Nada meletakan nampan berisi teko kecil dan cangkir diatas coffe table dihadapan wanita yang kini tersenyum tanpa menolehkan sedikitpun wajahnya ke arah Nada. Sepertinya ia tidak menyadari kedatangan Nada sampai gadis itu menyentuh bahunya pelan sembari memanggilnya.
"Ibu.." panggil Nada membuat wanita itu sedikit tersentak.
"Oh Nada! Ibu melamun ya?" Nada tersenyum lalu mengangguk membenarkan, ia kembali menawarkan teh hangat yang sudah dibawanya, menuangkannya sedikit demi sedikit kedalam cangkir lalu memberikannya pada wanita yang sudah menolongnya 2 bulan yang lalu, yang ia panggil ibu, begitu beliau meminta Nada menyebutnya.
"Nada.. jangan seperti itu, kamu bukan pelayan, seharusnya kamu minta saja bibi buatkan teh untuk ibu"
"Tidak apa-apa bu, Nada memang ingin membuatkannya untuk ibu. Soalnya sepertinya ibu lagi senang, Nada jadi ingin memberikan sesuatu pada ibu, sekedar teh saja tidak ada apa-apanya dari apa yang sudah ibu lakukan padaku.. Jadi benarkan ibu sedang senang?"
"Aduh kelihatan ya?" lagi Nada mengangguk membenarkan. Sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, ibu meneguk teh buatan Nada yang baru saja diberikan, ia mendesah lega, merasakan teh hangat masuk kedalam kerongkongannya. Manis dan hangat, Nada membuatnya sangat pas dengan selera ibu.
"Anak ibu dua hari yang lalu pulang Nada. Ibu juga baru tahu dari sekretaris ibu. Dasar anak nakal, pulang ke negaranya bukan langsung menemui ibunya, malah tinggal di apartemen."
"Mungkin ada pekerjaan yang masih harus diselesaikan bu."
"Ah itu bukan alasan Nada, ibu kangen sama dia, sudah 2 bulan ini ibu tidak bertemu dengannya, kerjaannya hanya mengurusi perusahaan. Lupa kalau ibunya perlu diurusi juga. Sekalinya pulang bukan langsung pulang kerumah malah tinggal di apartemen. Biar saja kalau nanti sudah sampai ibu marahi habis-habisan" Nada hanya tersenyum menanggapi ibu yang tengah menceritakan anak laki-lakinya, sejak dirawat oleh ibu, Nada tidak pernah bertemu dengan anak laki-laki ibu, ia tahupun dari cerita yang ibu ceritakan padanya. Kata Ibu, anak ibu berada di London, mengurusi pekerjaan dikantor pusat. Ibu dulunya menikah dengan seseorang berkebangsaan Inggris, awalnya ia tinggal di sana tapi semenjak kepergian suaminya, ibu lebih memilih menetap di sini, di kampung halamannya, kata ibu lebih nyaman tinggal di negara sendiri, meski segala kekayaan harta berada di London, ibu tidak terlalu memikirkannya, toh anaknya akan mengurusinya. Beruntung anak ibu saat itu berumur 25 tahun, sudah bisa mengurus perusahaan sendiri. Akan tetapi ibu tetap memaksa anaknya untuk tinggal disini, biar ia bolak balik ke Inggris asalkan ia selalu pulang kesini. Sejauh ini hanya itu yang Nada tahu Nada tidak tahu apakah ibu memberi tahu kepada anaknya kalau ada Nada yang tinggal dirumah ibu selama dua bulan belakangan ini? Nada cuman takut kalau anak laki-laki ibu tidak menyukainya lalu mengusir Nada. Bukan takut kehilangan semua fasilitas yang kelewat enak ini tapi tentang Nada yang khawatir dipisahkan dari Ibu, Nada terlanjur menyayangi Ibu layaknya ibu Nada sendiri, jadi rasanya akan sulit sekali jika harus meninggalkan ibu.
"Ibu pernah ceritakan sama kamu, anak ibu itu tampan sekali?"
Nada terkekeh mengiyakan. "Sudah bu, bahkan berkali-kali, anak ibu tampan, berkulit putih dengan postur tubuh yang baik, mirip seperti almarhum suami ibu. Nada benarkan bu?" Ibu mengangguk senang, memang ibu selalu mendeskripsikan anaknya seperti itu tapi dilihat dari wajah ibu yang masih sangat cantik diusianya Nada percaya ibu tidak melebih-lebihkannya.
"Kamu belum pernah bertemukan? Nanti ibu kenalkan padamu ya?"
"Eh? Haruskah bu? Nada merasa sungkan bertemu dengan anak ibu" jawabnya jujur, ia merasa malu karena telah merepotkan orang tuanya, apalagi dengan kondisinya yang sekarang, Nada hanya merasa ia sangat kotor untuk bertemu siapapun.
"Loh kenapa memangnya? Kamu tidak usah takut Nada, dia anak ibu. Oiyah bagaimana kondisi kamu? Membaik? Masih suka mual-mual?" Tanya ibu cemas, tangannya mengusap perut Nada yang masih rata, walaupun sedikit terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba ibu, Nada mengulas senyumnya. Mengatakan bahwa kondisinya sudah jauh membaik, meski terkadang morning sicknya masih mengganggu hari-harinya di pagi hari, itu bukan masalah besar untuk Nada. Ya.... pada akhirnya Nada bisa menerima kehadiran bayi ini, awalnya ia sangat membencinya, sosoknya terasa asing untuk Nada. Tapi lambat laun, perasaan bencinya berganti jadi rasa sayang yang besar. Nada belajar dari ibu, kendati keduanya tak saling kenal, ibu bisa menyalurkan rasa sayangnya dengan tulus kepada Nada. Oleh sebab itu, Nada merubah sikapnya, kalau ibu saja yang tidak mengenal Nada bisa menyayanginya, kenapa Nada tidak? Apalagi anak dalam perut Nada adalah darah dagingnya sendiri, ikatan batin keduanya tidak bisa diragukan lagi. Sekarang, Nada menyayangi anak ini melebihi dirinya sendiri. Seburuk apapun ayah dari bayi ini, dan seburuk apapun awal terciptanya bayi ini, Nada mengikhlaskannya, ia menerima takdir yang diberikan Tuhan padanya. Dan tidak akan menyia-nyiakan kehidupan bayi ini lagi. Nada berjanji akan merawat bayi ini hingga ia lahir dengan sebaik-baiknya.
"Syukurlah Nada, ibu senang melihat kamu sekarang ini. Nah buat merayakan kondisi kamu, dan kedatangan anak ibu, kita harus buat makan malam spesial. Gimana? Kamu mau bantu ibu masak?"
"Iya bu, apapun untuk ibu"
Ibu mengusap pipi Nada dengan lembut, hari ini rasanya terlalu membahagiakan untuk ibu, kedatangan putranya yang ditunggu dan terlebih kehadiran Nada rasanya seperti memiliki anak gadis lagi.
"Kalau begitu Nada bersiap ya, ibu juga bersiap. Kita pergi belanja sekarang."
✖️✖️✖️
"Tidak bisakah paman lebih mengusahakannya?" Pria itu mencodongkan tubuhnya kedepan, tangannya bertautan diatas meja kerjanya. Wajahnya nampak serius sekaligus cemas dengan gurat lelah yang kentara, berharap jawaban pria yang lebih tua darinya dihadapannya sesuai dengan apa yang diharapkan. Namun agaknya kenyataan menapiknya demikian, pria tua itu menggelengkan kepalanya memandang menyesal karena tidak bisa memenuhi permintaan tuannya.
"Saya sudah berusaha Tuan, tapi gadis yang tuan maksud tidak pernah bisa ditemukan. Apalagi dengan spesifikasi yang terlampau sedikit itu, tidakkah ada ciri-ciri lain yang bisa tuan jabarkan?"
Pria itu menggeleng lemah, seolah seluruh tenaganya telah habis terkuras, ia mulai menyandarkan tubuhnya pada sofa kerjanya. Memijit pangkal hidungnya pelan, berharap pening di kepalanya sedikit berkurang.
"Tidak ada.. waktu itu aku tengah mabuk berat, sampai tidak sadar aku menjadi monster paman. Aku hanya ingat suaranya." Jawabnya begitu lirih, Ia lalu mengacak surainya yang gelap dengan frustasi. Sedangkan pria tua dihadapannya hanya bisa memandang kasihan anak majikan yang telah dirawatnya sejak kecil. Dua bulan yang lalu tepatnya ia sudah melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya. Dan sekarang ia mencari seseorang yang telah ia sakiti untuk menebus segala dosanya. Pria tua itu sangat ingin membantu tapi usahanya benar-benar tidak membuahkan hasil, sebab tuannya tidak terlalu banyak mengingat gadis itu. Ia jadi bingung sendiri, bagaimana cara mencarinya?
"Aku akan terus mencarinya paman, bagaimanapun sulitnya aku harus menemukannya! Siapa yang tahu, kalau ternyata dia mengandung anakku? Atau.... atau bahkan sekalipun ia sudah tidak bernyawa aku harus menemukan jasadnya!" Tekadnya bulat, perasaan bersalah ini membawanya kedalam lubang kesedihan, dan lubangnya kian membesar seiring berjalannya waktu. Ia tidak mau mati dalam perasaan bersalah. Meski harus menghabiskan hidupnya dalam pencarian, ia tidak peduli, ia akan terus berusaha keras.