Aku dan Bimo tiba di rumah Profesor Nick sore tadi. Kami berangkat dari Jakarta menggunakan pesawat dan tiba di sebuah bandara dari salah satu kota di Pulau Kalimantan dan sudah ditunggu Nick di sana.
Dia membawa kertas bertuliskan 'JUNIOR' yang besar, seperti menjemput seseorang yang baru berkelana dari luar negeri, memalukan sekali. Dan lagi, entah kenapa dia suka memanggilku Junior sejak aku kecil.
Dia tidak mau memanggil nama depanku dan menurutnya jika memanggilku Yodha, akan sama dengan panggilannya pada ayahku, Edward Pranayodha. Mungkin karena itu makanya Nick memanggilku Junior, sampai kedua orangtuaku pun memanggilku dengan nama itu, anehnya dia mengaku belum pernah memanggil mendiang ayahku dengan sebutan Senior.
Kami sedang makan malam bertiga waktu itu, memakan masakan Prof. Nick yang rasanya lumayan enak. Dia biasa masak sendiri karena hidup tanpa pasangan setelah istrinya meninggal dan tidak punya anak, jadilah malam itu makan malam para pria single yang sudah berumur.
"Sudah lama sekali kita tidak makan malam bersama seperti ini, Junior," kata Nick sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. "Terakhir kali setelah kita makan malam bersama kurcaci di Glasgow delapan tahun yang lalu."
Bimo melirik padaku. "Kau pernah makan bersama kurcaci?"
"Jangan percaya padanya, Bimo," jawabku. "Dia suka sekali mengarang cerita."
Nick terkekeh, "dia seperti putri salju yang dikerumuni kurcaci, mereka sangat menyukai Junior."
Bimo tertawa, aku ikut tertawa masam, "Ha—ha—lucu sekali, Nick!"
Aku biasa memanggil Profesor Nicholas dengan menyebut Nick saja, padahal dia ingin sekali dipanggil paman olehku. Aku juga malas untuk memanggilnya profesor, profesor di bidang apa aku juga tidak tahu.
"Kau sekarang mirip sekali dengan ayahmu, Junior." Nick menatap ku, "aku bahkan tidak bisa membedakannya jika dia bersamamu saat ini."
Oh ya, ayah meninggalkanku saat aku berumur 11 tahun, juga ibuku. Ayahku berkebangsaan Indonesia, kakekku orang jawa, tapi nenek seorang Inggris, itulah kenapa ayah bernama Edward, nama bule. Ibuku juga orang Inggris, tapi tidak ada nama bule padaku. Jadi kakek punya istri bule punya anak menikah dengan bule dan anaknya jawa. Bingung? Aku sih tidak.
Nick merawat aku sejak kecil, dia sudah seperti ayah bagiku. Tetapi cara dia merawatku yang seenak udelnya itu membuat perlakuanku padanya seperti teman, bukan seorang ayah atau paman.
"Nick, kau punya catatan tentang duyung?" Aku menyelesaikan makan dan berusaha mengalihkan pembicaraan tentang orangtuaku.
"Aku masih punya catatan tentang itu, hanya itu sangat lama dan berbahasa Yunani kuno." Nick mengelap mulutnya dengan lengan bajunya, padahal saputangan untuk mulut tersedia di depannya. "Tenang, Junior. Aku sudah menyimpan semua catatan di sini, di kepalaku."
"Hei, jangan bilang kau akan ikut dalam investigasi ini, kau sudah tua, nanti encokmu kambuh, aku yang repot."
"Kau meremehkan orang yang pernah menang gulat melawan minotaur, Junior," jawab Nick sambil mengangkat tangannya, memamerkan otot lengannya yang sudah melembek.
"Wow, otot yang bagus, Prof!" kata Bimo sambil mengacungkan dua jempol. Jadilah tingkah Nick semakin besar kepala, dengan mengangkat tangan satunya, dan bergaya seperti atlet binaraga.
Memang, meski umurnya sudah kepala lima, Nick masih sehat dan bugar karena sejak muda dia suka berpetualang.
"Besok antar aku ke tempat orang itu, Nick!" kataku menghentikan aksinya yang kemudian diam seperti patung Atlas tanpa globe di atasnya.
"Kenapa buru-buru? Aku ingin mengajakmu jalan-jalan dulu."
"Tidak ada waktu, bagaimana jika anaknya kita temukan sudah jadi tumpukan tulang karena dimakan duyung?"
"Akan kujelaskan sedikit tentang duyung." Nick lalu duduk dan mulai berceramah.
"Dalam mitologi Yunani, Siren atau 'Seirenes' adalah makhluk legendaris, termasuk kaum Naiad, Salah satu kaum nimfa yang hidup di lautan." Nick berbicara dengan serius.
Saat mendengar Nick menjelaskan tentang duyung, aku seperti sedang mendengar ibuku yang mendongeng. Ada bayangan-bayangan dalam benakku tentang semua yang dikatakan olehnya.
"Mereka tinggal di sebuah pulau yang bernama Sirenum Scopuli,
Ada juga yang mengatakan, mereka berasal dari tanjung Pelorum, pulau Anthemusa, pulau Sirenusian dekat Paistum, atau di Capreae.
Semuanya adalah tempat-tempat yang dikelilingi oleh batu karang dan tebing.
Mereka menyanyikan lagu-lagu memikat hati yang membuat para pelaut, dan yang mendengarnya menjadi terbuai, dan menceburkan diri ke laut.
Lalu sebuah kejadian yang menimpa pelaut bernama Odesius, membuat hampir seluruh siren diburu, dan mereka menyebar ke seluruh dunia untuk mencari tempat tinggal baru."
Bayanganku buyar saat Nick mengakhiri ceritanya.
"Berarti harusnya ada pulau karang di sekitar Masalembo."
"Ya, harusnya begitu."
"Tunggu, berarti kita harus membawa penutup telinga saat ke sana, kan?" Bimo tiba-tiba menimpali, "tenang aku sudah bawa earphone, aku akan menyetel musik keras-keras dan mengalahkan suara mereka."
"Hahaha! Kau pintar sekali, Bemo," kata Nick.
"Aku Bimo, Prof. Bukan bemo."
Aku tertawa dengan tingkah mereka, meski berusaha tidak terdengar keras, aku tetap menjaga image-ku sebagai orang yang pelit senyum.
"Aku sendiri malah penasaran dengan nyanyian mereka." Aku bangkit dari kursi, "sekarang sudah beda jaman dengan Odesius, mungkin sekarang duyung menyanyikan lagu milik The Beatles atau Metallica."
Sekarang giliran mereka berdua yang tertawa terbahak-bahak.
...
Tuan Rusman, pemilik perusahaan penangkapan ikan itu sedang duduk saat kami tiba di kantornya.
"Selamat siang, Tuan Rusman."
"Ah, Profesor Anderson."
Mereka berdua bersalaman dan saling merangkul seperti sahabat lama yang baru bertemu, padahal menurutku mereka sering bertemu.
"Oh, ya, kenalkan ini mereka." Nick mengulurkan tangan ke arah Aku dan Bimo, memberitahu keberadaan kami.
"Ah, selamat datang." Tuan Rusman menyalami kami. "Saya Rusman, Rusman Sulaiman, yang meminta bantuan kalian."
"Jalu Pranayodha," kataku sambil menyalaminya sebagai perkenalan, "panggil Yodha saja, Tuan."
"Saya, Arya Abimanyu, Tuan Rusman, panggil saya Bimo."
"Bemo?"
"Bimo, Be- i- em- o!" Bimo terlihat sedikit kesal, tapi seperti itu tidak terlalu mengganggunya, mungkin lama-lama dia akan terbiasa dipanggil dengan nama kendaraan yang sudah punah itu.
"Oh, maafkan saya, Tuan Bimo, silahkan duduk."
Kami semua lalu duduk dan tak berapa lama seorang office boy datang untuk mengantarkan minuman.
"Saya tidak menyangka anda berdua masih muda, Tuan Yodha dan Tuan Bimo," kata Tuan Rusman, "saya benar-benar butuh bantuan kalian."
"Bisa anda ceritakan bagaimana kejadiannya?" tanyaku pada Tuan Rusman.
"Sebenarnya saya antara percaya dan tidak percaya. Saya mendengar dari mereka yang kembali melaut." Pria setengah tua itu mulai bercerita.
"Kejadiannya hampir dua minggu yang lalu, kapal kami biasa menangkap ikan di perairan sekitar Laut Jawa. Waktu itu yang berangkat kapten kapal bersama sepuluh orang anak buah kapal, ditambah anak saya sebagai pengawas."
Kami bertiga memperhatikan cerita Tuan Rusman dengan seksama. Bimo, tanpa malu-malu langsung meminum minuman di meja sebelum dipersilahkan.
"Menurut kapten kapal, kejadiannya pada malam hari setelah semua selesai menarik jala dan menurunkan hasil tangkapan ke tempat penyimpanan di lambung kapal."
Tuan Rusman mengambil cangkir tanpa meminumnya, lalu melanjutkan cerita,
"Saat itu lepas makan malam, dan semua kru beristirahat termasuk kapten, katanya terakhir dia melihat anak saya akan ke luar dan memeriksa bersama beberapa ABK yang bertugas berjaga malam."
Bimo dan Nick memperhatikan sambil manggut-manggut.
"Apa tidak ada suara atau kejadian aneh yang dialami kapten, malam itu?" tanya Bimo.
"Kapten yang waktu itu sedang tidur, dikejutkan dengan suara benturan dan goncangan pada kapal. Padahal mesin kapal dalam keadaan mati dan tidak ada gelombang, perairan sangat tenang malam itu, bahkan angin tidak berhembus."
"Apa kapal menabrak sesuatu?" tanyaku.
"Ya, kapten terbangun lalu keluar ke dek, tapi tidak ada siapapun disana. Dan ternyata kapal menabrak karang yang lumayan besar."
"Karang?"
"Ya, ada banyak gugusan karang yang mengelilingi sebuah pulau karang," Tuan Rusman meminum teh dari cangkir yang sedari tadi dipegang olehnya.
"Kapten membangunkan semua awak kapal yang sedang tidur di dalam, dan menceritakan apa yang terjadi. Mereka berteriak memanggil anak saya dan nama kru yang hilang, mengira mereka turun dan pergi ke pulau karang, tapi sekoci masih utuh pada tempatnya."
"Lalu mereka pulang dan meninggalkan mereka?"
Tuan Rusman berdiri, berjalan menuju meja kerjanya, kemudian mengambil sesuatu dan di berikan padaku.
"Coba bukalah, Tuan Yodha."
Aku membuka kotak itu, dan melihat beberapa benda bulat pipih berkilat, berwarna perak kehitaman.
"Hmm... ini sisik dari siren?" kataku sambil melirik ke arah Nick.
"Ya, Junior," jawab Nick. "Tuan Rusman sudah memperlihatkan padaku sebelum kusarankan dia untuk menghubungi kalian."
"Para awak kapal yang membawa ini, Tuan?" tanyaku pada bos ikan itu.
"Ya, mereka turun ke karang lebar yang tertabrak kapal, untuk mendorong kapal kembali ke laut dan menemukan benda itu berserakan di karang," jawab Tuan Rusman. "Belum pernah mereka melihat sisik ikan yang seperti itu, meski sudah bertahun-tahun melaut."
"Mana? Lihat, Yod." Bimo mengambil kotak dari tanganku dan melihat isinya, "mirip koin perak, tapi tipis."
"Baiklah, Tuan Rusman. Kami akan membantu anda," kataku.
"Terima kasih, besok akan saya siapkan kapal, mungkin anda butuh senjata seperti pistol atau semacamnya?" kata Rusman.
"Kami sudah punya senjata sendiri, Tuan." Nick buru-buru menjawab pertanyaan, padahal aku ingin jawab 'ya'. Sudah lama aku ingin pistol beneran, kan- keren kalau detektif membawa pistol. Ah, Nick bodoh sekali.
"Maksud anda senjata sendiri apa, Prof?" tanya Bimo yang dari tadi mengamati sisik duyung tiba-tiba ikut nimbrung.
"Ah, iya. Yang kalian hadapi kan makhluk ajaib, jadi pasti kalian punya senjata penangkal sihir," kata Tuan Rusman.
"Benar, tapi kurang tepat," jawab Nick. "Sebenarnya tidak ada sihir, dan mereka tidak ajaib, mereka juga makhluk hidup."
"Benar, Tuan Rusman," imbuhku. "Banyak yang menyangka makhluk mitologi bisa menyihir, padahal ada penjelasan ilmiah tentang mereka, termasuk nyanyian duyung atau siren."
Nick manggut-manggut, "dia tidak bernyanyi, tapi mengeluarkan suara pada frekuensi tertentu yang jika terdengar akan mempengaruhi otak dan berefek seperti obat bius."
"Oh, sekarang masuk akal," kata Tuan Rusman dengan mata berbinar.
"Ya, pita suara siren dirancang untuk menghasilkan suara seperti itu, seperti halnya lumba-lumba, hanya bedanya lumba-lumba memakainya untuk navigasi. Dan frekuensi pada gelombang tertentu juga bisa ditangkap dengan radio."
"Oh, apakah itu sebabnya pesawat juga hilang kontak lalu menghilang, karena pilot juga menggunakan radio untuk navigasi nya?"
"Bingo!" Aku dan Nick menjawab bersamaan dengan mengacungkan jari seperti pistol.
"Lalu senjata apa yang kau maksud, Prof?" tanya Bimo.
"Kalian tahu, kan? Kita tidak boleh sampai mendengar nyanyian duyung." Nick mengeluarkan sebuah alat mirip headphone dari tasnya.
"Oh, kau akan mendengarkan musik melalui itu? Itu sih bukan alat istimewa ciptaan mu, Prof," protes Bimo.
"Kau dengarkan dulu, Bemo." Nick melanjutkan, "jika hanya menutup telinga, bagaimana kita akan berkomunikasi?"
Mendengar penjelasan Nick, aku merasa masih bodoh, masih harus banyak belajar pengalaman darinya.
"Dengan alat ini, kita hanya akan mendengar suara dengan frekuensi rendah, seperti suara yang kita dengar sehari-hari."
"Artinya alat mu ini seperti saringan yang menghalangi suara frekuensi tertentu untuk masuk dan tetap membuat suara dengan frekuensi normal tetap terdengar," kataku.
"Bingo! Kau cerdas, Junior." Nick mengarahkan 'pistol jari'-nya padaku. "Dengan ini kita masih bisa bercakap-cakap tanpa mendengar nyanyian duyung."
"Nick, apa kau membuat ini hanya dalam waktu singkat setelah tahu bahwa kita akan menghadapi siren?"
"Hahaha!" Nick suka sekali tertawa, aku bosan mendengarnya.
"Kau belum tahu, Junior? Ini sudah aku ciptakan bersama ayahmu puluhan tahun yang lalu."
"Ya, bentuknya sudah ketinggalan jaman tidak seperti headphone atau earphone masa kini." Bimo mengamati benda milik Nick.
"Jadi kau pernah bertemu duyung?" tanyaku.
"Belum. Siren sebenarnya ada dua jenis, satu berbadan ikan dan yang lain wanita bersayap, mereka menyebutnya Harpies." Nick mulai menceritakan lagi pengetahuannya tentang makhluk mitologi.
"Dulu aku dan ayahmu berniat untuk menyelidiki tentang Harpies, si siren bersayap ini. Mereka sama, memikat hati lelaki dengan nyanyian mereka. Tapi seseorang bernama Orfeus, seorang pemain harpa, mengalahkan lagu mereka dengan permainan harpanya. Setelah itu kabar tentang siren bersayap ini tak lagi terdengar."
Aku mulai berpikir bahwa permainan harpa yang dimaksud, pasti menggunakan nada atau pola tertentu sehingga bisa mengubah gelombang suara yang dikeluarkan siren, tidak berpengaruh pada manusia.
"Berarti kalian tidak mendapati mereka?" tanyaku.
Nick menggelengkan kepala dan mengangkat kedua tangannya. "Mental siren bersayap itu payah sekali, hanya sekali dikalahkan tidak mau muncul lagi."
"Baiklah, besok kita akan berangkat ke perairan Masalembo. Kami pamit dulu, Tuan Rusman," kataku.
Kami bertiga bersalaman dengan Tuan Rusman dan bersiap meninggalkan kantornya, dengan perasaan optimis menyelimutiku, lebih lagi ada Nick dan alatnya yang bisa membantu.
Nick dan Bimo lebih dulu meninggalkan ruangan, saat hendak keluar pintu aku berbisik pada Tuan Rusman, "Masalah tawaran anda tadi tentang menawari senjata, saya sangat senang jika anda benar memberinya."
Tuan Rusman tertawa tanpa bersuara sambil mengacungkan ibu jarinya. Dasar gila, dia tertawa seperti sedang tidak kehilangan anaknya saja.
Aku tidak tahu bahwa esok hari, sebuah petualangan yang tidak mudah dan berbahaya yang akan menyambut kami.
....