Bunyi berdentang keras membahana di Ruang Sidang.
Pedang beradu pedang. Tyl tidak tahu mengapa dia mendadak bisa bergerak begitu cepat ke depan melewati Arden untuk menangki serangan yang datang. Tekanan yang diberikan Sria menghilang, memberikannya kesempatan untuk menghentikan Raksi. Di saat itu juga dia menyadari bahwa para baju zirah berjatuhan di sekitar mereka.
"Memangnya… kenapa kalau takdir mempermainkan kita?"
Suara Marna terdengar datang dari balkon tempat mereka menyaksikan sidang tadi. Gadis itu berdiri di sana, tubuhnya berpendar kebiruan. Berbagai ekspresi berkecamuk di wajahnya. Sedih, marah, pahit, pedih, tetapi penuh determinasi.
"Kalau takdir mempermainkan kita demi mempertemukan kita dengan orang-orang yang bisa kita cintai, sayangi, percayai, memangnya kenapa? Kalau memang takdir membuat hidup kita pahit demi membuat kita lebih kuat, memangnya ada yang salah?!"
----------
Tyl, aku sempat berbicara dengan Lina.
Sebelum misi ini aku ingin bercerita…
Tentang siapa aku… walau aku sendiri juga tidak terlalu tahu banyak...
-----------
Tyl ingat cerita Marna saat itu. Bagaimana segalanya sepertinya tidak pernah adil pada dirinya. Namun, dia selalu berusaha tersenyum. Dia selalu berusaha untuk melangkah. Dia memang gadis yang rapuh jauh di lubuk hatinya, tetapi dia tidak pernah berhenti melangkah maju.
"Entress bodoh!" Sria melepaskan mata tombak sihir hitamnya pada Marna sementara Tyl menahan serbuan Raksi dengan pedang besarnya. "Kau dan cinta bodohmu! Kau akan dikhianati! Hidupmu akan hancur!"
"Lalu apa aku harus menghancurkan hidup orang lain?!" Marna melompat turun sambil menghempaskan serangan Sria. "Kalau hidupku hancur maka aku harus memperbaikinya bagaimanapun juga tanpa menghancurkan hidup orang lain! Kalau aku ditinggalkan orang yang kucintai maka biarlah itu terjadi. Akan kucari cinta baru yang menerimaku dengan tulus. Kalau aku harus membalas dendam akan kubalas takdir, akan kubalas dengan memberikan kebaikan pada hidup orang lain!"
"Dasar naif!" Sria melepaskan gelombang kabut tipis yang menghempaskan segala sesuatu di hadapannya termasuk kursi, meja, para penasihat, Arden, dan yang lainnya. Tyl masih mampu bertahan dengan bertumpu pada pedangnya.
"Memangnya salah kalau aku ini naif?" Marna menahan hempasan gelombang dan melangkah maju dengan pasti. Di saat yang sama Tyl merasakan kekuatan deras mengaliri dirinya. "Daripada aku harus marah-marah tidak jelas terus."
"Kau...."
"Heh, dasar sinting," Tyl berdecak dan melancarkan tebasan vertikal ke bawah pada Raksi dengan seluruh kekuatan yang dia dapatkan dari Marna. Raksi menangkis dan memutar tebasan Tyl ke sebelah kanan, membuat pertahanan Tyl menjadi terbuka. Namun, Tyl berhasil memanfaatkan manuver tepisan Raksi demi memutar tubuhnya ke kanan dan menembakkan pistolnya pada pedang Sang Raja untuk menghalangi Raksi menebas.
Mereka beradu pedang dan kelihaian dalam jarak dekat. Tyl harus mengakui jika Raksi sangat kuat dan dia kembali merasa ada yang janggal. Jika memang kepercayaan adalah sumber dari kekuatan dalam pakta sihir, maka Raksi yang terkena bisikan sihir hitam pasti anomali.
Di sisi lain pertarungan, Marna dan Sria beradu sihir. Sria dengan ganas melepaskan umpatan dan mata-mata tombak hitam sementara Marna menggunakan apapun yang bisa diraihnya untuk menangkis dan menepis serbuan itu sambil sesekali melempar serpihan tembok, kertas, dan kayu untuk menyerang balik.
Terlihat konyol, memang. Tukang jampi-jampi sepertinya memang tidak mendapat berkah kemampuan menyerang, tapi dengan jampi-jampi mereka mampu menyelamatkan dan menguatkan orang lain. Oleh karena itu, dia memang bagaikan malaikat pelindung bagi Tyl.
Tyl melepaskan tembakan cepat pada bahu Raksi, tetapi Sang Raja justru menunduk dan menyapukan pedangnya pada Tyl. Sang kesatria bayaran melompat berputar dan menghantamkan pedangnya pada Raksi. Suara berdentang membahana ketika kedua pedang besar itu kembali bertemu. Raksi dan Tyl menarik langkah mundur sebelum kembali beradu pedang.
Tyl harus mengakui Raksi jauh lebih handal memainkan senjatanya dibandingkan Tyl yang memaksa melatih tangan kirinya, yang bukan tangan dominan, untuk membawa pedang sebesar itu. Ada saat pergerakannya yang sedikit lebih kaku dibandingkan Raksi memberi kesempatan bagi Raja Sementara itu. Namun, Tyl selalu bisa mencegah bahaya sekaligus menyerang balik dengan tembakan cepat dari pistolnya.
Akhirnya terbukti sudah. Pilihan Tyl untuk memberikan tangan utamanya mengenakan pistol membuahkan hasil. Tyl berhasil menghadang tebasan Raksi dengan satu tembakan dari pistolnya. Pedang Sang Raja terlepas, Tyl segera menerjang dengan pedang siap diayunkan.
"Berhenti di sana!"
"Uagh!"
Sebuah gelombang keras menerbangkan Tyl melintas ruangan sampai menghantam dinding tempat pintu utama berada.
"Tyl! Akh!"
Marna memanggil dengan khawatir. Karena teralih, dia pun akhirnya terpental oleh serangan Sria.
"Beraninya kalian…."
Sebuah hantaman keras dari gelombang kabut Sria kembali menerjang Tyl dan Marna. Mereka terhantam pada dinding sekali lagi sebelum akhirnya jatuh terjerembab.
"Pasangan bodoh! Kalian akan mati pertama!"
Marna menjerit kesakitan, sesaat kemudian Tyl pun merasakan sakit yang mengerikan menjalar ke seluruh tubuhnya. Perlahan di tengah rasa sakit itu, kesadarannya mulai memudar.
"Kau lengah!"
Terdengar suara Rosa membahana di Ruang Dewan. Pembunuh bayaran itu melesat ke dari belakang Sria dengan pedang terhunus.
"Lancang!"
Kini terdengar Sria menghardik dan suara pekik kesakitan dari Rosa diiringi bunyi berdebum keras. Di saat itu Tyl merasakan beban sakit di tubuhnya menghilang. Akan tetapi, tubuhnya masih terlalu berat untuk digerakkan.
"Aku tidak akan membiarkanmu, Sria!"
"Cukup Sria, dendammu sudah terbalas!"
Suara Arden dan Lina terdengar. Hiruk-pikuk perkelahian kembali membahana di Ruang Dewan. Tyl berusaha bangkit tetapi dia hanya mampu berlutut. Pertempuran di sekitar mimbar utama itu sama sekali tidak imbang. Mereka berempat tidak mampu menahan Sria dan Raksi. Arden dan Ranga hanya bisa mengimbangi sedikit sebelum mereka dihempaskan lagi.
Sial.
Tyl harus melakukan sesuatu.
-------
… seberapa kuat kepercayaan kalian terhadap satu sama lain
-------
Tyl teringat kata-kata Ranga. Kekuatan mereka berdua bergantung pada kepercayaan satu sama lain. Begitu juga dengan kekuatan Marna sebagai penyihir. Tyl menyadari, yang menahan Marna selama ini adalah dirinya. Dia tidak sepenuhnya bisa mempercayai Marna atau dirinya sendiri. Tyl menarik napas dalam, menoleh ke sebelah kiri pada Marna yang berusaha bangkit,dan menutup matanya.
Ada satu hal yang mengganjal dalam hati Tyl. Dia ingin bersama Marna bagaimanapun juga. Dia ingin bahagia bersama sahabatnya sejak kecil itu, ingin melindungi dan ingin membahagiakan penyihir itu.
Selama ini dia menyalahkan keberadaan pakta mereka. Karena itu dia tidak pernah bisa jujur, karena itu dia selalu berusaha menyalahkan dirinya dan itu sebabnya itu dia tidak bisa memercayai dirinya sendiri. Dia selalu mengingkari hatinya.
Kalau pakta ini tidak ada, maka apa yang akan dia lakukan?
"Hei Marna, jadi istriku," mungkin inilah kata-kata paling jujur yang pernah dikatakan Tyl pada Marna. Dia sudah tidak peduli lagi. Persetan pakta ini, pakta itu, tabu ini, tabu itu.
Kalau justru semua itu akan menjadi penghalang untuk Marna, lebih baik dia menerima semua hukumannya. Dia tidak boleh menghalangi Marna lagi. Dia justru harus bisa membantunya, bukan hanya dibantu terus.
"Tyl…," Marna menjawab dengan serak, "... kau sudah gila ya?"
"Iya," Jawab Tyl tidak peduli, dia menarik kedua pedang taringnya. Dalam suatu ikatan perkawinan biasanya ada benda yang mengikat kedua pasangan. Seperti cincin atau semacamnya. Akan tetapi, Tyl tidak pernah mempersiapkan hal itu.
Satu-satunya benda kembar yang dia miliki hanyalah pedang taring ini. Pedang unik yang terhubung dengan roh serigala tua. Ini mungkin ide gila, tapi jika benar kata-kata Ranga dan Lina tentang ikatan perkawinan sebagai pakta suci, bisa jadi Tyl melangkah ke arah yang benar. Namun, yang paling penting bukan itu.
"Aku mau memercayai diriku dan dirimu seperti kau memercayaiku," jawab Tyl sambil menggenggam erat pedang di tangan kirinya. Pedang itu berpendar sedikit seolah mengakui pernyataannya. Mungkin memang ini jalan yang benar.
"Aku ingin jujur. Ini sebabnya aku tidak bisa menjawabmu tadi malam. Aku tidak bisa menjamin kita akan selamanya seperti ini karena cepat atau lambat aku tahu aku pasti melanggar tabu ini," Tyl memandang Marna dan melemparkan pedang taring di tangan kanannya pada gadis itu. "Karena itu, apa kau mau jadi istriku, pendampingku dalam hidup dan mati, Lyn Marna?"
Marna menangkap pedang yang diberikan Tyl dengan sempurna dan mulai terisak, "Tentu saja aku mau, aku ingin menjadi pendampingmu, Tyl Halvus." Pedang yang digenggam Marna pun mulai berpendar seolah menerima pernyataannya.
"Terima kasih," Tyl tersenyum kecil. Beban di hatinya terasa berkurang jauh bersamaan dengan tubuhnya yang terasa kembali bertenaga. Mungkinkah ini jalan yang benar?
"Tunggu dulu…," Ranga, di tengah pertarungan di hadapannya tersentak, lalu memandang ke arah Tyl dan Marna. "Arden beri aku waktu!"
"Apapun itu lakukan dengan benar, Ranga!"
"Wahai jiwa serigala tua yang menaungi kedua taring ini," Ranga berlari ke arah Tyl dan Marna sembari menghindari serbuan proyektil yang dilepaskan Sria. Tubuh dukun itu mulai berpendar seolah akan melepaskan mantra hebat, "Jadilah saksi atas sumpah setia dalam ikatan abadi!"
"Tyl Halvus! Lyn Marna! Bersumpah di hadapan roh-roh di dunia, di hadapan roh serigala tua ini, bahwa kalian akan selalu setia dalam hidup dan kematian, dalam hati dan jiwa, selamanya!" Ranga membentangkan tangannya, dari kedua pedang taring di tangan Marna dan Tyl muncul garis-garis kebiruan yang mulai bersatu dan membentuk siluet serigala besar.
"Kami bersumpah!" Tyl dan Marna tidak terlalu mengerti tapi lubuk hati mereka seolah mendorong mereka untuk mengatakan itu. Mereka dengan jujur mengikuti hati masing-masing.
"Maka buktikan dengan penyatuan darah kalian!"
Tyl dan Marna masing masing menggores telapak tangan mereka dengan pedang masing-masing. Secepat pedang itu melukai tangan dan bermandikan darah mereka, secepat itu pula luka itu sembuh. Dengan segera dia dan Marna saling melempar pedang satu sama lain untuk akhirnya mencicipi sedikit darah pasangannya.
"Wahai roh semesta yang diwakili roh serigala tua, jadilah, satukanlah kedua jiwa ini dalam sumpah tulus sebuah pakta!" Ranga menancapkan belati taringnya ke tanah. Seketika itu, siluet roh serigala besar yang terbentuk di atasnya melolong panjang seolah menyetujui ikatan Tyl dan Marna. Seluruh gedung pun ikut berguncang mengikuti lolongan yang menggetarkan jiwa itu.
"Terima kasih, Ranga." Marna tersenyum pada Ranga, tubuhnya berpendar putih. "Kau memang seperti kakak yang baik."
"Jadi dia kakak iparku?" Tyl menghantam wajahnya. "Payah."
"Aku juga tidak mau adik ipar macam kau."
"Diam kau, dukun."
"Ayo!" Tyl dan Marna bergerak maju ke pertempuran di mimbar utama. Tenaga terasa mengalir dengan alunan harmoni yang menenangkan tetapi penuh energi di tubuh Tyl.
Marna tersenyum manis, "Tyl, terima kasih karena sudah jujur, memercayaiku, dan juga dirimu sendiri."
"Seharusnya sudah kulakukan sejak lama," jawab Tyl ringan. Mungkin ini hanya ilusi di matanya, namun Marna tampak jauh lebih cantik dari biasanya.
"Oemmar, Lina, Arden! Serahkan ini pada kami!" Tyl melonjak ke arah mimbar. Dia mendorong Arden ke kanan dan langsung menyambut serangan Raksi. Dentang keras terdengar saat pedang taring serigala tua bertemu dengan pedang besar Raksi. Hawa kelam nan pekat melingkupi dan memperkuat Raja itu. Hal yang sama dilakukan berkah Marna untuk Tyl.
"Aku percayakan padamu, Tyl!"
"Ayo, bocah kampung!"
"Marna! Aku tahu ini bukan saat yang tepat," Seru Lina yang tengah melangkah mundur menghindari tebasan Raksi, "tapi, aku turut bahagia untukmu!"
"Terima kasih!"
"Pakta suci…," Sria memandang Tyl dan Marna dengan penuh kedengkian, pusaran kabut di sekitarnya menguat, "mustahil! Bagaimana mungkin kalian menemukan pakta suci!"
"Hanya kebetulan," jawab Marna santai sembari menepis serbuan tombak hitam Sria. "Makanya jangan asal-asalan melanggar tabu. Mungkin cintamu kurang tulus," lanjut Marna asal-asalan.
Sambil menangkis serangan Raksi, sedikit benak Tyl tergelitik. Sadar atau tidak, Marna sudah memprovokasi Sria. Hal ini membuat kesatria bayaran itu sedikit berandai jika Marna secara tidak sadar terpengaruh lidah beracun Tyl akibat pakta mereka.
"Kau tahu apa?" Sria menggeram, mengumpulkan tenaga. "Dia yang mengkhianatiku!"
Tyl bergerak meninggalkan Raksi dan melesat ke posisi Manna yang berada beberapa langkah di sebelah kirinya. Dia berhasil menangkal serbuan gelombang kabut dari Sria dengan tubuh dan pedangnya. Kekuatan sihir hitam itu begitu kuat menghancurkan dan menerbangkan apapun di sekitarnya. Tyl berhasil menahannya, tetapi tubuh dan tenaganya nyaris habis karena melakukan hal itu.
"Ayo, Tyl, mereka mengandalkan kita," Marna tersenyum menepuk pundak Tyl. Seketika itu tenaga seolah mengalir kembali ke dalam dirinya. Tyl pun merespon dengan menerjang sekali lagi ke arah mimbar utama.
Sria dan Raksi bekerja sama menyerbu Tyl yang habis-habisan menghalau serangan pasangan sihir hitam itu. Tyl bertahan dengan pedang taring di tangan kirinya sementara Marna membantu dari belakang dengan perlindungan-perlindungan terarah. Tyl tidak menggunakan pistolnya atau tangan kanannya dan dengan perlahan mengumpulkan sedikit demi sedikit tenaga pada senjata itu.
Tyl menangkis cepat satu mata tombak sihir dari Sria, di saat itu Raksi memanfaatkan kesempatan yang terbuka untuk menerjang dengan tebasan cepat dari bawah kanan Tyl. Namun, sebuah serpihan kayu yang dilempar Marna dengan cepat menghantam dan mementalkan pedang Raksi.
Sang Kesatria Bayaran memanfaatkan kesempatan itu untuk menghantamkan lututnya pada Sang Raja yang dilanjutkan dengan tendangan berputar yang mementalkannya ke sebelah kiri ruangan. Hujan proyektil mata tombak dari Sria dengan cepat menyerbu. Tyl dan Marna sepenuhnya siap menghadang setiap serangan tersebut.
Akhirnya kesempatan yang ditunggu Tyl pun tiba. Tyl mementalkan proyektil Sria kembali ke arah tuannya. Sria menghindar. Di saat bersamaan, tenaga sudah cukup dikumpulkan pada pistol Tyl. Tanpa ragu dia pun menarik pelatuk.
Dentuman keras terdengar, asap mengepul di lokasi Sria berada terakhir kali. Tyl berlutut kelelahan, dia sadar serangannya sudah meleset. Atau lebih tepatnya mengenai target lain.
"Apa… yang kau lakukan?" suara Sria bergetar. Di saat kepulan asap menghilang, di hadapan Sria berdiri Raksi dengan punggung hangus terbakar serangan Tyl. Dia berdiri membentangkan tangannya demi melindungi rekan paktanya. "Aku tidak memerintahkanmu untuk…."
"... kau memang bodoh Sria," Raksi terkekeh ditemani batuk kesakitan.
"Mustahil…," Lina berbisik tidak percaya.
Tyl tersentak, ternyata dugaannya benar. Raksi tidak dikendalikan. Kekuatan Raksi bukan hanya berasal dari hawa negatif dan kebencian Sria, tapi karena dia bergerak sepenuh hati demi Sria. Dia sangat mempercayai rekan paktanya.
"Kalau begitu…," Sria memukul-mukul pelan ke dada Raksi, air mata mengalir membasahi pipinya. Untuk pertama kalinya Tyl tidak melihat tatapan dingin di mata yang kini basah itu. "Mengapa?! Mengapa kau lakukan itu?! Mengapa kau lakukan semua perintahku?!"
"Aku menyesal… tidak pernah mampu menentang perintah paman. Aku terlalu pengecut untuk menerima beban… cemoohan. Sekarang aku… hanya ingin… membuatmu… baha… gia…."
Di sana, Sang Raja pun ambruk. Ditemani tangisan perempuan yang mencintai tetapi tidak mampu meraihnya. Hanya tangis pilu Sria yang terdengar di sana sementara yang lain hanya mampu memandang dengan tidak percaya.
Tragis, kalau Tyl boleh jujur.
"Kau…."
Aura mengerikan kembali terkumpul di sekitar Sria yang mendesis bengis pada Tyl. Rasa dingin yang menusuk, rasa mual, iri, dengki, amarah, semuanya berkumpul pada pusaran kabut tipis yang berpusar hebat di sekitar Sria. Hawa yang terkumpul itu begitu pekat sampai terasa mencekik Tyl yang berada tidak terlalu dekat dengannya. Kebencian terasa memuncak dari perempuan itu.
Ini berbahaya.
"Tak akan kubiarkan kau bahagia…," Sria menjulurkan tangannya ke depan, tetapi bukan pada Tyl, melainkan pada Marna yang berdiri beberapa langkah lebih jauh dari mimbar. Kabut-kabut di sekitarnya berkumpul di depan tangannya dan seolah membentuk sebuah bola api hitam keunguan. "... rasakan sakitku!!!"
Tyl melesat secepat yang dia bisa demi menghalangi serbuan Sria. Bola api kegelapan itu meluncur begitu saja dari tangan penyihir hitam tersebut. Hawa pekat penuh dengki dan kebencian meluncur bersamanya. Tyl hanya bisa menutup matanya bersiap. Mungkin dia benar-benar akan berakhir kali ini. Namun, dia bisa menutup matanya puas karena setidaknya dia sudah bisa jujur pada dirinya sendiri.
Tidak ada yang terjadi. Tyl masih berdiri tegak. Tidak ada sakit apapun pada tubuhnya. Dia hanya merasa lelah, itu saja.
Di hadapannya Sria tersenyum puas. "Ahaha… hahaha…," kemudian penyihir itu pun kehilangan kesadaran.
Ketika itu Tyl tersadar, ada sebuah tangan yang menyentuh punggungnya dengan lembut sejak tadi.
"Hai," Marna menyapa saat Tyl berbalik. Gadis itu tersenyum kecil walau Tyl sadar benar segalanya jauh dari hal yang bisa dia senyumkan.
"Marna kau…," Tyl menyadari kengerian itu, menyadari kegagalannya. Marna menghisap serangan yang seharusnya menghancurkan rekan paktanya dan mengalirkannya pada dirinya sendiri.
"Gawat… Aku salah perhitungan…."
"Marna!"
Tyl memangku gadis itu, memangku sahabatnya sejak kecil yang kini terbaring lemah dalam pelukan. "Bodoh! Apa yang kau...."
Marna meletakkan jarinya di bibir Tyl, masih tersenyum. Dia tidak mengerti, mengapa Marna justru tersenyum puas di saat seperti ini. "Perisai macam apa yang tidak bisa melindungi kesatrianya?"
Tyl terdiam. Dia menyesal telah mengatakan hal itu pada Marna. Seharusnya dia tahu kata-kata itu akan mengakibatkan hal-hal seperti ini. Dia memaki ke dalam dirinya, memaki kebodohannya karena telah berusaha jujur. Kalau saja dia terus berbohong….
"Jangan begitu," Marna menyela pikiran Tyl dengan suaranya yang lemah. "Aku senang sekali kau bisa berbicara dengan jujur."
"Tapi…."
"Marna, bertahanlah!" Lina berlarian mendekati Marna. Penasihat muda itu terisak. "Maaf, seharusnya… seharusnya aku tidak pernah melibatkan kalian."
"Sudah…," Marna tersenyum pada Lina. "Justru karena misi ini aku bisa berteman dengamnu. Aku… senang sekali. Aku juga… Aku juga bisa mengenal Tyl lebih baik. Harusnya aku berterima kasih padamu…."
Lina terisak tidak membalas. Oemmar hanya bisa terdiam menatap keadaan Marna matanya memandang seolah tidak percaya.
"Marna, Tyl, aku…."
"Kau akan jadi raja yang baik Arden… aku tahu itu," Marna tersenyum lemah pada Arden dan Oemmar. "Kau dan Oemmar... orang yang sangat baik."
"Terima kasih…." Oemmar mengangguk sementar Arden hanya menunduk tidak menampakkan wajahnya.
Tyl tidak yakin harus berkata apa. Genangan air mulai memenuhi bola matanya dan mengaburkan pandangannya. Kenapa ini justru terjadi sekarang? Di saat dia ingin memandang wajah cantik Marna sepuas yang dia bisa. Dia justru terhalangi oleh air matanya sendiri.
"Hei… bukankah aku yang seharusnya cengeng," Marna mengusap pipi Tyl dengan lemah seolah memaksakan diri menggunakan kekuatan terakhirnya.
"Aku menye…."
"Jangan, Tyl," suara Marna terdengar parau, Tyl tidak bisa melihat jelas, tetapi sepertinya air mata juga mengalir di sudut mata gadis itu. "Jangan katakan itu… Kalau kau tidak mengambil misi ini, kalau kau tidak jujur pada dirimu, kita tidak akan melangkah sejauh ini."
-------
Aku bisa membuat roti dan kue, kita buka toko roti dan kue saja
-------
Kata-kata Marna terngiang di kepala Tyl, dia berbicara tetapi mampu memikirkan apa yang bisa dia katakan. Seluruh kata-kata itu mengalir begitu saj,. "Tapi… bukankah… bukankah kau mau… kau mau membuka toko roti…? Aku bisa mengunjungimu jika aku sudah selesai mengajar… setidaknya dengan begitu, dengan begitu aku masih bisa melihatmu tersenyum…."
"Kau tahu?" Marna tersenyum lembut. "Aku tidak perlu toko roti. Kalau aku boleh jujur… sebenarnya, aku hanya ingin menjadi kekasih yang baik untukmu… atau ibu yang mengasihi anak-anak kita… atau hanya sekedar bersama… aku senang."
"Marna…," Tyl tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia hanya bisa terdiam dalam isakan.
"Hei… kalau kehidupan berikutnya memang ada… apa kau mau bertemu? Walau hanya sebentar... melihatmu sesaat… itu sudah…," Marna masih memaksakan untuk berbicara, tetapi Tyl merasakan pegangan tangan Marna di wajahnya melemah. Tangan lembut itu pun terjatuh lemas, "...cukup"
"Bodoh… tentu saja aku mau. Walau tidak bisa memilikimu, walau hanya berjumpa sesaat. Terlahir kembali beberapa kalipun aku mau selam aku bisa melihatmu bahagia."
Marna tidak bergerak. Dia tersenyum manis. Tyl hanya bisa membisu memandang sahabatnya sejak kecil itu. Masih tidak mengerti mengapa dia bisa tersenyum seperti itu. Bagaimana gadis cantik itu bisa puas dalam keadaan seperti ini? Tyl terisak memeluknya. Memeluk kekasih hatinya. Dia terngiang kata-kata itu. Di saat mereka pertama kali berjumpa.
-------
Namaku Marna, Lyn Marna.
-------