengan harapan dan keputusasaan, Ikki bertanya pada mereka.
Meskipun dia sendiri tahu bau seperti apa yang menyengat indera penciumannya tidak peduli apakah itu daging atau tulang yang terbakar, meskipun dia sendiri sudah memahami dengan baik pemandangan seperti apa yang mengisi sekelilingnya dengan tumpukan mayat yang telah berubah menjadi hitam, dan meskipun Ikki sudah mengetahui jawaban dari pertanyaan itu, dia tetap akan menyanyakannya pada mereka dengan 0,01% harapan pada kata-katanya.
Keinginan yang asam dan penuh dengan kepalsuan itu....
"nah, beritahu aku... ada dimana yang lain? kalian di sini untuk mengevakuasi orang-orang ke tempat yang aman, kan? Aruru, Meruru, dan Claire?"
"nak, sepertinya kau salah paham." Seseorang yang dipanggil Oriast menjawab dengan nada yang datar, sebelum seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Zell Gran Vermillion menghentikan Oriast dengan menepuk bahu pak tua itu.
"ya! benar! Kau benar, bocah berambut biru! Kami Einherjar datang ke tempat busu—indah seperti ini untuk membawa orang-orang ke tempat yang aman."
Setelah mengatakan itu, Zell mengulurkan tangannya ke depan.
"...!"
Satu-satunya yang menyadari niat Zell adalah Ren yang dengan cepat melompat pada Ikki untuk menjatuhkannya ke tanah, menghindari arah yang ditunjuk Zell.
"kalian akan segera menyusul mereka juga.... ke AKHIRAT!!"
*zwaaash
Sevolume angin dengan selimut api kamerahan membakar tempat Ikki dan Ren sebelumnya berdiri, membentuk dua pilar api kemerahan.
"Tidaaak!!"
Sementara itu terdengar suara yang familiar di tempat lain, pada tempat yang tidak seharusnya dia berada.
"Lyria!"
"Lyria!"
Memandang ke arah suara tersebut, apa yang mengisi pandangan mereka adalah seorang gadis berambut biru yang mereka kenal, Lyria, diangkat di atas bahu Oriast seperti barang bawaan yang meronta-ronta.
"lepaskan aku! Lepaskan!"
Lyria meronta-ronta untuk melepaskan dirinya dari tangan pak tua berambut putih itu; Sekeras yang dia bisa, sekuat yang ia dapat lakukan.
Tolong aku....
Dengan sedikit harapan, Lyria memohon dalam lubuk hatinya pada seseorang yang mungkin tidak pernah ada. Meski begitu dia tidak menemukan cara untuk melepaskan pegangan itu. Lyria takkan mampu melepaskan tangan Oriast tidak peduli sekeras apa pun dia berusaha. Tidak peduli sekuat apa pun tenaga yang dia berikan. Dan tidak peduli sebanyak apa pun dia mencoba.
Oriast yang hanya memperlihatkan punggungnya sejak dia mulai membawa Lyria melirik Ren dan Ikki dengan tatapan tajam yang mungkin lebih dingin dibanding bongkahan es manapun. Hawa dingin yang tiba-tiba menjalari punggung mereka memberikan rasa takut yang luar biasa.
Apa ini? apa aku... ketakutan? Ren yang hampir bergerak untuk menyelamatkan Lyria mendapati kakinya terjatuh seolah baru saja kehilangan kekuatannya.
[intimidation]-- tatapan yang baru saja mereka rasakan dari mata kanan Oriast memberikan rasa takut yang tidak dapat mereka tahan. Art yang hanya diketahui oleh beberapa orang di dunia; yang bahkan Ren sebagai seseorang berpengetahuan luas tidak akan sadar akan hal ini.
Akan tetapi, hal itu tidak mengubah apa yang ada dalam hati seseorang.
"kau....!"
Ikki menggertakkan giginya dengan keras sampai-sampai semua orang hampir bisa mendengar suara dari gertakan giginya.
Aku harus menyelamatkan Lyria sekarang. Tidak, dia tidak bisa. Dia memahami dengan baik apa yang menjadi lawannya saat ini. Dibandingkan dengan mereka Ikki hanyalah sesuatu seperti serangga yang bahkan tidak bisa menggigit. Dia tidak punya kesempatan untuk menang. Akan tetapi, perasaannya menolak mentah-mentah fakta itu.
Bergeraklah! Lawan mereka!
Meski begitu, kaki yang seharusnya dapat dia gerakkan menolak sepenuhnya keinginan Ikki. Tangan yang seharusnya dia gunakan untuk menyelamatkan Lyria bergemetar ketakutan. Tubuhnya membeku.
"Aku akan kembali duluan. Zell, jangan terlalu banyak banyak bermain-main dengan mereka. kau tahu sendiri seperti apa 'pria itu' saat marah kan? Jangan sia-siakan nyawamu untuk sesuatu yang bodoh seperti ini."
"hahahah, yah, Oriast, kau hanya terlalu takut pada 'pria itu'. lagi pula kita berhasil membawa דער שליסל bersama kita, bahkan orang itu tidak akan membunuhku dengan mudah."
"sudahlah, aku hanya memberimu peringatan. Jangan salahkan aku apapun yang terjadi nantinya."
Meninggalkan kata-kata itu, lingkaran sihir bersinar di bawah kaki Oriast. Cahaya putih dan kebiruan menyinari wajah Lyria yang hampir meneteskan air mata. Pada saat-saat terakhir seperti itu, Lyria mengulurkan tangannya pada dua orang di depannya.
Dengan kecemasan yang sama, Ikki dan Ren mengulurkan tangannya pada Lyria. Akan tetapi tak ada satupun dari mereka yang berhasil meraih uluran tangan pihak lainnya. namun, Lyria sempat mengucapkan kata-kata perpisahannya.
"Ikki! Ren! Kita akan bertemu kembali suatu hari nani! Kita akan bertemu lagi dan membicarakan banyak hal! jadi... sampai saat itu terjadi... kalian harus tetap hidup! Hiduplah sampai saat itu benar-benar terjadi!"
Cahaya putih kebiruan menghilang, membawa Oriast dan Lyria ke tempat yang jauh dari mereka. Perasaan terguncang mewarnai hati Ikki dan Ren seketika hal tersebut menimpa mereka.
"Lyria!" teriak Ren.
"Lyria!" lanjut Ikki.
Mereka tidak hanya terpukul atas kematian orang-orang di desa, atau bangunan-bangunan yang terbakar, tapi di atas semua itu, mereka melihat kepergian seorang gadis yang sangat mereka kenal, yang telah sejak lama bersama dengan mereka.
Tekanan yang membatasi Ren dan Ikki sampai beberapa saat yang lalu seketika menghilang. Dengan tubuh yang kembali dapat digerakkan dengan bebas, kekuatan yang telah kembali, Ren berlari untuk meraih seseorang yang agak jauh di depannya.
"ZEEEEELLLLL!!!!" teriak Ren, memanggil nama orang itu dengan volume yang ditinggikan.
"Ahahahahahahah!! Kemarilah! Kau pikir bisa mengalahkanku kan?!"
Zell Gran Vermillion sekali lagi mengulurkan tangannya. Bola api terbentuk di telapak tangan yang terulur itu. setelah beberapa saat, bola api mencapai ukuran terbesarnya, sekitar 50 centimeter diameter lingkaran. Bola api tersebut kemudian terbebas dari tangan Zell.
*Zwaash
Ren menghindarinya dengan menundukkan kepalanya secepat yang ia bisa. Namun bola tersebut berbelok untuk dengan cepat kembali pada sosok Ren dari belakang.
"Dibelakangmu! Ren!"
"...!!"
Tidak mampu menyadari bola itu tepat waktu, Ren membalikkan badannya pada 0,5 detik terakhir sementara mengulurkan kedua tangannya. Dia tidak punya pilihan selain bertaruh.
tak ada pilihan lain. Pikirnya.
Daripada mencoba melarikan diri hanya untuk terkena serangan dari belakang, lebih baik untuk bertaruh pada sebuah kemungkinan kecil. Kemudian,
"Firebolt!" teriaknya.
Bola api yang seharusnya membakar Ren meledak setelah sedikit menyentuh permukaan tangan Ren. Untungnya, dia berhasil membelokkan arah ledakan itu untuk menghindari terjadinya luka fatal.
Dia meledakkan bola apiku dengan sihir api tingkat rendah. Jujur saja, bocah ini tidak buruk. Pikir Zell setelah mengamati sosok Ren Arvelight dengan benar.
"hah, itu sedikit menarik." Kata Zell dengan seringai bangga seolah hal itu adalah sesuatu yang menyenangkan.
Tapi meskipun dia mengatakan itu dengan senang, Zell bahkan tidak menggunakan 1% kekuatan penuhnya.
"haaaaatch!!"
Ketika dia telah tenggelam ke dalam pemikiran-pemikirannya, Ikki menebas Zell dari belakang dengan sebuah ayunan pedang vertikal.
Namun tebasan pedang itu seolah tidak menebas apapun yang dilewatinya. Tidak, tidak salah lagi itu benar-benar membelah tubuh Zell dari bahu kanan sampai ke kaki kiri, tapi tidak ada lagi bekas seperti itu sampai sekarang, bahkan perasaan berat saat bilah logam memotong sebuah daging, tidak ada sama sekali.
"apa?!" gumam Ikki dengan mata yang agak dibesarkan.
Dia mulai mengamati bilah pedangnya yang mengeluarkan asap seperti akan meleleh kapan saja. Tidak perlu dipastikan apakah itu benar-benar panas atau sekedar asap belaka.
"hahahaha! Kau tidak bisa menebas api dengan cara seperti itu, bocah!"
Benar. Dia tidak membelah tubuh Zell menjadi dua, melainkan udara—bukan, api yang membentuk tubuhnya. Karena itulah pedang logam yang dia ambil di sekitar panti asuhan menjadi panas dan mengeluarkan asap.
Tapi bukankah itu berarti, serangan fisik tidak lagi mempan melawannya? Tidak, tidak hanya itu; lebih tepatnya, serangan seperti apa yang bisa melukai api? Apa itu air? Ataukah angin?
Tentunya mereka tidak punya waktu untuk mengambil air, apalagi angin.
Jadi apakah kami sudah ditakdirkan untuk mati tak berdaya? Pikir Ikki.
- tidak peduli hal apapun yang akan terjadi mulai dari sekarang dan seterusnya, aku akan selalu melindungi dan menyelamatkan adik perempuanku yang manis ini. ini adalah janji dari seorang kakak laki-laki pada adik perempuannya, bukan sesuatu yang bisa kau anggap remeh, tahu?
Kata-kata itu bergema dalam pikirannya.
Itu benar. Aku harus menyelamatkan adik perempuanku. Perasaan seperti itu tertanam dalam diri Ikki.
Dia mengambil beberapa kali lompatan mundur, kemudian mengambil nafas. Ikki tidak punya pilihan selain bertaruh.
Daripada mencoba menyerang tanpa ada artinya hanya untuk kehabisan tenaga di bagian akhir, lebih baik untuk bertaruh pada sebuah kemungkinan kecil.
Ini memang belum sempurna. Tapi tak ada pilihan lain. Pikirnya.
Melangkahkan kaki kanannya ke depan. Dengan kedua tangannya menggenggam sebuah pedang, Ikki mengangkat pedang panjang satu tangannya ke langit. Namun, pedang itu tidak menunjukkan mata pedangnya pada musuh, melainkan punggungnya.
Tidak ada yang mengerti apa yang sebenarnya sedang Ikki lakukan, bahkan Ren yang sudah mengenalnya dengan baik juga tidak mengetahui tehnik seperti apakah itu.
Tumbuh sebuah tumbuhan pada bagian cross guard (antara gagang dan bilah) pedang Ikki—tidak, sebenarnya akan lebih tepat jika kamu menyebutnya sebagai daun daripada tumbuhan, namun tidak hanya terdapat satu. Daun berwarna hijau itu cukup besar untuk sekedar melebihi standar daun pada umumnya; sekitar satu setengah meter panjang maksimal, tumbuh di setiap sisi kanan dan kiri pedang Ikki, menjaga jarak sekitar 10 derajat dari pangkal daun.
"haaa..." menarik napas panjang dalam satu, dua detik sebelum menghembuskannya kembali.
Bibirnya bergerak naik turun, dia mengambil napas sekali lagi. Menambah buff kecepatan pada tangannya, buff kekuatan pada pedangnya dan buff pertahanan pada kedua daun di samping cross guard pedangnya.
".... Original Stlye: Sky Divider!!"
Dengan teriakan yang bergema di atas langit, Ikki mengayunkan pedang di kedua tangannya sekuat yang ia dapat ayunkan.
Punggung pedang yang melawan udara menghasilkan angin yang jauh lebih kuat dibanding tebasan-tebasan yang pernah Ikki buat sebelumnya. Kedua daun yang menghalangi keluarnya udara memfokuskan angin tersebut pada target yang agak jauh di hadapan Ikki.
"...!"
Zell, sebagai target yang akan termakan serangan tersebut tercengang melihat sebuah tehnik yang tidak pernah dia lihat, sebuah gaya penggunaan pedang yang tidak pernah dia saksikan.
*ZAAAAAAAASSSHH!!!
Angin kuat yang melampaui standar 'badai' menghantam lintasan tempat Zell seharusnya berdiri. Ia menghapus semua yang ia lewati, mengubah panti asuhan yang terbakar api menjadi bangunan hitam yang nyaris hancur, sekaligus mengubah pohon di belakangnya menjadi sebuah batang pohon tanpa daun.
Tepat setelah itu, tubuh Ikki terjatuh.
mind down—sekali lagi mempermainkan Ikki seperti seorang pembully yang menindas korbannya.
"... hruogh." Suara seseorang yang memuntahkan darah terdengar. Suara penuh sesak yang bukan berasal dari Zell.
".... begitu, yah...?" aku kalah dalam pertaruhanku sendiri.
*tcp tcp tcp tcp
Ikki mendapati tubuhnya yang telah terjatuh ditancapi beberapa bulu burung di berbagai tempat; bulu berwarna merah yang telah terbakar dalam api kemerahan itu, tidak diragukan lagi terasa sangat sakit.
"IKKI!!" bentak Ren. "berani-beraninya kau menyakiti sahabatku!! Kubunuh kau, ZEELLL!!"
Ren yang telah melihat salah satu dari apa yang paling tidak ingin dia lihat dalam hidupnya, tenggelam dalam kemarahan.
"HRAAAAAAAAAAAAAA!!!!"
Telekinesis aktif, tanah bergetar dengan hebat sementara semua batu di sekitarnya melayang di udara.
"tetap saja, bocah seperti kalian bukanlah lawan yang sebanding dengan seorang Einherjar sepertiku. Setidaknya pelajari apa itu perbedaan level di kehidupan berikutnya."
Dengan gerakan yang seketika dipercepat, Zell muncul tepat 1 meter di depan Ren, menyentuhkan telapak tangannya pada area sekitar mata kanan laki-laki itu.
Satu detik kemudian, muncul semburan api dari telapak tangan yang Zell ulurkan. Semburan api panas yang tanpa ampun membakar kulit dan mata kanan Ren.
"AAAAAAAAARRH!!"
Ren meronta-ronta dan memukul tangan Zell beberapa kali. Semburan api yang tidak pernah berhenti, teriakan yang tak pernah berakhir; Ikki merasakan sesuatu keluar dari dalam dirinya.