Chereads / Sagitarius Girl / Chapter 8 - Chapter 07. Tekanan

Chapter 8 - Chapter 07. Tekanan

Anak panah melesat jauh ke target. Kali ini lebih kencang dan cepat dari sebelumnya. Angin berhembus, menyapu bersih rumput meninggi. Dedaunan tidak luput dari anak panah, membelah menjadi dua bagian. Langit gelap tanpa ada sinar rembulan di atas kepalanya. Membuat penglihatan menjadi terganggu apabila tidak ada lampu.

Memang Aisyah tidak menyukai tidak adanya bulan, tapi dia menahan dirinya. Mencoba memahami fase bulan setiap pergantian perubahan. Entah nyaris tidak ada bulan, bulan sabit, bulan separuh, bulan hampir sempurna, hingga sempurna. Bibir Aisyah nampak serius, datar dan tidak menunjukkan senyuman seperti sebelumnya.

Tetangga sebelah yang kebetulan melihatnya, heran dengan tingkah lakunya. Seorang bapak tua berkumis sering menyapanya kala Aisyah sibuk memanah pada waktu shubuh.

"Tidak biasanya Aisyah tidak senyum kepadaku," ucapnya menyindir dirinya.

Seketika, anak panah melesat, tidak mengenai target lingkaran merah. Sebaliknya anak panahnya menuju luar target. Mengenai kain putih.

"Pak Haji ya?" katanya senyum memaksa.

"Tidak perlu dipaksa begitu. Pasti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatimu," katanya tersenyum tulus.

Mulut Aisyah terbuka sedikit. Menampakkan gigi serinya. Lalu mengatupnya pelan. Matanya menunduk ke rumpt. Menggenggam busur dan anak panah.

"Pak Haji benar. Pikiran saya teralihkan dengan ragam masalah," akuinya.

"Benarkah?"

"Ya. Banyak hal terjadi di sekolah dan pribadi," Aisyah melepaskan anak dan busur panah.

Pak Haji memasang kopyah dan sarung merah untuk menunaikan sholat. Dia melambaikan tangannya ke Aisyah.

"Kemarilah. Kita laksanakan sholat shubuh berjamaah," ucapnya.

"Eh? Kenapa begitu?"

"Sudahlah, ikut Pak Haji saja. Toh daripada sholat sendirian, mendingan berjamaah lebih afdol kan?"

Aisyah sebenarnya sudah menunaikan sholat shubuh. Hanya saja tidak ikut dalam berjamaah. Dia menolaknya, mencoba senyum tulus.

"Begitu ya? Kau sudah sholat shubuh tadi? Baiklah jika sudah," Pak Haji pergi menuju pintu rumah. Kemudian dia berhenti sejenak dan menoleh ke arahnya. "Jangan ragu untuk bercerita pada Pak Haji. Siapa tahu, Pak Haji bisa membantu masalah. Entah itu percintaan atau pribadi."

Gadis hijab itu mengernyitkan kening. Kedua matanya tidak lepas dari perkataan barusan. Tapi Pak Haji sudah pergi duluan. Jadi dia kembali melanjutkan aktifitasnya seperti biasa. Sampai waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Sinar matahari mulai sinar benderang. Menggantikan posisi bulan.

Kemudian, dia mandi dan makan di ruang makan. Tidak lupa juga membaca Koran di kotak surat. Banyak sekali insiden terjadi di Indonesia. Entah kasus korupsi atau pembunuhan merajalela. Aisyah sampai bertanya-tanya apakah hal itu lumrah di dunia ini. Sampai-sampai membunuh adalah hal wajar. Pemikirannya terlalu fokus pada kasus korupsi yang dilakukan politikus. Fotonya menunjukkan ekspresi senyum lebar. Seakan-akan dirinya tidak bersalah atas perbuatannya. Sebaliknya, petugas anti korupsi sudah mengamankan bukti cukup untuk menjeratnya. Hasilnya, cuma dipenjara selama kurang lebih 3-4 tahun. Bahkan kurang dari 2 tahun. Di bawahnya, ada seorang pembunuh dijerat pasal pembunuhan berencana dengan kurungan penjara 10 tahun.

Aisyah hanya menghela napas membacanya.

"Jadi ini yang dimaksud oleh Gufron. Melindungi dunia dari bahaya. Tapi kenapa terkesan tajam ke bawah tumpul ke atas?" gumamnya dalam hati.

Dia bertanya-tanya untuk apa Gufron menaruhnya di sini. Sama saja dunia yang ditinggali kacau balau. Belum lagi berita mengenai sebuah organisasi agama dijadikan kambing hitam dan dimanfaatkan untuk kampanye hitam. Sampai-sampai, pejabat yang mencalonkan diri dipaksa mundur dari jabatan. Hanya gara-gara kebijakannya yang dianggap merugikan agama lain.

Aisyah pasrah dengan nasib dunia ini. Tapi bukan berarti pasrah sepenuhnya terhadap takdir orang lain. Dirinya memutuskan untuk sedikit merubah dunia menjadi lebih baik. Meski dirinya tidak tahu langkah apa yang ditempuh.

"Aisyah ... Papa minta maaf atas kekasaran terhadapmu," katanya bernada lemah dirundung penyesalan.

"Mama juga nak. Kami berdua merasa gagal menjadi orang tua yang baik buatmu," gumamnya.

Belum lagi mereka merasa bersalah ketika menceritakan masa lalu kepadanya. Aisyah paham hal itu. Dan membiarkan mereka sendirian. Itulah yang ada dalam pikiran gadis hijab itu.

"Tidak perlu meminta maaf Pa, Ma. Kurasa keputusan Mama dan Papa berhak menceritakan dan memarahi Aisyah jika dirasa menyalahi aturan yang ada,"

"Kalau begitu—"

"Begini saja. Papa dan Mama tidak perlu risau kok. Aku sudah menemukan cita-cita yang kudambakan," katanya tersenyum.

Mereka berdua mengerutkan kening. Baik Hartoyo maupun Ratih terkejut dengan keputusan Aisyah. Dia menyantap hidangan pecel dan empal buatan Ratih. Dengan lahap, dia memakannya sekaligus mengunyah dan menelannya. Kedua matanya tidak lepas dari makanan. Aisyah terus memakannya.

"Aisyah ingin menjadi seorang pemanah. Atlet pemanah yang bisa membanggakan orang tua,"

Mendengar kata pemanah, membuat Hartoyo dan Ratih tersedak makanan yang mereka hidangkan. Keduanya saling menatap bingung. Memang, atlet pemanah tidak banyak atlet di sana walau pernah dipertandingkan di seluruh dunia. Ditambah Indonesia masih belum mendunia cabang olahraga tersebut. Jadi wajar ekspresinya masih skeptis soal masa depan Aisyah.

Kedua tangan Hartoyo merapat, menunjukkan ekspresi serius.

"Apa kau yakin dengan keputusanmu, Aisyah?"

"Ya, Pa! Aku yakin," jawabnya penuh ketegangan.

"Alasannya apa?"

"Karena aku ingin menunjukkan memanah merupakan olahraga yang menarik. Selain seni pertarungan yang disunahkan dalam Islam, memanah adalah hal-hal yang berbeda dengan cabang olahraga lainnya. Jika disuruh melatih fisik dan mental, kurasa sudah dilakukan saat berlatih dengan Paman Gufron," ujarnya.

"Gufron katamu?" Ratih terkejut dengan pernyataan Aisyahnya.

Namun Hartoyo masih membisu. Tidak ada satu kata keluar dari mulutnya. Matanya tidak lepas dari perkataan dan gesture cara bicaranya.

"Baiklah. Papa merestui cita-citamu. Apapun keputusanmu, Papa dan Mama akan mendukungmu. Akan tetapi, apakah kau berniat pergi dari dunia ini?"

"Mulanya seperti itu. Tapi semakin lama, aku sudah memikirkan matang-matang. Aku memiliki banyak teman, keluarga yang peduli kepadaku. Kurasa, berat meninggalkan kalian di sini," ujarnya tersenyum.

Tapi disisi lain, Aisyah tidak bisa membeberkan alasan lain kenapa tinggal di bumi ini. Baginya, mengingat latihan bersama Gufron merupakan memori kenangan bersamanya. Dia menganggap Gufron sebagai mentor atau Paman tirinya. Selama Gufron masih ada, dirinya diajak jalan-jalan kemanapun mereka pergi. Belum lagi Goro Tsukishima dan Sakurachi yang terus menghubunginya kala sedih (walau yang terakhir itu sudah lama sejak 10 tahun lalu).

"Kurasa Papa dan Mama tidak mempermasalahkan. Benar kan Dek?"

"Benar mas. Toh Aisyah sudah menikmati kehidupan normalnya. Walau harus diakui dia agak aneh membawa perlengkapan memanah ke sekolah," nyengir Ratih.

"Ya ampun, Ma! Kok dikatain aneh sih? Seharusnya bangga dong membawa perlengkapan memanah adalah perbuatan hal mulia," balasnya bernada sindir.

Namun perkataan Aisyah mendapatkan sentilan ke kening. Hingga dia mengerang kesakitan. Aisyah mengelus-elus kening dari sentilan Hartoyo.

"Dasar anak bandel! Selalu saja tidak menuruti perkataan Mama dan Papa!"

Keduanya tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Aisyah melahap roti dan selai strawberry sekaligus. Meminum susu lebih cepat dan bergegas ke sekolah. Tidak lupa juga mencium pipi Hartoyo dan Ratih.

"Aku pergi dulu. Assalamualaikum,"

"Waalaikumussalam,"

Pintu terkunci rapat. Dia menutup pintu pagar dan naik mobil bersama Fanesya dan supir. Suara mesin terdengar dari luar. Menekan pedal gas, memutar perseneling dari roda gigi satu ke dua.

Mobil tersebut semakin menjauh dari kejauhan. Ratih melihat ada sesuatu yang aneh pada Hartoyo. Gelagatnya terlihat mencurigakan. Minum kopi tidak dihabiskan. Padahal biasanya diminum sambil membaca koran. Anehnya, Hartoyo melirik sebuah artikel yang itu-itu saja. Ratih mengambil secangkih teh. Duduk berhadapan dengan Hartoyo.

"Ada apa toh Mad? Daritadi baca koran serius banget," celutuknya.

"Oh. Tidak apa-apa dek,"

"Mas. Kita sudah bersama-sama lebih sejak pacaran SMA. Setidaknya Mas cerita dong kalau ada masalah. Siapa tahu Adek bisa bantu," tawarnya kepada Hartoyo.

Namun tawaran tersebut ditolak secara halus. Dia menggeleng pelan tersenyum. Ratih menghela napas. Dia menyeruput minum tehnya. Mencoba sedikit tersenyum kepadanya. Hartoyo melihatnya penuh kasihan. Dia menghentikan bacaan koran. Lalu mengecup keningnya. Wajah Ratih memerah. Tidak percaya dengan tindakannya.

"Maaf ya membuatmu sedih, dek. Mas masih memikirkan sesuatu," akuinya.

"Memikirkan apa mas? Coba cerita saja," Ratih menggenggam kedua tangannya.

Akhirnya Hartoyo menceritakan situasinya. Dirinya mendapatkan telepon dari teman semasa SMA. Namanya Pak Ustadz Amin. Berjenggot tebal dengan kedua bola mata biru. Tangan kanan sering membawa tasbih kemana-mana. Entah berada di masjid, rumah atau tempat area terbuka seperti taman atau pemakaman. Pakaian yang dikenakan tidak lepas dari baju taqwa dengan sarung dan kopyah putih.

Hartoyo menerima panggilan oleh beliau untuk ikut aksi demo. Demo yang dimaksud adalah menyerukan protes kepada salah satu kandidat yang diusung. Mereka menuntut kepada pemerintah untuk menghapus atau mencoret calon kandidat bermasalah. Kejadian bermula ketika salah satu kandidat memberikan wacana untuk memberikan fasilitas apartemen yang layak untuk dihuni. Bahkan sesuai dana mereka masing-masing. Sayangnya, tanggapan warga dinilai negatif karena akan menghancurkan pemukiman di sana. Calon kandidat sudah menjelaskan langkah preventif dan rencana jangka panjang. Supaya penduduk sekitar bisa menghuni. Tanpa harus menggusurnya atau menghancurkan pemukiman. Para warga pun menerimanya. Sayangnya, tidak semua orang bisa mengerti rencana tersebut. Ada salah satu provokatif berkata calon kandidat itu hanyalah menipu para warga. Padahal dia sudah menaruh blue print kepada salah satu warga terpercaya. Tapi karena provokator itulah, para warga yang semula mendukung rencana berbalik arah menjadi menghujatnya. Belum lagi duit yang mereka terima oleh calon kandidat dan dijanjikan tidak membayar sepeser pun, tambah memperparah situasinya.

Hartoyo sendiri masih berpikir-pikir untuk ikut aksi demo tersebut. Tapi bingung karena di satu sisi, calon kandidat tersebut tidak layak memimpin pemerintah daerah. Di sisi lain, dia berhutang budi padanya karena membantu sector usaha mikro seperti dirinya.

"Sulit juga ya Mas. Negara kita ini masih saja menggunakan massa dan agama sebagai alat politik. Bahkan ayat saja diplintir oleh kalangan tertentu, supaya ikut menggerakkan aksi bela calon kandidat," keluh Ratih.

"Betul Dek. Padahal kita bisa menjadi negara maju kalau pemerintah tidak dikuasai oleh sekumpulan elit yang berduit dan para koruptor sialan itu," ujar Hartoyo menghela napas.

"Gara-gara mereka, sembako jadi naik. Bensin naik dan harga minyak jadi naik," keluhnya lagi.

Namun keduanya mengerti situasi pemerintah saat ini. mau mengambil kiri salah, kanan pun juga salah.

Betapa sedihnya Hartoyo melihat berita terkini. Dia muak, semua berita isinya politik melulu dan kepentingan dari setiap partai diusung. Serasa ada sebuah jalan di depan mata, tiba-tiba banyak sekali retakan dan halangan menghampirinya.

Teh mulai mendingin. Serasa tidak enak jika dibiarkan terlalu menggenang dalam cangkir. Ratih meminumnya sampai habis. Sari-sari teh dia buang, menggenggam tangan Hartoyo berkeringat dingin.

"Mas, mendingan jangan ikut demo ya. Mas ingat tidak, salah satu warga kita meninggal akibat terkena batu besar pas demo ricuh bernama Yudi?"

"Mas ingat. Memang kenapa?"

"Orang tua Yudi menyalahkan pemerintah atas meninggalnya anak kesayangan. Padahal selama ini anak itu berbakti lho sama orang tuanya. Sampai-sampai mereka harus kehilangan ratusan juta. Hanya untuk menuntut anaknya yang meninggal. Sampai saat ini, kehidupan mereka sudah tidak bisa kayak dulu lagi," lirihnya.

"Intinya apa yang Adek bicarakan?" tanya Hartoyo lagi.

Ratih mengapit tangannya lebih erat. Kedua matanya tidak mampu membendung air mata. Hartoyo merasakan tangan Ratih gemetar. Takut terjadi sesuatu pada dirinya.

"Kumohon Mas. Jangan ikut demo ya. Adek tidak mau kehilangan Mas cuma gara-gara masalah pemilihan umum," lirih Ratih seklaigus berharap.

Selama keduanya menjalin hubungan hingga pernikahan, belum ada satu pun permasalahan serius selama bersama-sama. Pertengkaran kecil memang sering terjadi. Tapi bisa diselesaikan secara baik-baik dan berdua.

Namun kali ini berbeda. Serasa ada suatu ujian yang tidak bisa diselesaikan secara berdua saja. meski dalam konteks ini sebetulnya bisa dilakukan. Di sisi Hartoyo, dia sebetulnya berhutang pada Pak Ustadz Amin. Dia lah yang menjadi penghulu ketika dirinya dan Ratih menikah di masjid. Oleh sebab itulah, Hartoyo tidak bisa menolaknya.

~o0o~

Detak jantung Aisyah tiba-tiba berdegup kencang. Kedua matanya terbelalak. Mulutnya membuka. Kedua tangan mengepal keras.

Selama perjalanan menuju ke sekolah, dirinya merasakan firasat buruk mengenai kedua orang tuanya. Fanesya yang sibuk mendengarkan music, melepaskan headset miliknya. Dia menenangkan Aisyah dilanda kegalauan.

"Aisyah ... oi Aisyah!"

"M-maaf! Aku—"

"Ada apa denganmu? Wajahmu pucat sekali," katanya blak-blakan.

Aisyah menghirup napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan hatinya. Pelan tapi pasti, detak jantungnya kembali normal. Walau demikian, tangannya tetap gemetaran. Tangan kirinya mencengkram tangan kanan. ekspresinya mengeras.

"Apa ada hal yang ingin kau berbagi denganku?"

"Itu—"

"Cerita saja. Daripada diempet, lebih baik dikeluarkan saja kan?"

"Memangnya Buang Air Besar harus diempet?" gerutu Aisyah.

Fanesya tidak mampu menahan tertawa. Aisyah tersenyum masam mendengarnya. Dia menggeleng-geleng kepala melihat tingkah Fanesya. Akhirnya, dia menceritakan permasalahannya. Dimulai dari tindakan heroic yang tidak diapresiasi, masa lalu Aisyah yang belum diketahui. Tapi Aisyah menyembunyikan firasat buruknya.

"Dari ceritamu barusan, kurasa masuk akal juga ada orang yang bisa mengendalikan layaknya zombie," ujar Fanesya.

"Tapi itu kan cuma fiktif. Tidak mungkin beneran, sya!"

"Aku tahu, aku tahu! Dari perkataanmu barusan, tidak ada unsur kebohongan. Tapi ..." Fanesya memotong nada bicaranya sendiri. "Sudahkah kau hubungi mentormu?"

Aisyah menggeleng kepala tegas. Dia merogoh tas sekolah, menunjukkan surat dari kapal Argo kepadanya. Fanesya menerima pemberiannya, membacakan isi surat tersebut.

Selang beberapa menit, Fanesya menghela napas panjang. Bingung bagaimana harus menanggapinya. Dia merasa tidak mampu berbuat apa-apa untuk sahabatnya. Walau demikian, Fanesya tidak ingin membiarkan masalah ini sendirian.

"Maaf bukannya aku tidak mau membantumu, tapi aku tidak mau kau menanggung ini sendirian. Sejujurnya, terlalu berat untuk dipikul sendiri,"

"Kau benar, Sya. Seharusnya aku menceritakan ini kepadamu," akui Aisyah muram.

"Begini saja. Kita akan pikirkan masalah ini nanti. Sekarang yang penting kau fokus dulu apa yang harus kau lakukan. Jangan lupa PR disiapkan dan bekalmu harus dimakan. Biar tidak jatuh sakit," nasehat Fanesya diucapkan kepada Aisyah.

Aisyah mau tidak mau menuruti dia. Toh tidak ada gunanya berdebat dengan gadis ini.

Sesampai di sekolah, Aisyah dan Fanesya menutup pintu mobil. Supirnya memberikan dua bekal kepada mereka. Seketika, Aisyah terkejut menerimanya.

"Lho kok aku juga?"

"Ya, non. Ini buatan Fanesya. Toh nona selama ini makannya di kantin. Jadi non Fanesya membuatkan ini khusus buatmu," jelas supir nyengir.

Lirikan tajam ditunjukkan ke Fanesya. Dia tahu apa maksud dari ucapan supir ini. Pipinya mengembung. Matanya menoleh ke samping. Enggan menatap mata Fanesya. Supirnya kebingungan dan keburu pergi duluan.

Satu hal yang pasti dari Fanesya. Mulai detik ini, dia tidak diperbolehkan untuk memasak. Karena Aisyah pernah merasakan masakan buatannya. Hasilnya, mengerikan dan tidak layak untuk dimakan.

To be Continued