Chereads / CodexTrigger / Chapter 19 - Bab XVIII - Mulutmu, Harimaumu

Chapter 19 - Bab XVIII - Mulutmu, Harimaumu

"--tcsih!"

Siang bolong, tapi hidung Marna masih terasa tidak enak. Ini pasti karena kedinginan kemarin. Andai saja sebelum berlari tidak jelas dia sempat mengambil mantel tebal, pasti tidak begini kejadiannya. Jika dipikir-pikir lagi, kalau dia sempat berpikir mengambil mantel, pasti dia sudah lepas dari kutukan Sria. Lepas dari kutukan Sria artinya dia tidak perlu berlarian seperti itu ataupun membuat Tyl terluka. Sehingga membatalkan seluruh keperluan untuk mengambil mantel tebal.

Siklus logika yang menggelikan.

Tyl belum bangun. Marna ingin menyalahkan dirinya untuk hal itu. Tidak seperti sebelum-sebelumnya. Kali ini memang karena itu adalah kesalahannya. Namun mau menyalahkan dirinya seperti apapun, semua itu sudah lewat.

Marna sadar selama ini dia terlalu banyak mengambil contoh dari Tyl. Sahabat masa kecilnya itu selalu menyalahkan dirinya sendiri jika ada sesuatu terjadi pada Marna. Termasuk kejadian tujuh belas tahun yang lalu. Mungkin karena dia adalah satu-satunya orang yang menemaninya tumbuh, karena itu tanpa sadar Marna pun mengambil jalur yang sama.

Bedanya, karena merasa salah, Tyl cenderung mencoba memperbaiki dirinya atau menguatkan kemampuannya. Marna justru terhenti pada menyalahkan diri. Mungkin Lina benar, menyalahkan dirinya hanyalah alasan bagi Marna untuk lari dari kenyataan.

Entress itu tidak pernah menyadari bahwa mengasihani diri sendiri itu bentuk dari pencarian kenyamanan. Semua itu hanya kenyamanan belaka dan dia harus mengubahnya kalau memang dia benar-benar ingin melindungi Tyl.

Marna mengusap-usap dahi Tyl yang dibaringkan di dalam kereta barang. Barang keperluan mereka cukup banyak yang sudah dipakai. Oleh karena itu, ada tempat untuk membaringkan Tyl. Lagipula tempat ini tidak terlalu buruk.

Gadis tersebut memusatkan konsentrasinya untuk memeriksa sahabat masa kecilnya. Walau belum sadarkan diri, jantung si jangkung masih berdetak, denyut nadinya serta kondisi fisik tubuhnya masih wajar.

Hanya saja, aliran tenaga dalam tubuh Tyl saja yang masih tidak sepenuhnya beres. Marna sudah membantu membenarkannya semalam suntuk, sayangnya teknik itu adalah hal baru baginya. Jadi cukup sulit untuk mendapatkan hasil maksimal. Dia justru lebih handal menghisap dan mengalirkan energi.

"Hmmm!" Marna tersadar, dia bisa menyedot dan mengalirkan kembali energi Tyl. Ini ide cemerlang! Penyihir cantik itu segera memusatkan konsentrasinya sembari mengusap-usap dahi Tyl. Sebenarnya tidak harus di dahi yang dia sentuh, tapi Marna senang saja mengusap-usap dahi sahabatnya saat dia tidak sadar.

Belum sempat Marna beraksi, mendadak tubuh Tyl seperti bergetar seolah merinding.

"Aku bisa menebak isi kepalamu, jangan lakukan hal aneh-aneh," Tyl menggumam mengagetkan Marna. Matanya membuka sedikit dan melirik Marna penuh curiga.

"Tyl kau siuman," Marna menghela napas lega. Seluruh beban di pundaknya terasa menghilang.

"Hah? Ciuman?" Tyl menggerutu mengusap matanya. "Kau sudah gila ya …."

Kuping dan wajah Marna memanas seketika mendengar komentar asal-asalan itu, "Bu-bukan! Siuman! Siuman! Aku bilang siuman!"

"Oh! Maaf," Tyl mendudukkan tubuhnya, "kupingku agak aneh, sedikit berdengung."

"Bohong," Marna menekuk wajahnya cemberut. Dia yakin benar Tyl sengaja tadi.

"Urusanmu."

Mereka berdua terdiam sesaat setelah Tyl balas berkomentar. Ada sedikit kecanggungan di di sana. Mungkin mereka sama-sama ragu ingin mengatakan apa.

"Maaf," Marna bersuara terlebih dahulu. "Aku... Aku melukaimu," Marna meminta maaf dengan jujur kali ini. Bukan untuk menyalahkan dirinya, tetapi demi menghadapi konsekuensi dan mengakui kesalahannya.

Rasanya berbeda. Sangat berbeda.

Pada saat dia meminta maaf demi menyalahkan dirinya, rasanya sakit dan membebani. Akan tetapi dia menemukan sedikit kenyamanan di sana. Namuni di saat ini, justru rasanya begitu ringan dan melegakan.

"Tentu saja aku memaafkanmu, kau kan tidak sengaja," Tyl tersenyum lembut sambil menepuk-nepuk kepala Marna. "Kau hanya ingin menolong dan aku berterima kasih untuk itu."

Jawaban yang sama sekali tidak diharapkan Marna. Padahal dia sudah bersiap-siap untuk menceramahi Tyl kalau sahabat masa kecilnya itu berusaha mengambil kesalahan dari pundak Marna.

Tampaknya rekan paktanya mulai berubah. Marna bersyukur. Walaupun misi ini terdengar gila waktu pertama kali Tyl memutuskan untuk mengambilnya, tapi ternyata banyak sekali pelajaran yang diambil Marna dalam misi ini. Mungkin juga Tyl merasakan hal yang sama. Karena itu dia sangat merasa berterima kasih.

"Jangan menangis."

"Memangnya kenapa kalau aku cengeng?"

Setelah Marna terisak, tidak perlu waktu lama bagi Tyl untuk kembali berniat melaksanakan tugas. Marna pun mati-matian berusaha menghentikan Tyl yang mau memaksakan dirinya untuk berpatroli di sekitar rombongan lagi.

Dia berusaha meyakinkan rekan paktanya itu kalau Ranga sedang melakukan tugas tersebut sambil meminjam salah satu pedang taring milik Tyl. Namun, Si Jangkung masih saja keras kepala. Ini membuat mereka nyaris bergulat di atas kereta barang.

Seperti waktu masih kecil saja. Marna lupa entah sejak kapan mereka tidak melakukan tindakan bodoh seperti ini dan menjadi lebih serius dengan keberadaan satu sama lain. Lucu rasanya terlalu banyak memikirkan perasaan masing-masing telah membuat mereka melupakan hal-hal kecil yang menyenangkan.

"Iya, iya, aku istirahat!" Tyl menekuk wajahnya dan berguling memunggungi Marna.

"Tyl Halvus…," Marna menggulingkan Tyl ke arah berlawananan, "...jangan memunggungiku!"

"Apa lagi sih?" protes Tyl setelah Marna dengan susah payah berhasil menggulingkannya.

"Kau belum makan…."

"Oh!"

"Kalian…," Lina menyapa mereka, dia masuk dari belakang kereta barang, "... aku tahu kalian tidak melakukan yang aneh-aneh, tapi…."

Bangsawan cantik itu terdiam sebentar dan menggaruk-garuk pipinya dengan telunjuk. "Kalau kereta barang ini sampai berguncang begitu…"

Kuping Marna lagi-lagi memanas bersama wajahnya, "Ma-maksudku bukan begitu…"

"Iya, iya, aku mengerti," Lina terkekeh geli. "Hanya saja memang agak sulit menenangkan para prajurit setelah kejadian saat kau lepas kendali, untungnya sekarang mereka sudah mulai bisa menerima. Jadi ada baiknya bagi kita untuk menghindari kecurigaan yang aneh-aneh."

Marna menekuk wajah dan menunduk malu, "I-iya maaf. Aku harap mereka tidak ketakutan."

"Sebenarnya," Lina terkekeh geli, "aku lebih khawatir jika mereka berpikir yang tidak-tidak."

"Salahkan Marna," jawab Tyl acuh tak acuh sambil melahpt roti yang ditawarkan Marna.

Marna menggembungkan pipinya kesal sementara Tyl hanya menyeringai jahil. Baiklah kalau dia mau bermain seperti itu, Marna tidak akan kalah. "Ah, Sahabatku," Marna tersenyum nakal, membelai bahu Tyl. Dia mendekatkan bibirnya pada kuping Tyl dan berbicara dengan nada yang sangat menggoda, "Aku tidak keberatan disalahkan atas 'dosa' kita bersama."

Marna melihatnya dengan jelas. Sangat jelas. Bagaimana raut wajah Tyl berubah panik dan wajahnya memerah. Sahabat masa kecilnya itu langsung memutar tubuhnya sambil menggumam tidak jelas.

"Marna…," Lina menggenggam bahu kiri Marna, "tolong jangan lakukan itu di depanku lagi, mau tidak mau aku pasti ikut berpikir macam-macam."

"Maaf-maaf," Marna berkata dengan panik, karena keisengannya, dia lupa ada Lina di tempat ini. "Maksudku hanya mengerjai Tyl…."

"Ahahaha… Iya."

"Sukurin."

"Tyl, kau berisik."

"Oh iya, Lina," Marna mengalihkan perhatiannya dari rekan paktanya yang dingin itu, ada hal yang mengganjal dalam benaknya sejak kejadian dengan Sria. "Apa kau tahu mengapa Sria sepertinya begitu marah?"

"Itu karena kau bodoh."

Sang entress tersentak. Sepertinya Tyl ada benarnya. Marna menggaruk-garuk pipinya penuh rasa bersalah, "Y-ya dia memang ada bilang aku bodoh."

"Sudah kuduga, aku bahkan tidak tahu kau sampai bertemu Sria saja bisa menebak," Tyl mengangkat bahu dan menggeleng-geleng sok tahu.

"Hei sudah cukup, senior," bantuan pun datang dalam bentuk protes sinis dari Lina. Suaranya saat berbicara dengan sinis, entah mengapa memang sangat mirip dengan Sria. "Sekali-sekali puji sedikit, kau pikir bagaimana caranya Marna jadi pulih dan lepas dari sihir Sria?"

Tyl memiringkan kepala sembari memandang Marna. Beberapa saat kemudian dia menepuk-nepuk kepala gadis itu, "pantas saja aura-mu kembali seperti dulu." Dia lalu beralih pada Lina dan membalas sinis, "jadi, junior. Dari cara bicaramu sepertinya kau memiliki andil dalam ini."

"Hanya sedikit," Lina menggeleng kecil. "Sebagian besar Marna yang mengatasinya. Lagipula," Penasihat Muda itu mengedip jenaka pada Marna, "sepertinya ada kesalahpahaman yang sudah diatasi."

Sementara Tyl memandang kedua gadis itu dengan heran, Marna hanya bisa tersenyum tersipu. Kesalahpahaman yang berujung petaka itu memang terdengar sangat konyol. Dia tidak boleh membiarkan kesalahan yang sama untuk terulang lagi.

"Aku tidak mengerti kesalahpahaman yang kalian maksud. Tapi, ada apa dengan Sria?"

Marna mengangguk dan menjawab antusias, "Kami bertemu dengannya, Tyl. Dan dia marah sekali. Dia bilang aku bodoh."

"Kau kan memang bodoh."

"Tapi kan tidak perlu semarah itu," Marna menekuk wajah dalam protes. "Belum lagi dia bilang aku mau saja kau manfaatkan. Padahal kau tidak pernah memanfaatkanku seperti itu. Dia juga marah sekali dengan kata-katamu tentang kita 'menghabiskan malam' bersama. Lain kali jangan asal bicara seperti itu."

"Hey bukan salahku kalau pemikiran penyihir hitam sekotor sihir mereka?"

"Maaf," Lina memotong pembicaraan antar rekan pakta dengan senyum tanggung. "Bagaimanapun juga, Sria masih Bibiku. Kalian boleh membencinya, tapi, soal kata menghabiskan malam bersama, aku rasa justru kalian yang salah di sini."

"Tunggu, aku baru sadar melihat wajahnya seharusnya dia memang cukup berumur. Jadi dia Bibimu?" tanpa mengacuhkan protes Lina, Tyl justru tertarik topik lainnya.

Penasihat Muda itu mengangguk, "Aku tidak pernah menyadari hal itu mengingat dulu dia dikatakan tinggal di tempat yang jauh dan baru bergabung dengan keluarga kami saat aku masih di akademi."

"Berarti dia diasingkan belasan tahun demi menutupi identitasnya?"

"Benar, Tyl, dan itu tidak menutup kemungkinan bahwa dia adalah anak hasil hubungan gelap Kakekku." Lina mengatakan semua itu dengan datar, tetapi Marna menangkap ada kepahitan yang tersirat. "Bagi seorang bangsawan, apalagi keluarga penasihat macam kami. Berpasangan dengan penyihir, bahkan penyembuh sekalipun, bukanlah hal yang dipandang baik. Terutama oleh sesama bangsawan dan politikus."

"Ah aku mengerti," Marna menepukkan kepalan tangan pada telapaknya sendiri. "Jadi itu alasan mengapa dia sepertinya marah sekali pada bangsawan."

"Benar," Lina tersenyum lemah. "Aku juga tidak terlalu yakin, akan tetapi aku bisa membayangkan bahwa dia dan ibunya mengalami penolakan keras. Namun jika boleh jujur, penyihir dan hubungan gelap, aku tidak benar-benar berani membayangkan apa yang sesungguhnya mereka alami di saat itu."

Marna bisa mengerti hal itu. Harus terasing bukanlah hal yang menyenangkan dan bahkan bisa memberikan mimpi buruk yang terus-menerus datang. "Mungkin itu juga yang membuatnya menjadi penyihir hitam," kata Marna.

"Bisa jadi," Tyl mengangguk, "akan tetapi aku ragu hanya itu, mungkin ada hubunganya dengan pasangan paktanya juga."

Lina memandang pada telapak tangannya, "Dia mengatakan hal yang aneh. 'Boneka', itu cara dia menyebut Raksi."

"Berarti Raksi bukan pasangan paktanya? Aduh!"

Tyl langsung menyentil dahi Marna setelah gadis itu mengeluarkan dugaannya lagi, "Kalau dia menganggap Raksi boneka dan mungkin kini di bawah kendali kutukannya, justru aku merasa Raksi adalah pemicu mengapa dia menjadi penyihir hitam."

Kedua gadis di sana memandang sang kesatria bayaran dengan tatapan meminta penjelasan lebih. Tyl pun menghela dan menambahkan, "Yang mendorong Sria sepertinya balas dendam. Dia balas dendam pada keluarga Myssafir, dan dia juga balas dendam pada Raksi yang telah menyakiti dia. Mungkin cara dia balas dendam adalah dengan menjadikan Raja boneka. Rasanya itu terdengar cukup masuk akal?"

"Oh!" Marna mengangguk, alasan kemarahan Sria menjadi lebih jelas akibat dugaan Tyl, "Mungkin itu sebabnya dia marah-marah padaku, bilang aku bodoh mau saja diperalat dan kau nanti hanya akan memanfaatkanku saja."

"Jarang-jarang kau pintar," Tyl menyeringai mengejek sambil menepuk-nepuk kepala Marna. Lucunya, Marna merasa senang-senang saja dengan tingkah si jangkung. "Tapi mungkin ada yang perlu kutambahkan. Ranga pernah bilang, para penyihir hitam yang berasal dari penyihir lain yang termakan emosinya sendiri memang memiliki gangguan pada emosi mereka. Jadi ada kemungkinan alasan dia marah-marah juga karena dia tidak stabil."

Kata-kata itu memang sepertinya bukan isapan jempol biasa. Setidaknya Marna memang merasakan bagaimana pikiran dan emosinya begitu terpengaruh sihir hitam. Bagi seseorang yang menjadi penyihir hitam akibat termakan itu semua, tidak mengherankan jika pada akhirnya itu membuat Sria tidak stabil. Dia pasti setiap saat harus bermandikan hal-hal macam itu.

Terlebih lagi kekuatan penyihir hitam memang 'memakan' emosi-emosi negatif tersebut. Rasanya seperti lingkaran setan saja. Semakin orang itu tidak stabil maka semakin banyak emosi negatif, dengan begitu kekuatannya semakin bertambah. Dengan bertambahnya kekuatan mereka, maka mereka semakin tidak stabil karena terlalu banyaknya energi negatif.

Sedikit rasa iba terbesit dalam benak Marna. Mungkinkah pada akhirnya penyihir hitam seperti Sria akan hancur sendiri karena siklus tiada akhir itu?

"Selain juga karena kau memang bodoh," lanjut Tyl sambil menerusan tepukan pada kepala Marna.

"Iya, iya, aku bodoh."

"Hmm… Memang terdengar cukup masuk akal," Lina akhirnya mengangguk menyetujui setelah berpikir beberapa saat. "Mungkin perlu kuperbincangkan dengan Oemmar atau Ranga, kalau begitu aku permisi dulu, kalian istirahat aja," ditemani satu senyuman kecil Lina pun keluar dari kereta barang.

Perjalanan mereka pada akhirnya terhenti pada siang keesokan harinya. Menurut Tyl, mereka tidak diperbolehkan memasuki provinsi ibukota karena dianggap berbahaya dan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekacauan menjelang sidang pemilihan Penasihat Agung esok hari.

Rencana mereka yang pada awalnya bertujuan untuk mengantarkan Lina untuk mendatangi sidang pemilihan Penasihat Agung bisa berantakan. Kalau Penasihat Agung terpilih sesuai dengan niatan Sria, maka sepertinya Raksi sudah hampir pasti menjadi Raja. Kalau Lina bisa datang tepat waktu, dia bisa berdebat demi membersihkan namanya sendiri dan mungkin menggeser opini para Penasihat Kerajaan dalam memilih Penasihat Agung.

Sementara itu di lain pihak, Arden, yang sengaja tidak ikut rombongan mereka, tengah melobi dan berusaha mempengaruhi para tokoh dan pimpinan-pimpinan daerah lainnya. Para tokoh dan pimpinan daerah ini akan menjadi saksi dan boleh menyatakan pendapat saat sidang nanti. Masalahnya, karena mereka tidak bertemu langsung dengan Lina, pemikiran mereka bisa saja berubah jika Lina tidak muncul.

Jadi intinya, Lina tidak akan dipercaya jika dia tidak berhasil menunjukkan batang hidungnya saat sidang. Karena dia akan tetap dianggap pembohong. Tentu saja mereka tidak peduli jika ada blokade besar-besaran. Pasti mereka mengira orang jujur tidak bersalah pasti bisa menembus itu dengan kekuatan kebenaran dan kejujuran.

Hebat. Sungguh logika rumit yang berada di luar nalar seorang entress macam Marna.

Tidak heran jika dia benci politik.

"Sudah kuduga mereka akan melakukan ini," Oemmar menggeleng kesal. Kini dia dan seluruh pasukannya yang tersisa harus berhenti di area perkemahan di luar Gerbang Frondin.

"Maaf, aku sudah mencoba memberikan mereka alasan untuk membiarkan kalian lewat, tapi," Ranga yang bersuara seperti Arden menghela napasnya.

"Hei, itu Ranga atau Arden?" Marna berbisik pada Tyl. Ini sangat aneh, wajahnya sih Ranga, tapi suaranya Arden. Sihir macam apa itu?

"Raden," jawab Tyl asal-asalan.

"Hah? Apa itu?" Marna memiringkan kepalanya heran. Dia memang tahu Tyl menjawab asal-asalan. Tapi Marna tidak tahu apa arti kata yang disebut Tyl. Mungkin dia belajar dari arsip-arsip Oemmar yang dipelajarinya.

"Ranga Arden"

"Pfft…."

"Bagaimana jika hanya beberapa orang saja yang masuk?" tanya Lina menyarankan.

Ranga, atau Arden, atau Raden, entah yang mana, menggeleng, "Maaf, tapi mereka tidak mengizinkan siapapun lewat sampai sidang pemilihan selesai."

"Bahkan pedagang?" Marna menyeletuk dengan spontan. Dia sendiri tidak yakin kalau kata-kata itu muncul karena benar-benar dia pikirkan atau muncul begitu saja.

"Benar, bahkan pedagang."

"Heeee…"

"Kecuali kita menyusup," Tyl mengangkat bahu. Seperti biasa, dia juga mencibir, "Kita bisa mencapai ibukota besok kalau bergerak sepanjang malam."

"Tentu saja, jenius! Menyusup, melewati Gerbang Frondin," Oemmar menghantamkan wajahnya ke telapak tangannya. "Andai saja memang semudah itu menyusup melewati gerbang ini."

Mereka terdiam. Sebenarnya ide Tyl masuk akal, tapi sepertinya menurut Oemmar dan yang lainnya, hal itu akan sangat sulit untuk dilakukan. Seingat Marna, dia tidak pernah mengalami masalah dengan gerbang satu ini.

Menurut Tyl, gerbang itu memang besar dan megah karena didesain khusus untuk melindungi provinsi ibukota mengingat daerah yang mereka lalui beberapa hari ini cukup rentan.

"Heeeeeiiii!" Oemmar dan Ranga Arden mendadak tersentak dan mengeluarkan bunyi seolah menyadari sesuatu. Mereka berdua, atau bertiga, memandang Tyl penuh curiga, "Jangan bilang kau..."

Tyl mengangkat bahunya seolah tidak peduli. Marna kenal benar ekspresi itu. Ekspresi tahu, tapi pura-pura tidak tahu, tapi juga memberikan isyarat bahwa dia tahu. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, Marna harus mengakui sahabatnya itu adalah orang yang agak rumit. Terlalu rumit bahkan.

"Memangnya kita pernah menyelinap ke sini?" Marna berbisik heran. Kalau Tyl tahu cara menyelinap di sini, itu artinya dia pernah menyelinap melewati gerbang itu. Kalau Tyl pernah, artinya dia juga pernah. Masalahnya, dia tidak terlalu ingat pernah melakukan hal itu.

"Ingat misi dengan para arkeolog tiga tahun lalu?"

Sinar mentari cemerlang menyinari tempurung otak Marna dan membuka ingatannya. "Oooooooh," Marna menaikkan telunjuknya di samping pipinya seolah penuh ide cemerlang, "saat itu kita menyelundupkan dokumen terbatas dari perpustakaan Rigran sampai ada blokade di seluruh provinsi. Kita sampai harus menyelinap keluar membawa arsip dan menyelinap kembali untuk mengembalikannya tanpa ada yang menyadari. Aku ingat! Waktu itu seru sekali!"

"Marna…," Tyl berbisik menggeram penuh ancam.

Marna tersadar, di sana bukan hanya ada Tyl atau orang-orang biasa. Di sana ada pejabat macam Gubernur, dan bahkan seorang Penasihat Muda anggota Dewan Penasihat. Bagus Marna, bagus sekali. Mereka akan dipancung sekarang. Detik ini juga. Mungkin dibakar hidup-hidup sebagai pengganti api unggun di malam dingin.

"Hoooo," hari masih siang bolong, tapi hawa dingin menusuk punggung Marna dari belakang ketika Lina mengeluarkan suara sinis penuh kemenangan.

"Haha.. haha," Marna tertawa gugup. "Aku... aku hanya bercanda. Iya, bercanda, mengigau… eh benar aku hanya mengigau, Marna bodoh bisa-bisanya mengigau di siang bolong begini," Marna mengetuk-ngetuk kepalanya dengan tangannya. Berakhir sudah hidupnya, berakhir di tangan kebodohannya sendiri. Selamat tinggal, Tyl. Marna senang sudah mengenalnya.

"Selamat berjuang," Tyl berbisik sambil menepuk bahu Marna, tapi gaya dan tingkah lakunya menunjukkan dia sama sekali tidak peduli. "Saatnya patroli," Lanjutnya lagi dengan sangat datar sambil beranjak dari posisi mereka.

"Berhenti di sana kau, bocah kampung!"

"Diam kau, jenggot, rubah licik!!"

Mulutmu, harimaumu. Itulah yang dipelajari Marna di siang ini. Kini akibat kesalahannya dalam berkata-kata tadi, dia dan Tyl harus menunjukkan cara menyelinap melalui Gerbang Frondin.

Sebenarnya bukan itu masalahnya.

Kalau ketiga orang ini tahu cara menyelinap di sini maka mereka akan memperbaikinya, dan kalau mereka memperbaikinya maka Marna dan Tyl tidak bisa lagi menyelinap kecuali mereka menemukan jalan baru.

Selain itu, Marna juga masih agak ragu walau mereka bersedia menutup sebelah mata tentang apa yang sudah dilakukan Tyl dan Marna. Mungkin setelah lewat gerbang, mereka akan diikat dan dibakar hidup-hidup.

"Erm... Marna, kau tidak apa-apa?" Lina bertanya dengan heran. Mereka kini sedang bersiap-siap untuk melakukan infiltrasi berdasarkan arahan dari Tyl. Marna tidak yakin dengan ekspresi Lina, entah itu wajah peduli atau wajah yang mengasihani kriminal yang akan dihukum.

"Kami akan dipancung," Marna terisak. Di sinilah akhir dari pertemanan dia dan Lina.

"Hei, hei, sudah, khayalanmu terlalu berlebihan," Lina menepuk-nepuk bahu Marna. Penyihir itu ingat, mungkin tepukan di bahu itu memang cara bangsawan menandai kriminal. "Aku berjanji tidak akan ada apa-apa yang terjadi pada kalian, aku menjaminnya, lagipula kalian kan hanya mengawal," Lina menawarkan jari kelingkingnya pada Marna.

"Janji?" Marna mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Lina.

"Tentu saja," Lina tersenyum tulus, dan itu membuat Marna lega. Tidak ada tanda kebohongan di dalam dirinya. "Walau aku tidak yakin dengan nasib para arkeolog itu nanti."

"Eeeeh?"