Matahari senja bersinar hangat dengan cahaya jingganya. Aku berada di sebuah dermaga kecil, bersama Bimo dan Nick. Ada beberapa deretan kapal pesiar pribadi kecil bersandar. Bersama kami juga ada kapten kapal yang waktu itu berada di tempat kejadian hilangnya anak Tuan Rusman.
Namanya Albert, kebetulan dia orang jawa. Entah dari mana orangtuanya bisa mendapatkan nama bagus untuk seorang pribumi yang sekarang sudah berumur empat puluh tahun itu. Biasanya pada masa kelahiran orang yang berumur segitu, orangtua mungkin akan memilih nama Agus, Slamet, atau Budi, tapi suka-suka bapak dan ibunya-sih.
Lelaki berpostur sedang dengan kulit kehitaman karena terbakar sinar matahari itu yang akan mengantarkan kami ke lokasi kejadian. Dia juga membawa tiga orang anak buah untuk berlayar bersama.
"Tuan-tuan, sudah siap untuk berangkat sekarang?" tanya Albert pada kami bertiga.
"Aku sudah siap dari tadi, Kapten." Nick langsung nyelonong melewati papan semacam jembatan kecil untuk menuju kapal sambil membawa sebuah tas dipundaknya. "Anda yang dari tadi belum memerintahkan kami, kukira kami akan menunggu hingga karatan dulu baru anda perintah. Hahaha."
Albert hanya nyengir dengan candaan Nick yang memang tidak lucu tapi ditertawai oleh dia sendiri.
Aku dan Bimo menyusul menuju kapal. Sebuah kapal pesiar pribadi yang tidak terlalu besar, panjangnya sekitar enam belas meter, mungkin jenis flybridge cruiser, terdapat ruangan-ruangan di dalam kabin yang bisa digunakan untuk beristirahat, sangat nyaman seperti liburan.
"Kita berangkat!" perintah Albert pada anak buahnya.
Kita sengaja berangkat pada sore hari, karena lokasi yang kami tuju lumayan jauh. Kami berniat sampai sana pada saat matahari bersinar, karena berbahaya jika kita mengeksplorasi tempat itu di saat gelap.
Aku, Bimo, Nick dan Albert berada di buritan kapal. Sedangkan kapal dikemudikan oleh seorang ABK.
"Kapten. Saat kejadian malam itu, apa tidak ada petunjuk tentang mereka sama sekali?" tanyaku, "selain sisik itu tentunya."
"Tidak ada, Tuan Yodha. Kami hanya menemukan itu di karang di mana kapal kami tersangkut."
"Kalian beruntung, kapal menabrak karang tapi tidak rusak dan tenggelam."
"Ya, beberapa mitos mengatakan, duyung sengaja membuat kapal para pelaut menabrak karang." Nick ikut bicara. "Ada yang bilang mereka iseng, atau itu pekerjaan mereka, tapi ada juga yang bilang mereka dendam."
"Dendam?"
"Sebagian berpendapat mereka adalah para putri Akhelous."
"Siapa lagi Akhelous itu, Prof?" tanya Bimo.
"Bukankah dia seorang pencemburu yang bermusuhan dengan Herakles karena seorang wanita bernama Deianeira, Nick?"
"Betul sekali, Junior. Dalam mitologi, Herakles seorang dewa sungai, dia berhasil mendapatkan Deianeira, dan keturunannya kebanyakan menjadi pelaut."
"Hmm... berarti Akhelous itu mempunyai keturunan para duyung untuk membalas dendam pada Herakles."
"Ya, tapi itu hanya beberapa pendapat saja," kata Nick sambil mengangkat bahunya. "Ngomong-ngomong, bagaimana bisa kapal anda tidak tenggelam saat menabrak karang, Kapten?"
"Kapal kami kebetulan hanya tersangkut, karangnya lebar dan agak landai pada sisinya," kata Albert menjelaskan.
"Ujung kapal tertopang pada bagian karang yang terendam air. Kami turun dengan tangga tali untuk mendorong kapal, karena kami sudah menyalakan mesin untuk mundur, tapi tetap tersangkut. Dan kebetulan air sangat tenang pada saat itu."
"Dan waktu kalian turun, kalian menemukan sisik itu," kata Bimo. "Lalu memungutnya karena kalian belum pernah melihat sisik ikan seperti itu."
"Ya, sebenarnya tadinya kami mengira itu sebuah koin perak, setelah kami pungut dan dibawa ke kapal, ternyata sisik ikan."
"Kenapa kau tidak membuangnya? Apa kalian tahu itu sisik duyung?"
"Tidak, kami tidak tahu. Tapi kami rasa ini bisa jadi petunjuk. Karena saya rasa sisik itu belum lama di situ, jika sudah lama pasti hilang oleh air laut yang setiap hari pasang surut."
"Benar. Ternyata anda cerdas, Kapten," kata Nick.
"Memangnya saya terlihat bodoh bagi anda?" kata Albert, melirik pada Nick. "Dan anda sangat pintar karena anda seorang profesor?"
Aku kira Albert akan kesal pada Nick yang candaannya benar-benar payah, tapi kemudian mereka berdua malah tertawa bersama. Bimo yang memang sedikit –oh, bukan, tapi memang bodoh, ikut tertawa bersama mereka padahal tidak ada hal lucu sama sekali.
"Ehm. Kapten, apa anda tidak punya kopi atau minuman lainnya?" Aku sengaja memotong aksi mereka yang menyebalkan itu, "aku sedikit haus dan kedinginan."
"Oh, ada- kok." Albert menghentikan tawanya. "Ayo kita ke dalam saja, matahari sudah mulai terbenam, suhu bisa menurun drastis di luar."
Albert lalu mengajak kami masuk ke dalam kabin, saat itu memang di luar mulai gelap, suhu menurun, tapi laut jawa begitu tenang dengan sedikit ombak.
"Kenapa Tuan Rusman tidak ikut bersama kalian?"
"Oh, dia bilang kalau istrinya belum tahu tentang hilangnya putra mereka. Istrinya hanya tahu kalau anaknya sedang melaut selama beberapa minggu," jawabku.
"Oh, saya mengerti. Jadi jika Tuan Rusman ikut, malah isterinya akan bertanya dan bisa jadi tahu kalau anaknya itu hilang, ya?"
"Bisa jadi. Tapi ku rasa, jika dia pergi, istrinya akan mengira dia sedang selingkuh, berlibur dan bersenang-senang dengan wanita lain," jawabku.
Albert hanya nyengir, sedangkan Bimo dan Nick tertawa di belakang kami.
...
Aku tidak akan menceritakan tentang malam yang kami lewati di kapal, aku beberapa kali terjaga dari tidurku karena terganggu oleh suara dari Bimo yang berkali-kali keluar masuk kabin karena mabuk laut, mengeluarkan seluruh isi perutnya, kemudian kembali ke dalam dengan wajah pucat.
Yang jelas, sekarang matahari sudah mulai bersinar, meski masih malu-malu. Setidaknya kami sudah bisa melihat dengan jelas keadaan sekeliling. Kapal kami berhenti di dekat gugusan batu-batu karang yang mengelilingi sebuah pulau karang yang luas dan tinggi, dengan banyak tebing pada sisinya.
"Hebat sekali anda, Kapten, bisa menemukan tempat ini lagi dalam waktu semalam," ujar Bimo.
"Kami sudah menandai lokasi ini di peta, Tuan," jawab Albert. "Makanya kami juga sudah memprediksi waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sini."
Bodoh sekali pernyataan Bimo, malu-maluin sebagai asisten seorang detektif sepertiku.
Aku menatap takjub pada pulau karang di depan mataku. Dan entah kenapa jantungku juga berdetak kencang, gugup, baru kali ini aku berhadapan dengan duyung setelah entah berapa banyak makhluk mitos yang aku jumpai.
Nick juga terlihat sangat bersemangat dengan terus memandang ke arah pulau. Senyum Nick tak bisa terhapus dari wajahnya.
"Tuan-tuan, saya sudah menyiapkan perahu karet untuk kita menuju ke pulau, mari!" seruan Kapten Albert mengalihkan perhatianku pada gugusan-gugusan karang dan wajah Nick.
Kapal karet telah diturunkan, Albert lebih dulu turun menggunakan tangga tali dan kini sudah berada di atas perahu karet. Nick menyusul dibantu anak buah kapal, meski dia sebenarnya tidak perlu itu. Nick masih gesit, mungkin mereka melakukannya untuk menghormati pria yang sudah berumur. Kemudian aku dan Bimo ikut menyusul mereka.
"Tolong jaga di sini!" perintah Albert pada tiga anak buahnya, "jika ada sesuatu aku akan menyalakan pistol suar dan kalian mintalah bantuan."
"Baik, Pak," jawab salah satu ABK.
Kita sadar, bahwa radio akan berbahaya di sini, makanya kami hanya membawa pistol suar untuk memberi tanda SOS jika kami dalam bahaya.
Kapal karet kami melaju menuju pulau karang besar dan tinggi yang berada di tengah gugusan karang-karang. Albert mendayung kapal karet dibantu Bimo, dengan lihai menghindari karang-karang yang menyembul dari permukaan laut. Jika menggunakan mesin, mungkin berkali-kali akan rusak karena terantuk karang.
Air laut sangat tenang, tidak seperti jantungku yang berdegup lebih kencang saat pulau itu mulai terlihat jelas, seperti sebuah batu karang raksasa mencuat dari permukaan air dengan lubang-lubang seperti goa di beberapa bagian.
Tubuhku sedikit bergetar karena antusias yang besar dan ketidak sabaran untuk segera memulai petualangan. Aku menggulung lengan kemeja yang ku kenakan, lalu menyentuh dinginnya air laut. Nick menoleh pada ku,
"Akhirnya datang lagi petualangan bersama mu, Junior."
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa senangku, aku mengacungkan jempol dan tersenyum padanya.
...
Cahaya matahari mulai bersinar lebih berani, tapi belum cukup untuk menyingkirkan sedikit kabut dan suhu dingin di sekitar pulau karang.
Albert terus mendayung dan mengarahkan kapal karet kami memasuki sebuah goa besar di kaki tebing pulau karang sesuai petunjuk Nick.
Saat masuk ke mulut goa, cahaya mulai meredup, air laut di dalam goa yang masuk ke bawah pulau karang lebih tenang dari pada di luar, bahkan tanpa arus sedikitpun. Nick mengeluarkan beberapa lampu senter yang bisa diikatkan di kepala, seperti yang biasa dipakai para penambang, lalu memakainya satu.
"Pakailah ini!" perintah Nick sambil menyodorkan senter-senter yang tersisa kepadaku dan yang lain.
"Ternyata kau sudah menyiapkan segalanya, Nick," kataku sambil memakai senter tadi di kepala lalu menyalakannya. Begitu juga Bimo dan Albert melakukan hal yang sama.
"Sudah ku bilang, kau masih harus banyak belajar dari orang tua jenius seperti aku, Junior."
"Ya... ya..." jawabku sambil menaikkan sebelah alis.
"Ini untukmu, Junior." Nick menyodorkan sebuah benda padaku.
Aku mengambilnya, rupanya sebuah buku kusam berukuran kecil, dengan sampul kulit berwarna coklat tua dan memiliki kancing, sebuah buku catatan model kuno. Sekilas seperti dompet, hanya lebih besar sedikit. Hampir aku tertipu mengira Nick memberikan dompetnya yang berisi penuh padaku.
"Bukalah! Dan pakai saja kalau kau mau."
Aku melirik pada Nick lalu membuka kancing pada buku tersebut dan melihat isinya. Pada halaman pertama terdapat tulisan---
Untuk sahabat sekaligus asistenku Nicholas Anderson,
selamat ulang tahun ke 26, semoga kau tidak ditendang lagi oleh centaur dan dryad.
Sahabatmu, Edward Pranayodha.
Aku kembali melirik ke arah Nick, rupanya dia sedang memperhatikan aku. Sorotan dari cahaya senter kepalaku tepat mengenai wajah tuanya yang dihiasi senyuman.
Aku kembali memperhatikan ke buku, di halaman berikutnya terdapat foto hitam putih yang tertempel, dengan gambar dua orang pria muda.
Yang satu menggunakan setelan jas kuno dengan topi bulat, gaya berpakaian masa lalu seperti dalam film-film detektif dari jaman dulu. Wajahnya sangat mirip denganku, kulit putih, hidung sedikit mancung, dan berambut hitam, khas wajah orang blasteran, dengan perawakan sedang, dia ayahku, Edward. Yang membedakan mungkin wajahku yang sedikit oval, yang kudapat dari ibuku.
Disampingnya seorang pria muda dengan tubuh tinggi dan berbadan lebih besar, berambut pirang dengan sedikit jambang sedang tersenyum konyol, dia Nick waktu muda. Tidak banyak perubahan pada Nick dalam foto dibandingkan dengan sekarang, selain wajahnya yang menua dan warna rambutnya yang mulai memudar, badannya masih terlihat bugar, tapi dia kehilangan bentuk dada dan perutnya yang dulu bidang.
"Benar kataku, kan, Junior. Ayahmu waktu muda benar-benar mirip denganmu sekarang."
"Ya. Aku juga punya foto ayah, hanya anak durhaka yang tidak punya foto ayahnya. Tapi lebih tampan aku dari pada ayahku."
"Tapi kenapa kau belum juga menikah? Hahaha."
Aku hanya mendengus dengan kata Nick yang lebih mirip sindiran bukan pertanyaan.
"Terimakasih, Nick, akan kugunakan ini sebaik mungkin." Aku memasukkan buku ini ke dalam saku celanaku yang longgar.
"Itu pemberian ayahmu di hari ulang tahunku. Meski sudah lebih dari seperempat abad, tapi masih awet, karena sampulnya tahan air."
"Ya, dan kau belum pernah menggunakannya, terlihat semua halaman masih kosong."
"Hahaha... aku tidak terlalu suka menulis, Junior. Aku lebih suka mengingat. Itulah kenapa ingatanku selalu bagus," jawab Nick sambil mengedipkan sebelah mata padaku.
"Apa iya, Prof?" Bimo ikut bicara, "bahkan anda tidak ingat kalau kita sudah masuk ke sarang duyung dan anda belum mengeluarkan penutup telinga ajaibmu itu."
"Aduh, kenapa tiba-tiba aku jadi pikun."
Kami bertiga tertawa pelan, Bimo berhasil mempermalukan Nick, meski menurutku dia tidak malu. Nick tidak punya ke-malu-an, maksudku rasa malu, sama sekali.
"Ayo, cepat, pakai ini!" Nick mengeluarkan beberepa headphone 'ajaib' kuno dan membaginya, lalu kami semua memakainya.
Begitu memakainya, aku merasa senyap, ada suatu suara yang hilang dari pendengaran ku, seperti jika sedang mendengar orkestra, aku kehilangan suara flute yang bernada tinggi, tapi tetap bisa mendengar yang lain.
"Test... test... Yodha, kau mendengar ku? Halo, Yodha? Test! Test..." Bimo berkata seperti sedang mencoba mikropon untuk pidato.
"Kau apa-apaan sih, Bimo?"
"Oke, alat ini berfungsi, kau masih bisa mendengarku. Semoga berfungsi untuk menyaring suara duyung."
Kami terus mendayung dan masuk lebih jauh ke dalam goa pulau karang yang gelap. Hingga kami sampai di tempat yang tidak berair.
"Sepertinya kita harus meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki," kataku.
Kapten lalu mendayung ke tempat bebatuan yang landai, kami semua turun dari kapal, dan mengangkat perahu karet ke atas bebatuan dan mengikatnya di sana.
Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, melewati bebatuan karang, masuk lebih dalam ke goa bawah pulau karang yang gelap.
"Hati-hati! Bebatuan ini licin dan tajam," kata Nick. "Seharusnya kita menggunakan helm."
Aku tidak bisa membayangkan jika harus menggunakan helm, memakai senter kepala sekaligus headphone besar ini saja membuatku terlihat konyol, tapi di goa gelap seperti ini, siapa yang peduli dengan penampilanku.
Setelah agak jauh masuk ke dalam, aku melihat cahaya remang-remang dari depan. Kami bergegas masuk menuju tempat yang lebih terang tersebut, hingga kami mendapati sebuah kolam besar dengan air yang sangat tenang di tengah goa.
Langit-langit goa di atas kolam itu lebih tinggi, menjulang ke atas dan berlubang, seperti cerobong asap, hingga cahaya bisa masuk menerpa kolam.
Aku takjub dan sedikit ngeri melihat kolam di dalam goa dengan cahaya remang-remang ini, di seberang kolam, mulut goa yang gelap menganga dengan air dari kolam menuju kesana.
"Sepertinya kita kembali membutuhkan perahu karet untuk meneruskan perjalanan." kata Albert.
"Ya, di depan kita kembali lantai goa yang berair. Atau mungkin kolam ini tidak terlalu dalam." Bimo menuju ke kolam dan menunduk di depannya mengamati dasar kolam.
Aku memandang sekeliling, mencoba mencari jalan lain, meski air kolam terlihat, cahaya remang-remang ini tak mampu menyinari dinding goa pada samping kolam yang masih gelap.
"Aaargh!"
Teriakan Bimo mengagetkan ku dan menurutku pasti yang lain juga. Bimo terlihat terduduk terjengkang dari pinggir kolam.
"Ma--- mata! Aku melihat sepasang mata dari dalam kolam!"